Banjarmasin, Kalimantanpost.com – Kota Banjarmasin terus memperkuat mitigasi pencegahan kekerasan terhadap anak, bahkan Pemerintah Kota menyerukan perlindungan menyeluruh tanpa terkecuali untuk anak-anak di Kota Seribu Sungai itu.
Hari ini Pemko Banjarmasin juga menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak-hak anak melalui kegiatan Sosialisasi Kekerasan terhadap Anak, Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), dan Perkawinan Anak, yang berlangsung di Banjarmasin Creative Hub. Rabu (04/06).
Kegiatan tersebut dibuka langsung Wakil Wali Kota Banjarmasin, Hj. Ananda dan dihadiri Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kota Banjarmasin, M Ramadhan, beserta jajaran terkait.
Dalam sambutannya, Wakil Wali Kota Banjarmasin, Hj. Ananda, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap tiga isu besar yang mengancam masa depan generasi muda, diantaranya kekerasan terhadap anak, anak yang berhadapan dengan hukum, dan perkawinan anak.
“Data menunjukkan bahwa kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan terhadap anak yang paling banyak terjadi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di Kota Banjarmasin,” ujarnya.
Ia menambahkan, mirisnya, pelaku terbanyak justru berasal dari lingkaran terdekat anak, bahkan dari keluarga sendiri. Ananda juga menyoroti fenomena mencengangkan di media sosial, yaitu munculnya grup-grup yang mempromosikan incest sebagai hal yang wajar. Ia menyebut hal itu sebagai kejahatan terorganisir yang mengancam masa depan generasi bangsa.
“Tidak ada ruang bagi kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan terhadap anak—baik di dunia nyata maupun digital,” tegasnya.
Menyinggung persoalan ABH, Wawali menekankan pentingnya pendekatan keadilan restoratif. Ia menyatakan bahwa banyak anak pelaku justru merupakan korban dari lingkungan yang tidak mendukung tumbuh kembang mereka, “Anak tetaplah anak. Mereka berhak atas kesempatan kedua,” tekannya lagi.
Selain itu, dirinya juga menyoroti tingginya angka perkawinan anak di Kalimantan Selatan, termasuk Banjarmasin. Menurutnya, faktor kemiskinan, budaya, dan minimnya edukasi menjadi penyebab utama. Ia menyebut perkawinan anak bukan solusi, melainkan sumber masalah baru seperti putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan antargenerasi.
Ia berharap kegiatan tersebut mampu melahirkan kesadaran dan aksi nyata dari seluruh unsur masyarakat, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh agama, dunia pendidikan, hingga keluarga.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bergerak bersama. “Kegiatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan seruan dan tekad kolektif,” pungkasnya. (Sfr/K-3)