Oleh : Muhamad Nurman
Pemerhati Generasi
Pagi itu, 11 Juni 2025, suasana di jalanan wilayah batas negeri terasa berbeda dari biasanya, karena kendaraan bermotor roda tiga berwarna merah putih yang dilengkapi dengan kotak tempat barang di bagian belakang, kerap terlihat melintas.
Kendaraan yang dimodifikasi, seperti lori kotak itu terdapat tulisan “Badan Gizi Nasional”, lengkap dengan logo burung Garuda yang gagah di bagian depan dan belakang kotak, sementara di sisi kanan kirinya tercetak jelas tulisan “Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi” (SPPG).
Kendaraan itu menempuh rute ke sejumlah sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menengah pertama (SMP) di ibu kota Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Kecepatannya tidak lebih dari 60 kilometer per jam, cukup perlahan, mungkin agar seluruh muatan tetap stabil dan aman.
Di sepanjang perjalanan, warga memperhatikannya dengan penuh rasa penasaran, karena pemandangan seperti itu baru mereka lihat.
Setibanya di halaman salah satu sekolah, para siswa yang berada di kelas mengintip dari balik jendela. Mereka saling berbisik, menunjuk, dan menebak-nebak isi dari kotak di kendaraan tersebut, namun suasana kembali tenang, usai guru meminta mereka kembali fokus belajar.
Begitu bel istirahat berbunyi, para siswa langsung berhamburan keluar kelas dan mendekati petugas yang sedari tadi mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak kendaraan.
Di hadapan siswa, lima wadah logam berwarna perak terus diturunkan dengan perlahan oleh petugas, untuk diletakkan di meja panjang yang telah disiapkan oleh pihak sekolah. Meja itu menjadi tempat singgah sementara bagi wadah-wadah yang tertutup dan tertumpuk rapi serta diikat dengan tali rafia untuk menjaga kestabilan dan benturan dengan benda asing selama perjalanan.
Beberapa siswa tampak antusias membantu petugas menyusun wadah-wadah tersebut. Bagi mereka, ini bukan hanya jam istirahat biasa. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu.
Menurut Kepala SPPG Batu Hitam, Kabupaten Natuna Lutshia Widi Febiana, wadah-wadah logam itu berisi menu makanan bergizi yang merupakan bagian dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Setelah semua makanan diturunkan, para siswa kembali ke kelas. Guru dibantu beberapa siswa membawa setiap wadah ke ruang kelas dan meletakkannya di meja, tepat di hadapan para siswa lainnya yang duduk rapi dengan tangan terlipat di atas meja.
Sebelum makan dimulai, guru meminta salah satu siswa untuk memimpin doa. Dengan penuh semangat dan senyum malu-malu, beberapa anak membuka kedua tangan dan mengangkatnya ke atas, sementara yang lain menutup kedua tangan dan melipat seraya komat kamit. Doa singkat itu seperti simbol syukur atas perhatian negara terhadap mereka.
Usai berdoa, para siswa tidak langsung makan, namun mengajak guru makan bersama. Sebuah momen kecil yang menunjukkan kehangatan dan rasa hormat yang tinggi.
Seperti anak-anak pada umumnya, mereka melirik ke kiri dan kanan, ingin tahu isi wadah temannya. Seorang siswa terdengar berseru, Sama ya. Aku juga dapat nasi, ayam, sayur, tahu, sama semangka.”
Setelah makan, para siswa mencuci tangan dan menyusun wadah-wadah tersebut. Mereka menumpuk lima wadah menjadi satu susunan dan mengikatnya kembali dengan tali rafia, seperti semula.
Dengan senyum yang tidak kunjung pudar, beberapa siswa membawa wadah itu menyusuri lorong sekolah menuju meja di depan ruang guru, tempat petugas semula menurunkannya. Di sepanjang jalan, mereka bercerita dengan riang mengungkapkan rasa bahagia dan harapan agar makanan bergizi itu datang lagi, esok hari dan terus terlaksana hingga nanti.
Menu yang diberikan ini bukan hanya untuk mengenyangkan, tapi juga mengandung makna lebih dalam, bahwa negara hadir, bahkan hingga di pelosok negeri, untuk memastikan hak dasar anak-anak tumbuh sehat dan cerdas tetap terpenuhi.
Dapur perdana
Semua makanan itu diolah di dapur yang dibangun di Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur. Dapur tersebut dikelola oleh Yayasan Sinergi Inklusi Akses Pangan (SIAP), mitra resmi BGN dalam Program Makan Bergizi Gratis. Dapur milik yayasan itu menjadi dapur pertama yang dibangun di Natuna.
Lebih dari 40 relawan berdedikasi setiap hari di dapur tersebut. Walaupun disebut relawan, mereka tetap menerima upah harian lebih dari Rp50 ribu, bukti bahwa kerja mereka dihargai dan dianggap penting karena pekerjaan mereka tidak ringan. Setiap pagi, mereka harus menyiapkan tidak kurang dari 2.000 porsi makanan bergizi untuk kurang lebih delapan sekolah.
Safira Hastari, ahli gizi dari SPPG Batu Hitam, memastikan setiap makanan yang disajikan telah dirancang sesuai pedoman gizi seimbang untuk sekali makan dan proses pembuatan diawasi dengan maksimal.
Sebelum memasuki dapur para relawan menjalani protokol ketat. Yayasan menyediakan loker di depan dapur untuk menyimpan barang bawaan, dan mereka wajib memakai masker serta penutup kepala serta alat pelindung diri lainnya, sesuai dengan bidang, saat berada di dalam. Keluar dari area dapur, tanpa alasan yang jelas tidak diperbolehkan.
Tujuannya satu, memastikan bahwa selama proses pembuatan makanan hingga pengiriman ke sekolah-sekolah tiba dalam kondisi aman, bersih, dan bernutrisi.
Pemerintah berharap Program Makan Bergizi Gratis dapat menjadi investasi jangka panjang untuk mencetak Generasi Emas 2045.
Program ini juga diharapkan mampu menekan angka stunting, meningkatkan konsentrasi dan prestasi belajar anak-anak, serta menggerakkan ekonomi lokal melalui keterlibatan UMKM, petani, dan nelayan. Dengan dukungan lintas sektor dan pengelolaan anggaran yang transparan, harapan itu bukan mustahil untuk dicapai.