Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Penulisan Ulang Sejarah Nasional

×

Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis Beberapa Buku Sejarah dan Budaya Banjar

Selama 50 tahun terakhir pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah dan akan menyusun dan menerbitkan tiga buku besar sejarah nasional. Pertama, tahun 1975, terbit buku Sejarah Nasional Indonesia sebanyak enam jilid. Kedua, 2010, terbit buku Indonesia dalam Arus Sejarah sebanyak sembilan jilid. Dan terakhir, 2025, Kementerian Kebudayaan di bawah Fadly Zon akan menerbitkan buku Sejarah Nusantara Awal hingga Reformasi” sebanyak 10 jilid, yang akan diuji publik Juli, dan diluncurkan 17 Agustus 2025 mendatang, menandai ulang tahun kemerdekaan RI ke-80.

Kalimantan Post

Menurut Fadly Zon, penerbitan buku sejarah baru dalam rangka Reinventing Indonesian Identity (menemukan kembali identitas bangsa), yang merupakan amanah para sejarawan, melalui Kongres 2001, yang intinya menghendaki adanya pembaruan dalam historiografi nasional. Mereka melihat penulisan sejarah selama ini tidak begitu objektif, mengesankan sejarah hanya ditulis pihak yang menang dan berkuasa (history written by a winner) dan banyak sejarah lokal di daerah yang belum terakomodasi atau ditulis sedikit sekali. Karena itu buku sejarah yang akan diluncurkan nanti minimal memuat tiga hal, pertama, revisi atas narasi sejarah yang sudah ada; kedua, penambahan materi baru; dan ketiga, pelurusan sejarah.

Ketua tim penulisan sejarah, Susanto Zuhdi mengatakan, pihaknya akan melibatkan 120 sejarawan seluruh Indonesia, dari kalangan ahli arkeologi, peneliti dan mahasiswa S2 prodi sejarah di berbagai perguruan tinggi. Sejarah yang ditulis diupayakan seobjektif mungkin, dan kesan bahwa sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa ditepis, karena pemerintah sama sekali tidak mengintervensi, mengarahkan atau memberi pesan tertentu. Presiden Prabowo Subianto yang sangat meminati sejarah juga mendukung penulisan sekaligus objektivitasnya.

Kejar Tayang

Melihat argumen pemerintah dan tim menyusun, agaknya penulisan ulang sejarah ini memang penting. Apalagi dalam drafnya sudah jelas akan memasukkan beberapa peristiwa besar yang tidak termuat dalam buku sejarah sebelumnya, seperti Peristiwa Talang Sari, Tanjung Priok, Petisi 50 dan sebagainya. Perkembangan Partai Komunis sejak 1926/27 dan pemberontakan 1965 tetap ditulis, beberapa tokoh yang sebelumnya terpinggirkan seperti Tan Malaka diberi ruang, dinamika pemerintahan sejak era Soekarno sampai Joko Widodo juga ditulis.

Baca Juga :  NEPOTISME, SEBUAH REDEFINISI

Kritik yang dilontarkan, peran perempuan dan sejarah daerah masih kurang. Dalam dunia perjuangan dan pergerakan di mana saja, besar sekali peran perempuan. Kemudian sejarah lokal hanya sedikit, dan belum berimbang antara masing-masing daerah. Sejarawan Papua, Albert Rumbekwan menyatakan, dalam buku yang akan diterbitkan nanti, sejarah Papua sedikit sekali ditulis, padahal Papua sudah punya sejarah sejak 500 tahun terakhir.

Sementara itu, sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya, Mohammad Refi Omar al-Razi mengeritik penulisan sejarah kali ini terkesan terburu-buru dan isinya terkesan masih elit. Tidak berakar dari bawah. Dan belum memuat semua peristiwa, misalnya dari 12 kasus pelanggaran HAM, baru dua yang ditulis.

Memang kesan penulisan ulang sejarah kali ini agak terburu-buru ada benarnya. Mestinya pemerintah tidak perlu mengejar target waktu, harus launching 17 Agustus 2025 nanti, seolah-olah ini proyek yang harus selesai. Padahal menulis sejarah tidak sama dengan mengerjakan proyek infrastruktur di mana ada finis waktu atau finalty, itu pun sering molor. Seharusnya, minimal jeda waktu penulisan ini tiga tahun. Karena untuk menggali, menghimpun dan menganalisis data baru pasti butuh waktu. Betapapun ahlinya tim yang beranggotakan 120 orang itu, mereka pasti memerlukan waktu yang lapang untuk meneliti, mengendapkan, berpikir dan merenung.

Buku sejarah ini akan digunakan secara nasional untuk sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, khususnya prodi sejarah, dan dalam waktu lama baru akan direvisi lagi. Kalau keseringan merevisi, tentu memakan biaya yang tidak sedikit dan mubazir. Padahal, buku sejarah yang disusun sebelumnya belum juga dibaca merata seluruh rakyat, termasuk stakeholder berkepentingan.

Sejarah Lokal

Belum diakomodasinya sejarah lokal secara maksimal, seperti dikeluhkan Papua, sudah pasti juga dirasakan daerah lain-lain. Bagaimanapun Indonesia memiliki banyak suku bangsa, pulau dan provinsi yang punya sejarah sendiri, yang tidak persis sama satu dengan lainnya.

Sebenarnya sejarah nasional dibentuk oleh sejarah lokal. Indonesia adalah kumpulan daerah-daerah yang dulu milik kerajaan dan kesultanan yang sangat banyak, yang kemudian diwakafkan menjadi NKRI. Tetapi kalau kita mengharapkan sejarah nasional akan mampu menyerap semua sejarah lokal rasanya mustahil juga. Tak hanya Papua, Kalimantan juga belum maksimal disentuh. Mengacu buku yang terbit 2010, Kalimantan hanya diuraikan sekian persen.

Baca Juga :  Anak Kita, Cermin Masa Depan Bangsa

Mengatasi keterbatasan ini, kita mengusulkan, agar daerah-daerah mengambil alih penulisan sejarah lokal. Pemerintah daerah, di tingkat provinsi dan kabupaten kota, melalui dinas-dinas yang ada, hendaknya mendukung penulisan sejarah masing-masing, baik sejarah di masa kerajaan/kesultanan, maupun sejarah pergerakan dan perjuangan kemerdekaan atau sesudahnya. Selama ini penulisan sejarah demikian sudah ada, tapi tidak maksimal. Beberapa penulis sejarah lokal kesulitan mencari dukungan pendanaan dan sebagainya.

Mengingat penulisan ulang sejarah ini, tampaknya tidak bisa ditunda lagi, maka kita tetap memberi apresiasi tim yang telah bekerja keras. Dengan catatan, buku-buku terdahulu tetap dibaca dan buku-buku sejarah yang lain pun tetap diapresiasi. Bagaimana pun khazanah sejarah kita sangat kaya, dan sangat berharga bagi kita untuk belajar dan mengaca diri.

Banyak ungkapan terkait sejarah: Historia Magistra Vitae (Sejarah adalah Guru Kehidupan), dan Le Histoire se Repete (Sejarah bisa Berulang). Dari sejarah kita bisa belajar dan berguru, bercermin, menilai, membanding dan menoleh ke belakang. Mencari hal-hal baik untuk dilanjutkan dan meninggalkan hal-hal buruk, agar tidak terjadi dan terulang lagi.

Menurut Allan Nevins dalam The Gateway of History (1962), “sejarah adalah jembatan penghubung masa silam dan masa kini, dan sebagai petunjuk arah ke masa depan”. Muhsin Mahdi dalam The Ibn Chaldun’s Philosophy of History (1971): “salah satu fungsi sejarah adalah mengajari manusia sebagai pelaku jabatan publik (di masa sekarang) tentang bagaimana orang-orang di masa lalu bertindak dalam keadaan khusus, tentang pilihan-pilihan yang dibuatnya, juga tentang keberhasilan dan kegagalan mereka”.

Thomas Carlyle menganjurkan: “Pelajarilah sejarahmu agar tidak tergelincir di masa depan”. Futuris Alfin Toffler mengatakan: “Kalau kita tidak belajar dari sejarah, kita akan dipaksa untuk mengalaminya lagi. Tetapi kalau kita tidak mengubah masa depan, kita akan dipaksa memikul deritanya, dan itu bisa lebih buruk”. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan