BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Pemungutan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) tidak sama dengan jenis lainnya. Jika jenis pajak lainnya dipungut langsung oleh pemerintah. Maka khusus PBBKB yang wajib memungut adalah Perusahaan atau lembaga yang telah ditunjuk.
Berdasarkan evaluasi terakhir di Kalimantan Selatan hanya ada 14 perusahaan pemungut pajak. Di luar dari 14 perusahaan itu tidak diperbolehkan mengambil tambahan pembayaran untuk PBBKB.
“Gubernur Kalsel telah mengeluarkan surat keputusan nomor 100.3.3.1/0427/KUM/2025 tertanggal 15 Mei 2025 tentang Penunjukan Wajib Pajak Pemungut Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Dari SK yang ditandatangani Gubernur H. Muhidin hanya ada 14 perusahaan pemungut pajak,” jelas Kepala Sub Bidang Pajak Daerah Badan Pendapatan Daerah Kalsel, Indra Surya Saputra, Kamis (5/6).
Menurut Indra, daftar Perusahaan pemungut PBBKB dievaluasi setiap 3 bulan sekali. Jumlahnya bisa berkurang atau bertambah. Daftar yang ada saat ini merupakan evaluasi terakhir tanggal 15 Mei 2025.
“Daftar wajib pajak pemungut (Wapu) PBBKB yaitu PT. Pertamina Patra Niaga, PT. AKR Coporindo Tbk, PT. Global Arta Borneo, PT. Sinar Alam Duta Perdana II, PT. Global Borneo Energi, PT. Andifa Perkasa Energi, PT. Prima Wiguna Parama, PT. Multi Tranding Pratama, PT. Teladan Makmur Jaya, PT. Gardana Makmur Energi, PT. Putra Andalas Sukses, PT. Harapan Mat 77, dan PT. Exxonmobil Luricants Indonesia,” jelas Indra.
Ia menyatakan bagi WAPU yang telah dikeluarkan dari daftar tidak diperkenankan lagi memungut pajak. Meski dikeluarkan, lanjutnya, bukan berarti mematikan usaha. Pembayaran pajak perusahaan BBM di luar daftar WAPU akan dikenakan pada saat pembelian pertama.
“Perlu dipahami bagi WAPU misalnya membeli BBM dari WAPU maka tidak dikenakan pajak. Tapi si WAPU akan memungut pajak ketika menjual kepada konsumen yang bukan WAPU. Bagi perusahaan yang bukan WAPU pajak dipotong saat membeli dengan WAPU. Contohnya perusahaan A yang bukan WAPU beli dari Pertamina, maka Pertamina langsung memungut pajaknya. Sementara apabila PT. Sinar Alam Duta Perdana membeli dari Pertamina maka tidak dikenakan pajak. Pajaknya pada saat PT. Sinar Alam Duta Perdana menjual kepada perusahaan lainnya yang bukan WAPU. Jadi, bagi perusahaan yang dikeluarkand dari daftar WAPU silakan menjalankan perusahaannya, tapi tidak diperbolehkan memungut pajak,” bebernya.
Besaran PBBKB yang berlaku di Provinsi Kalsel sebesar 10 persen/liter. Persentase tersebut berlaku untuk umum atau keperluan industri. Sementara penggunaan khusus untuk TNI PBBKB nya hanya sebesar 2 persen.
“Dengan adanya SK WAPU mudah-mudahan mnejadi salah satu objek pajak terbesar dari sektor pajak lain. Harapannya semua pelaku usaha dapat menaati berdasarkan administrasi yang telah ditetapkan,’’ katanya.
Indra menyadari tidak semua BBM yang beredar di Kalimantan Selatan masuk pajak. Masih terjadi margin yang cukup jauh. Antara BBM yang beredar di Kalsel dengan laporan PBBKB. Berdasarkan data potensi penyaluran BBM dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harusnya melebihi pendapatan yang ada. Praduga sementara masih ada yang tidak dilaporkan.
“Praduganya banyak BBM dipindah di laut sehingga menjadi black market (BM). Selain itu juga karena persaingan menurunkan harga dengan tidak memungut PBBKB. Penjual yang memungut PBBKB kalah dengan yang tidak menerapkan PBBKB,” urainya.
Lebih jauh Indra menjelaskan, realisasi PBBKB saat ini 49,19 persen atau Rp1 triliun 60 miliar sampai dengan 5 Juni 2025. Target Tahun ini Rp2 triliun 155 miliar. Dengan SK WAPU diharapkan bisa meningkat lagi. Jumlah WAPU dari puluhan sekarang hanya 14.
“Harapannya dari 14 ini bisa berkomitmen meningkatkan PAD. Persyaratan yang masuk WAPU dengan jumlah 150 kl minimal transaksi perbulan,” ucapnya.
Menurutnya, data penyaluran PBBKB khusus di Kalsel dari Kementerian ESDM dan SKK Migas potensinya lebih besar. Pada tahun lalu pendapatan dari PBBKB sebesar Rp2 triliun. Padahal potensi dari data penyaluran bisa mencapai Rp4 triliun.
“Potensi masih sangat besar. Apabila semuanya dipungut maka bisa mencapai Rp4 triliun per tahun. Untuk mengatasi itu kami terus berkomunikasi antar instansi. Baik itu aparat penegak hukum (APH) maupun pelaku usah,’’ pungkasnya. (mns/KPO-1)