Oleh: Ikhsan Alhaque *)
Tak ada cermin paling jujur bagi suatu bangsa selain dari caranya memperlakukan anak-anaknya. Hari Anak Nasional 2025 yang jatuh hari ini, Rabu, 23 Juli 2025, seharusnya menjadi momentum untuk bercermin lebih jernih—bukan hanya menampilkan panggung boneka dan baliho berwarna pastel, melainkan refleksi mendalam tentang kualitas kemanusiaan kita. Tema yang diusung, “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”, bukan sekadar slogan, melainkan amanat sejarah yang menuntut pembuktian— di rumah, di sekolah, di jalanan, dan dalam dokumen anggaran negara.
Namun, apakah benar kita telah menempatkan anak sebagai prioritas, atau hanya menjadikannya ornamen manis dalam kebijakan yang hambar?
Seorang filsuf pernah berkata, “The soul of a society is revealed by how it treats its children.” Jika kita berkaca hari ini, pantulan itu masih buram. Anak-anak tumbuh di lorong sempit kota tanpa udara bersih, sekolah yang atapnya bocor, atau meja belajar yang tak pernah mereka miliki. Di ladang-ladang terpencil, mereka menunggu masa depan yang datang terlalu lambat—atau bahkan tak pernah datang sama sekali.
Ketimpangan dan Keadilan yang Terluka
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat sekitar 9,3 juta anak hidup dalam garis kemiskinan. Mereka bukan sekadar kekurangan materi, tetapi kekurangan akses terhadap gizi, pendidikan bermutu, layanan kesehatan, bahkan hak bermain yang aman. Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai “reproduksi struktural”—sebuah ironi ketika ketidakadilan diwariskan dari generasi ke generasi, dan seolah dianggap normal oleh sistem.
Banyak dari anak-anak ini hidup di jalur sosial yang penuh lubang, sementara sebagian kecil lainnya telah memulai hidup dari garis akhir. Dalam konteks ini, ketimpangan bukan lagi kelalaian, tapi menjadi bentuk kekerasan struktural yang dilembagakan oleh negara.
Mimpi yang Retak di Bangku Sekolah
UNESCO dalam laporan Global Education Monitoring tahun 2023 mencatat lebih dari 4 juta anak Indonesia usia sekolah belum menikmati akses pendidikan layak. Sebagian karena jarak, faktor ekonomi dan sebagian lagi disebabkan struktur yang tidak inklusif. Alih-alih menjadi tempat merdeka untuk berpikir, sekolah sering kali menjelma menjadi ruang monolog yang kering, jauh dari semangat pendidikan membebaskan ala Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) yang berkata:
“Pendidikan sejati bukanlah menjejalkan isi kepala, tapi membuka ruang dialog dan kesadaran.”
Kita membangun gedung sekolah bertingkat, tetapi lupa membangun semangat anak-anak di dalamnya. Kita mengejar akreditasi, namun membiarkan satu anak pun tertinggal di belakang.
Anggaran Cermin yang tak Ramah Anak
UNICEF Indonesia (2023) melaporkan hanya sekitar 1,6 persen dari total APBN yang secara eksplisit dialokasikan untuk perlindungan anak. Di banyak daerah, nomenklatur anggaran untuk anak bahkan tak eksis, apalagi dilaksanakan secara konsisten. Ini terjadi saat lebih dari 30 persen penduduk Indonesia adalah anak-anak. Angka yang timpang ini mengkonfirmasi satu hal: anak-anak belum ditempatkan sebagai prioritas strategis, melainkan sebagai kelompok yang bisa menunggu.
Ekonom Amartya Sen, dalam Development as Freedom (1999), menyatakan : “Pembangunan sejati bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi perluasan kebebasan dan kapabilitas manusia.”
Anak-anak bukan beban fiskal, mereka adalah investasi masa depan. Maka bila anggaran masih saja condong pada proyek-proyek prestise dan belanja rutin, sementara kebutuhan dasar anak-anak diabaikan, kita sedang menulis masa depan dengan tinta kelalaian.
Ruang Aman yang Semu
KPAI mencatat lebih dari 15.000 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2023. Dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga eksploitasi digital. Banyak dari kasus itu terjadi di rumah, sekolah, bahkan tempat ibadah—ruang yang semestinya menjadi pelindung, justru berubah menjadi medan luka.
Di era digital, ruang aman pun menjelma menjadi ladang baru bagi predator siber dan bullying virtual. Tanpa literasi digital yang memadai, dan tanpa perlindungan hukum yang sigap, anak-anak mudah menjadi korban dalam diam.
Frasa “Indonesia Ramah Anak” jadi terdengar seperti kosmetika kebijakan belaka. Karena sejatinya, anak-anak butuh lebih dari sekadar taman bermain: mereka butuh ruang hidup yang aman—secara fisik, emosional, dan digital.
Menuju Indonesia Emas 2045: Dimulai dari Anak Hari Ini
Indonesia Emas 2045 adalah visi yang agung, tetapi takkan pernah lahir dari generasi yang tercerabut dari martabatnya sejak kecil. Sebab masa depan bukanlah teka-teki tahun depan. Masa depan—bagi anak-anak—adalah hari ini.
Seperti yang dikatakan Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran dan membongkar ketimpangan. Maka, jika kita serius ingin menyiapkan generasi emas, kita harus berhenti membiarkan anak-anak kita tumbuh dalam ketimpangan yang diwariskan, dalam ruang belajar yang tak menginspirasi, dan dalam kebijakan yang tak berpihak.
Hari Anak adalah pengingat keras: bahwa membesarkan anak bukan tugas satu pihak, tapi proyek moral kolektif. Dari rumah tangga, ruang kelas, meja birokrat, hingga hati para pembuat kebijakan.
“Jika anak-anak kehilangan harapan, maka seluruh bangsa kehilangan masa depan.”
Mari kita pastikan Hari Anak bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi titik tolak perubahan nyata. Sebab, ketika kita melindungi dan memuliakan anak-anak hari ini, kita sedang menulis lembar terbaik dari sejarah Indonesia esok.
*) Ikhsan Alhaque merupakan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banjarmasin