Oleh : Risna Ummu Zoya
Aktivis Muslimah Kalsel
Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia akan siap menampung ribuan warga Gaza, Palestina yang menjadi korban kekejaman militer Israel. Hal ini semata-mata dilakukan karena banyaknya permintaan terhadap Indonesia untuk lebih aktif dalam berperan mendukung penyelesaian konflik yang terjadi sampai saat ini di Gaza. Namun, Prabowo menekankan bahwa evakuasi warga Palestina ke Indonesia nanti hanya bersifat sementara. Ini bukan hal ringan, tetapi komitmen Indonesia terhadap keselamatan rakyat Palestina dan dukungan terhadap kemerdekaan mereka, mendorong kami untuk berperan lebih aktif,tegas Presiden Prabowo (Beritasatu.com, 9/4/2025). Yang mana pada gelombang pertama Indonesia siap menampung sekitar 1.000 orang warga Palestina.
Ada dua syarat agar evakuasi bisa terealisasi yaitu pertama, mendapat dukungan penuh dari negara-negara tetangga di Timur Tengah. Kedua, kewajiban mengembalikan setelah kondisi aman dan proses pengobatan korban sudah dianggap cukup. Statement presiden ini telah menimbulkan pro-kontra dalam negeri. Evakuasi atas nama pengobatan atau nilai kemanusiaan apapun ditolak oleh Liga Arab, karena substansinya sama saja, yaitu pengosongan tanah dari pemiliknya. Oleh karena itu, syarat pertama untuk mengevakuasi Presiden Prabowo tidak terpenuhi, karena bertolak belakang dengan konteks maupun sikap dari Liga Arab sendiri. Syarat kedua dari Presiden Prabowo juga sulit terpenuhi. Pasalnya, negara Timur Tengah sendiri sudah jauh-jauh hari melakukannya. (Republika.co.id, 12/4/2025).
Langkah Presiden Prabowo Subianto dalam mengusulkan dan memfasilitasi evakuasi warga sipil Gaza ke luar wilayah konflik telah menuai beragam respon. Disatu sisi, ini tampak sebagai langkah kemanusiaan untuk menyelamatkan korban sipil dari gempuran Zionis. Namun, langkah ini sesungguhnya adalah solusi semu yang tidak menyentuh akar masalah, justru memperkuat penjajahan atas tanah Palestina. Sebab, evakuasi berarti membiarkan penjajah tetap bercokol dan bahkan memperluas kontrolnya, sementara penduduk asli terusir dari tanah air mereka sendiri.
Evakuasi dalam konteks ini bukanlah penyelamatan, tetapi legalisasi penjajahan. Ketika warga Palestina dievakuasi, maka hak mereka atas tanah suci itu menjadi semakin tergerus, dan proyek pemusnahan etnis oleh Zionis Israel justru difasilitasi oleh pihak luar dengan dalih kemanusiaan. Seharusnya pemimpin negara tidak sekadar mengambil peran sebagai penengah atau pengevakuasi, melainkan sebagai pelindung umat yang mengerahkan kekuatan untuk membebaskan Palestina dan menghancurkan eksistensi penjajahan itu sendiri.
Penderitaan Palestina tidak akan pernah selesai hanya dengan mengevakuasi korban, tapi dengan mencabut akar kezaliman yaitu entitas penjajah itu sendiri. Maka, solusi yang benar adalah dengan membangkitkan kesadaran umat Islam akan pentingnya negara Islam, yang akan menyatukan kekuatan kaum Muslim dan mengerahkan tentara-tentaranya untuk membebaskan Gaza dan seluruh Palestina, bukan malah memfasilitasi eksodus yang memperkuat narasi penjajah.
Di sisi lain, evakuasi tersebut bisa jadi merupakan tekanan dari AS terhadap Indonesia atas kebijakan baru AS yang menaikkan tarif impor. Keberhasilan Indonesia dalam upaya melakukan negoisasi atas kebijakan tersebut bisa jadi akan digunakan sebagai alat untuk menekan Indonesia agar melakukan evakuasi warga Gaza. Inilah buah simalakama bagi negeri yang tergantung pada negara lain.
Para penguasa di negeri-negeri kaum Muslim sejatinya wajib menyambut seruan jihad fi sabilillah ketika saudara seiman diserang dan dijajah. Namun, realitas hari ini menunjukkan sebaliknya. Nasionalisme sempit dan prinsip hubungan internasional ala Barat, seperti tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Ini menjadi alasan utama bagi para penguasa untuk tidak bergerak. Ini adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap Islam dan kaum Muslimin.
Seharusnya dunia menyaksikan negeri-negeri Islam bersatu dalam satu kepemimpinan global yang menerapkan syariat Islam secara kaffah yaitu Khilafah. Khilafah bukan hanya menjadi pelindung umat Islam, tetapi juga memimpin dunia yang membawa keadilan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi, selama institusi agung ini belum tegak, penderitaan kaum Muslim, termasuk di Palestina, akan terus berlangsung tanpa perlindungan dan pembelaan yang hakiki.
Umat Islam di seluruh dunia harus bangkit menolak upaya evakuasi warga Palestina, yang sejatinya hanya memperkuat penjajahan atas tanah suci tersebut. Umat juga wajib menyeru kepada para penguasa negeri-negeri Muslim untuk mengirimkan pasukan guna membebaskan Palestina dan menolong saudara seiman yang dizalimi. Bersamaan dengan itu, perjuangan menegakkan Khilafah harus terus digelorakan, karena hanya Khilafah yang mampu mewujudkan jihad sebagai mekanisme syari untuk membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan.
Agar perjuangan umat tidak keluar dari rel syar’i dan tetap terarah, harus ada kepemimpinan ideologis yang membimbingnya. Kepemimpinan ini hanya bisa diwujudkan oleh partai politik Islam ideologis yang konsisten membawa pemikiran, perasaan, dan sistem Islam dalam perjuangannya. Melalui kepemimpinan ini, opini dan kesadaran umat akan semakin kuat, hingga mampu menekan para penguasa untuk melaksanakan kewajiban jihad dan mewujudkan tegaknya Khilafah.
Solusi hakiki bagi tragedi Gaza dan penjajahan atas Palestina bukanlah evakuasi atau bantuan kemanusiaan semata, melainkan pembebasan total dari cengkeraman entitas Zionis. Satu-satunya jalan untuk menghentikan penderitaan rakyat Palestina adalah dengan mengerahkan kekuatan militer melalui seruan Jihad Fi Sabilillah. Jihad dalam konteks ini bukanlah aksi individu atau kelompok kecil, melainkan jihad yang dilakukan oleh negara, yakni negara Khilafah yang akan mengonsolidasikan kekuatan umat Islam dan mengarahkannya untuk membebaskan tanah suci Palestina dari cengkeraman entitas Zionis. Ini adalah kewajiban syari yang diperintahkan Allah SWT bagi kaum Muslim ketika saudara seiman mereka ditindas dan dibunuh. Allah SWT berfirman, Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah…? (QS An-Nisa:75). Ayat ini menunjukkan bahwa diam dari penjajahan dan tidak melawannya adalah kemaksiatan besar.
Seruan jihad bukan sekadar simbolik, tapi harus diwujudkan secara nyata oleh tentara-tentara Muslim dari negeri-negeri sekitar seperti Mesir, Yordania, Suriah, dan Turki, yang memiliki kemampuan militer yang cukup untuk menghancurkan eksistensi penjajah Zionis. Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid. Barangsiapa terbunuh karena membela tanahnya, maka ia syahid. Selama jihad tidak ditegakkan, solusi apapun seperti evakuasi, bantuan, atau diplomasi hanya akan menjadi penguat penjajah. Oleh karena itu, menegakkan kembali sistem Islam dan melancarkan jihad adalah satu-satunya solusi hakiki yang akan menghentikan penjajahan dan membebaskan Palestina secara tuntas.