Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Orientasi Egodan Dinamika Kepemimpinan : Refleksi Kritis Atas Franken & Brown (1966) dalam Konteks Budaya Lokal

×

Orientasi Egodan Dinamika Kepemimpinan : Refleksi Kritis Atas Franken & Brown (1966) dalam Konteks Budaya Lokal

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr (Cand) Rico dan Dr Didi Susanto
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP dan Dosen Magister Administrasi Pendidikan Fakultas Pascasarjana UNISKA MAB Banjarmasin

Di tengah arus kepemimpinan yang semakin kompetitif dan penuh tuntutan, muncul satu fenomena menarik namun mengkhawatirkan: obsesi sebagian pemimpin untuk selalu menang dalam setiap situasi. Dalam kajian psikologi kepemimpinan mutakhir, orientasi semacam ini dikaitkan dengan rendahnya hope dan self-esteem, seperti yang juga ditegaskan kembali oleh Kaakinen et al. (2021) dalam studi mereka tentang motivasi dan kesehatan mental pada pemimpin organisasi. Mereka menyebut bahwa pemimpin yang berorientasi pada ego cenderung mengalami tekanan psikologis lebih tinggi dan memiliki kapasitas adaptif yang lebih rapuh. Hal ini selaras dengan pembaruan pemikiran tentang mastery orientation, di mana pemimpin dengan fokus pada pengembangan diri dan kesadaran reflektif lebih mampu menghadapi dinamika kompleks dunia kerja modern (Elliot & Hulleman, 2019). Dalam kerangka budaya Indonesia, persoalan ini menjadi semakin penting, mengingat kepemimpinan lokal sering kali diasosiasikan dengan nilai-nilai seperti kebijaksanaan, keseimbangan batin, dan pengayoman sosial. Maka, pertanyaannya bukan lagi “siapa yang paling unggul”, melainkan “siapa yang mampu bertahan dengan utuh tanpa kehilangan arah dan nilai”.

Baca Koran

Franken dan Brown (1996) menjadi salah satu pelopor dalam mengungkap hubungan antara orientasi menang (need to win), strategi koping, dan kondisi psikologis individu. Temuan mereka menunjukkan bahwa individu dengan ego orientation—yakni mereka yang memusatkan nilai diri pada kemenangan atas orang lain—cenderung memiliki tingkat harapan dan harga diri yang lebih rendah dibanding individu dengan mastery orientation yang menekankan pengembangan diri dan pencapaian optimal. Orientasi ego sering kali mendorong seseorang untuk mengejar pengakuan eksternal dan menghindari kegagalan, alih-alih belajar dari proses. Dalam pengembangan teoretis yang lebih mutakhir, Vandewalle et al. (2020) menegaskan bahwa mastery orientation berkorelasi positif dengan ketahanan psikologis (psychological resilience) dan kepemimpinan etis, sementara ego orientation berpotensi memicu stres kronis, pengambilan keputusan impulsif, serta kerentanan terhadap krisis identitas kepemimpinan. Oleh karena itu, dalam dunia kepemimpinan yang kian dinamis dan penuh tekanan sosial-politik, penting untuk memahami bahwa arah orientasi motivasional seorang pemimpin tidak hanya memengaruhi performa institusional, tetapi juga menentukan kualitas relasi, kesehatan mental, dan keberlanjutan kepercayaan publik.

Baca Juga :  BEDA AGAMA

Dalam khazanah kepemimpinan Indonesia, nilai-nilai kearifan lokal telah lama menjadi jangkar etis yang menuntun perilaku seorang pemimpin. Konsep seperti manunggaling kawula lan gusti dalam budaya Jawa, tudang sipulung di Sulawesi, hingga kayuh baimbai dari Kalimantan Selatan menekankan pentingnya harmoni, musyawarah, dan pengabdian yang tidak berorientasi pada kepentingan pribadi. Nilai-nilai tersebut sejalan dengan semangat mastery orientation yang menempatkan proses, integritas, dan keutuhan relasi sosial sebagai prioritas utama. Kepemimpinan dalam perspektif lokal tidak menuntut pemimpin untuk selalu menang, melainkan untuk mampu menjaga keseimbangan batin dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Penelitian oleh Lestari dan Soemanto (2022) bahkan menunjukkan bahwa pemimpin lokal yang menginternalisasi nilai-nilai kultural cenderung lebih adaptif dan tahan terhadap tekanan psikologis, karena fondasi kepemimpinan mereka dibangun atas dasar keikhlasan, bukan kompetisi. Dengan demikian, refleksi atas orientasi ego tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya; justru dalam kearifan lokal lah kita menemukan model kepemimpinan yang berakar, berjiwa, dan bertahan dalam jangka panjang.

Kepemimpinan yang berorientasi pada ego sering kali tampak impresif di permukaan—tegas, ambisius, dan penuh daya saing. Namun di balik pencitraan itu, tersembunyi ruang-ruang sepi yang diisi dengan kegamangan, kecemasan, dan keraguan akan makna peran kepemimpinan itu sendiri. Franken dan Brown (1996) telah mengingatkan bahwa ketika kemenangan menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan, maka harga diri dan harapan cenderung rapuh. Dalam praktiknya, pemimpin semacam ini lebih sibuk menjaga gengsi daripada membangun kepercayaan. Sebaliknya, kepemimpinan yang tumbuh dari orientasi penguasaan diri atau mastery justru lebih tahan terhadap fluktuasi ekspektasi dan krisis. Mereka tidak hanya memimpin karena mampu, tetapi karena merasa terpanggil untuk mengabdi. Penelitian terbaru oleh Deci & Ryan (2020) dalam kerangka Self-Determination Theory menegaskan bahwa pemimpin yang digerakkan oleh motivasi intrinsik—yakni dorongan untuk tumbuh, memberi makna, dan melayani—memiliki daya lenting yang lebih kuat serta kecende
rungan lebih rendah terhadap kelelahan psikologis. Di sinilah letak paradoks kepemimpinan: semakin seseorang melepaskan ego dan merawat harapan bersama, semakin kokoh ia berdiri sebagai pemimpin yang bermakna. Dalam konteks budaya kita, pengabdian bukan bentuk kelemahan, tetapi puncak dari kesadaran diri yang utuh.

Baca Juga :  Pemimpin Indonesia Berganti, Isu Palestina Tetap di Hati

Pada akhirnya, kepemimpinan bukanlah soal siapa yang paling cepat mencapai puncak, melainkan siapa yang paling mampu bertahan dengan utuh saat badai datang. Dalam dunia yang sering kali menilai keberhasilan dari hasil, skor, dan jabatan, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin yang berani mengembalikan makna memimpin pada keutuhan jiwa dan keikhlasan untuk melayani. Refleksi atas Franken & Brown (1996) mengingatkan kita bahwa kemenangan yang dibangun atas dasar ego hanya akan menyisakan kelelahan; sebaliknya, kepemimpinan yang dibangun atas dasar penguasaan diri dan nilai budaya yang hidup akan meninggalkan jejak yang mendalam dan lestari. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan nilai gotong royong, harmoni, dan rasa malu sebagai kontrol sosial, kita perlu kembali menggali akar budaya sebagai fondasi kepemimpinan yang membumi namun tahan menghadapi tekanan global.

Maka, marilah kita bertanya: apakah kita memimpin untuk diri sendiri atau untuk sesuatu yang lebih besar dari diri kita? Dan jika jawabannya adalah yang kedua, maka sudah saatnya kita membebaskan diri dari hasrat untuk sekadar menang, dan mulai menapaki jalan panjang kepemimpinan sebagai laku pengabdian. Sebab dalam dunia yang haus figur kuat, yang benar-benar dibutuhkan adalah figur yang jujur kepada dirinya sendiri.

“Keteguhan adalah puncak dari kepemimpinan yang tak mencari tepuk tangan, tapi tetap berdiri saat semua orang mulai pergi.” Rico & Susanto (2025)

Iklan
Iklan