Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Paradoks Persatuan Umat dalam Haji dan Realita Bermasyarakat dan Bernegara

×

Paradoks Persatuan Umat dalam Haji dan Realita Bermasyarakat dan Bernegara

Sebarkan artikel ini

Oleh: Bunda Khalis
Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan

Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di satu titik yang sama—Tanah Suci Makkah. Mereka datang dari berbagai bangsa, warna kulit, bahasa, dan latar belakang budaya. Tak peduli kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, semua mengenakan pakaian yang sama, melafalkan doa yang sama, menghadap arah yang sama, dan menjalankan ibadah dengan tujuan yang sama: mengharap ridha Allah SWT. Pemandangan ini adalah bukti nyata bahwa Islam telah menanamkan nilai persatuan yang melampaui batas geografis dan perbedaan duniawi.

Baca Koran

Haji menjadi simbol agung dari kesatuan umat Islam. Bukan karena kesamaan ras atau budaya, tetapi karena satu ikatan mulia yang menyatukan mereka: aqidah Islam. Aqidah inilah yang menghapus semua sekat nasionalisme, etnisitas, bahkan status sosial. Di bawah panji La ilaha illallah, umat Islam sejatinya adalah satu tubuh, satu umat. Jika umat yang hampir mencapai dua miliar ini benar-benar bersatu dalam satu visi dan misi, maka tidak ada kekuatan dunia yang mampu meremehkan mereka. Dunia akan menyaksikan kebangkitan umat Islam yang memimpin dengan peradaban yang mulia dan rahmatan lil alamin.

Namun, setelah gema takbir Idul Adha mereda dan para jamaah haji kembali ke negaranya masing-masing, pemandangan persatuan itu pun ikut menghilang. Umat kembali terpecah belah dalam sekat-sekat buatan, baik karena sekat negara-bangsa, mazhab, kelompok, dan kepentingan politik. Penderitaan saudara seiman di Palestina, Suriah, Rohingya, dan belahan dunia lainnya seringkali luput dari empati dan aksi nyata. Bahkan dalam satu negeri, umat bisa saling bertikai hanya karena perbedaan pandangan politik, organisasi, atau mazhab.

Inilah paradoks menyedihkan umat Islam hari ini. Di satu sisi, kita memperingati Hari Raya Qurban dengan semangat pengorbanan dan persatuan. Tetapi di sisi lain, kita hidup dalam perpecahan yang terus menerus diperpanjang oleh sistem yang tidak menyatukan. Persatuan yang terlihat indah di Makkah nyatanya hanya berlangsung sesaat. Setelah itu, umat kembali tercerai, hidup di bawah bendera nasionalisme yang diwarisi dari penjajah, dengan sistem kehidupan yang menjauhkan Islam dari ranah publik dan pemerintahan.

Baca Juga :  Ketika Tempat Teraman Berubah Jadi Menakutkan Karena Kejahatan Seksual

Refleksi

Jika kita mau menyadari dan mengakui. Islam sebenarnya telah menawarkan solusi yang paripurna. Persatuan sejati umat Islam hanya dapat diwujudkan dalam satu institusi politik yang menyatukan seluruh kaum Muslimin. Dalam sistem ini, umat tidak lagi tersekat oleh batas nasional buatan manusia, tetapi bersatu dalam satu kepemimpinan yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Di bawah naungan Islam yang kita kenal sebagaimana yang dicontohkan oleh khulafaur rasyidin yaitu khilafah, seluruh urusan umat, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga hubungan internasional diatur berdasarkan hukum Allah SWT, bukan kepentingan politik sempit atau tekanan asing.

Idul Adha sejatinya bukan hanya seremonial tahunan, tetapi momentum untuk meneguhkan kembali ketaatan total kepada Allah. Ketaatan itu seharusnya tidak berhenti pada ibadah ritual semata, tetapi diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan, baik bermasyarakat, berpolitik, dan bernegara. Ketika Ibrahim dan Ismail AS menunjukkan totalitas pengorbanan kepada perintah Allah, itu menjadi pelajaran penting bagi umat agar tidak setengah-setengah dalam menegakkan Islam.

Sejarah mencatat bagaimana khilafah Islam mampu menyatukan umat dalam satu kepemimpinan lintas wilayah dari Andalusia di barat hingga Samarkand di timur. Di masa Rasulullah SAW, kaum Muslim dari berbagai suku dan bangsa menjadi satu tubuh di bawah pemerintahan Islam di Madinah. Di masa Khulafaur Rasyidin, umat Islam tetap terikat dalam satu institusi, meski telah tersebar ke banyak wilayah. Bahkan pada masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, persatuan umat tetap terjaga dalam satu peradaban Islam yang unggul dan berwibawa.

Kini, dunia menyaksikan betapa lemahnya umat Islam ketika tidak bersatu. Karena itu, saatnya menjadikan momen haji dan Idul Adha bukan sekadar simbol, tetapi titik awal kebangkitan. Bukan hanya seragam dalam pakaian ihram, tetapi juga satu hati dalam memperjuangkan tegaknya Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam” melalui institusi yang mempersatukan, bukan memecah-belah.

Iklan
Iklan