Oleh : AHMAD BARJIE B
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang akhir-akhir sering muncul di media sosial, kembali membuat kontroversi terkait kebijakannya memberlakukan persyaratan vasektomi bagi penerima bantuan sosial di wilayahnya. Menurutnya, kebijakannya itu bukannya ilegal, melainkan legal, karena merupakan bagian dari program Kementerian Kependudukan dan Keluarga Berencana.
Ia beralasan, selama ini banyak penerima bantuan sosial dari kalangan masyarakat prasejahtera sering minta bantu biaya kelahiran yang mencapai Rp15 juta-Rp25 juta, yang rata-rata dilakukan melalui operasi sesar untuk rara-rata anak keempat. Menurutnya kalau seseorang tidak punya kemampuan untuk membiayai kehamilan, kelahiran, nafkah dan pendidikan, jangan dulu menjadi orangtua. Sekarang yang cenderung miskin itu karena anaknya banyak.
Untuk menyukseskan programnya, ia bersedia memberi insentif Rp500 ribu bagi yang bersedia divasektomi. Ia mencanangkan penerima bansos untuk biaya kelahiran, rumah sakit, listrik, bantuan pangan nontunai, perumahan dan beasiswa disyaratkan KB pria. Sebab, dalam keluaga demikian, si ayah atau suamilah yang lebih dulu bertanggung jawab atas dirinya, dengan bersedia divasektomi. (Tempo, 2 Mei 2025).
Sebenarnya, bukan hanya Jawa Barat, beberapa daerah lain juga ada keinginan melaksanakan program di atas, sebab sudah menjadi program prioritas kementerian. Ada daerah yang mengimingi insentif Rp 1 juta untuk pria atau wanita usia subur yang melakukannya. Tapi sifatnya sukarela dan tidak terlalu terbuka. Tidak seperti Dedi Mulyadi yang terang-terangan dan dikaitkan dengan bansos.
Vasektomi adalah kontrasepsi permanen atau tetap disebut kontap atau sterilisasi bagi pria untuk mencegah kehamilan, dengan memotong dan mengikat saluran sperma, yang tidak mempengaruhi produksi hormon testosteron, libido dan ereksi, orgasme dan ejakulasi.
MUI Pusat sejak 13 Juni 1979 sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya vasektomi (dan tubektomi). Fatwa yang dulu ditandatangani oleh KH Syukeri Ghozali dan KH Musytari Yusuf itu menyatakan: 1) Sterilisasi atau pemandulan dilarang oleh agama; 2) Vasektomi dan tubektomi adalah salah satu usaha pemandulan, 3) Di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasektomi dan tubektomi dapat disambung/dipulihkan kembali.
Mengingat sterilisasi bersifat pemandulan tetap, maka ini bertentangan dengan tujuan perkawinan, yakni untuk mewujudkan kebahagiaan suami istri di dunia dan akhirat, serta untuk mendapatkan keturunan yang diharapkan menjadi anak yang saleh/salehah. Sterilisasi ini sifatnya memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan normal yang berfungsi sebagai saluran sperma dan sel telur. Sterilisasi demikian hanya dibolehkan karena alasan yang sangat darurat, seperti menghindari penurunan penyakit dari bapak/ibu kepada anak yang bakal dilahirkan, terancamnya jiwa si ibu jika ia hamil dan melahirkan. Islam hanya membolehkan sterilisasi pria dan wanita semata karena alasan medis. Selain alasan medis, misalnya banyak anak dan kemiskinan, tidak dapat jadi alasan pembenar sterilisasi. Tetapi diizinkan menggunakan alat kontrasepsi lain, seperti kondom, IUD, oral pil, vagina tablet, vagina pasta dan sejenisnya. Di sini berlaku kaidah, ad-dharuratu tubihul mahzhurat, keadaan darurat membolehkan yang dilarang.
Atas dasar fatwa di atas, MUI bereaksi keras. Menurut Dr KH Cholil Nafis, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah, vasektomi (dan tubektomi) identik dengan orang yang membunuh anak/calon anak karena takut miskin, sebagaimana peringatan Allah dalam Alquran surah al-Isra ayat 31. Kemiskinan seharusnya diatasi dengan mencerdaskan dan menyejahterakan masyarakat, bukan dengan vasektomi dan tubektomi, ujarnya. Cara itu hanya dibolehkan karena alasan yang betul-betul darurat (emergensi). Alasan-alasan sosial ekonomi sebagaimana dikemukakan Dedi Mulyadi belum sampai pada taraf darurat yang sebenarnya. Bahkan MUI khawatir, vasektomi itu justru menambah kemiskinan, karena mencerminkan sikap putus asa dan merusak ciptaan Allah. (Detikhimah, 3 Mei).
Mengingat kontroversi ini dan adanya penolakan khususnya dari kalangan agama, maka kita menyarankan agar ditempuh pendekatan lain. Dana pembangunan yang selama ini banyak terkuras untuk pembangunan sektor lain, hendaknya dialokasikan lebih banyak untuk peningkatan kesejahteraan, membuka lapangan kerja, menyehatkan ekonomi, kesehatan, pendidikan, beasiswa, subsidi listrik, air dan internet, pengurangan pajak dan hal-hal yang terkait dengan pengurangan beban ekonomi dan memanusiakan manusia supaya hidup layak.
Penerima bansos hendaknya didekati dengan pemberian BPJS gratis yang lebih banyak lagi, atau iuran BPJSnya disubsidi oleh pemerintah, begitu pula biaya pelayanan kehamilan, kelahiran, pendidikan, rumah murah dan lainnya. Kemudian terkait dengan penekanan angka kelahiran, adalah dengan memaksimalkan penggunaan kontrasepsi yang sudah ada yang dibolehkan oleh agama. Dengan begitu upaya mengurangi kelahiran lebih alami, bermartabat dan tidak merusak organ ciptaan Tuhan yang sehat.
Anak-anak sebenarnya investasi keluarga, yang kelak akan mengubah nasib orangtuanya menjadi lebih baik. Mereka sebenarnya investasi SDM yang tidak ternilai. Apabila anak dapat diasuh dan dididik dengan baik, tidak mustahil bahkan hampir pasti mereka dapat mengubah nasib orangtuanya ke arah yang lebih baik. Seringkali orangtua yang gagal dalam kehidupan sosial ekonomi, nasibnya berubah dengan punya anak. Menurut tukang kisah Hamdani Akbar, bagi orangtua yang sudah berusia, tentu menambah harta sudah sulit, apalagi di tengah ekonomi sekarang, yang ada hanya menambah penyakit.
Tapi kalau kita punya anak masih ada harapan berubah. Orang Banjar mengatakan “untung di anak”. Kalau anak dicegah kelahirannya secara tidak wajar, maka orangtua yang sudah miskin akan tambah miskin seiring usianya. Orang yang miskin dan terlantar di hari tuanya seringkali karena tidak ada anak, atau ada anak tapi mereka tidak berdaya karena pendidikannya rendah. Wallahu A’lam.