Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

YAHYA

×

YAHYA

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : AHMAD BARJIE B

Sebelum 2015 lalu, kalau tidak salah ada tiga kali Ustadz Yahya Waloni singgah berceramah di Masjid Besar At-Taqwa Banjarmasin, dalam safari dakwahnya keliling Indonesia yang sudah rutin ia lakukan. Saya dan Jemaah lainnya serius mendengarkan ceramahnya, dan sempat pula membeli buku karangannya.

Kalimantan Post

Kini, ustadz muallaf kelahiran Manado yang dikenal vokal tersebut telah wafat. Ia berpulang ke Rahmatullah dalam usia relatif muda, 55 tahun. Allah memanggilnya di hari yang mulia, yaitu Idul Adha 10 Zulhijjah 1446 H bertepatan pula pada hari Jumat 6 Juni 2025 M. Hebatnya lagi, ia meninggal di saat menyampaikan khutbah di sebuah masjid di Kota Makassar. Banyak orang terkejut atas kematiannya, ikut mendoakannya dan mengantarkannya ke kubur.

Bagi sebagian orang, mungkin Ustadz Yahya Waloni tidak disenangi bahkan dibenci. Tapi bagi sebagian orang gaya dakwahnya justru disenangi, karena apa yang disampaikannya berisi kebenaran dan disampaikan secara berani, tegas, tidak berbasa-basi, dan tanpa tedeng aling-aling. Dan semuanya pakai dasar, baik dasar Alquran, Hadits maupun ratio. Tergantung siapa dan dari sudut mana orang melihatnya.

Ia tampak menguasai Bahasa Ibrani dan Inggris. Bahasa Arab dan bacaan Al Qurannya memang sedikit kurang lancar, mungkin karena terpengaruh logat dan bahasa daerahnya, tapi untuk seorang muallaf yang berislam di tahun 2006 lalu, itu sudah luar biasa. Jangankan muallaf, orang yang Islam sejak lahir pun belum tentu mampu membaca Alquran dan hadits dengan fasih, baik dan benar.

Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari Yahya Waloni. Pertama, ia tampaknya selalu ingat dengan mati. Ini sesuai dengan hadits Rasululah saw, bahwa orang yang cerdas itu adalah orang yang selalu ingat mati dan mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian. Kedua, ia sangat merindukan kematian, ini terlihat khususnya dalam satu ceramahnya di tahun 2024 lalu di mana ia memprediksi atau meyakini di tahun 2025 ini ia sudah tidak ada lagi, dan ternyata Allah mengabulkan keinginannya. Ia sudah rindu bertemu dengan Allah Sang Maha Pencipta. Siapa saja orang yang rindu bertemu Allah, maka Allah juga merindukannya. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan hati yang puas (ridha) dan diridhaiNya. Maka masukkah ke dalam Jemaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surgaKu” (QS. Al-Fajr : 27-30).

Baca Juga :  Dari Jahil Menjadi Alim dengan Menuntut Ilmu Agama di Majelis Ilmu

Melihat hal ini tampak bahwa Yahya Waloni sudah memiliki maqam (derajat) yang tinggi. Kalau dilihat dari kacamata tasawuf, ia sudah berada pada maqam “ridha”. Ia rela meninggalkan kehidupan yang berlimpahkan materi, ia lebih memilih dunia dakwah yang tidak bermateri. Ia hidup sederhana, mobil sederhana, tanpa pengawal, bahkan kabarnya rumahnya masih ngontrak. Ia mengamalkan salah satu sifat Abu Bakar al-Shiddiq, yaitu “mutu qabla an tamutu” (matikan dirimu sebelum kamu mati).

Hal ini berbanding terbalik dengan sebagian kita. Dalam doa, kita sering minta panjangkan umur, sehatkan badan, luaskan rezeki…dan seterusnya yang sifatnya materi duniawi. Doa ini memang tidak dilarang, namun tidak begitu dianjurkan dalam agama. Hanya orang-orang yang berada pada maqam tertentu yang sanggup untuk tidak berdoa seperti itu.

Satu diantaranya adalah Syekh Ahmad Fahmi Zamzam al-Banjari (Abu Ali An-Nadwi) pimpinan Pondok Pesantren Yasin (Banjarbaru dan daerah lainnya) yang wafat beberapa tahun lalu. Saat usia beliau belum 60 tahun, kalau sakit beliau memang sempat minta sembuhkan dari sakit dan dipanjangkan umurnya. Namun ketika sudah memasuki usia 60 tahun lebih beliau tidak berdoa seperti itu. Dan ketika usia mencapai 63 tahun beliau menyusun buku, dan sesudah itu beliau pun tutup usia.

Begitu juga dengan Guru Ahmad Zuhdiannoor Banjarmasin. Menurut kesaksian Guru H. Noor Ifansyah alias Guru Gabin (Gambut Binuang), Guru Zuhdi tidak sekalipun berdoa minta sehatkan badan dan panjangkan umur. Artinya beliau sudah rindu bertemu Allah, dan keinginannya itu pun dikabulkan oleh Allah. Guru Zuhdi wafat di usia 44 tahun, beberapa tahun lalu. Kita yang masih diberi umur, hanya menunggu giliran. Semoga kita semua ketika dipanggil Allah dalam husnul khatimah. Amin.

Iklan
Iklan