Oleh : Nikmah Faizah, S.Pd
Pemerhati Pendidikan dan Generasi
Tahun Pelajaran baru anak-anak bersekolah baru saja dimulai. Semua murid menyambutnya dengan riang gembira. Masa-masa menuntut ilmu, bertemu dan bersosialisasi dengan teman serta mengembangkan potensi menjadi saat yang dinantikan, baik ditingkat sekolah dasar, menengah maupun atas.
Namun sayangnya tidak semua anak bisa beruntung menikmati masa kecil dan remaja mereka dengan menuntut ilmu disekolah hingga tingkat yang tinggi. Pada faktanya, berdasarkan data tahun 2024 dari BPS, secara nasional rata-rata penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas telah menempuh pendidikan selama 9,22 tahun atau lulus kelas 9 SMP atau sederajat. (Kompas.com/ 04 Maret 2025)
Di banua sendiri, kabupaten banjar tercatat sebagai kabupaten tertinggi ATS (Anak Tidak Sekolah) se Kalimantan Selatan, yakni 12.753 orang yang terbagi dalam beberapa kategori. ATS yang tinggi memberikan andil bagi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Banjar, yakni 74,41. Ini lebih rendah dari IPM Provinsi Kalsel 75,02, dan juga lebih rendah dari rata-rata nasional yaitu 74,66. (matabanua.co.id/ 01 Juli 2025)
Masalah anak tidak bersekolah maupun putus sekolah adalah permasalahan serius yang harus dicari solusinya agar tidak berlarut-larut. Ini menyangkut generasi penerus bangsa. Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan visi Indonesia emas 2045 jika generasinya berpendidikan rendah.
Ada banyak faktor yang membuat anak tidak sekolah, baik faktor internal maupun eksternal. Diantara faktor internal misalnya karena minat yang kurang dan motivasi yang rendah. Dalam sistem kapitalis sekuler saat ini, standar kesuksesan seseorang dilihat dari materi yang bisa didapatkan. Sehingga tidak sedikit yang beranggapan bisa meraih kesuksesan tanpa harus mengenyam pendidikan sampai kuliah. Banyak contoh orang kaya disekitar yang pendidikannya rendah. Begitu pula sebaliknya, banyak yang berpedidikan tinggi tapi hidupnya biasa-biasa saja. Hal ini membuat anak-anak tidak termotivasi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Selain faktor internal, yang juga memberikan andil besar anak tidak bersekolah adalah faktor eksternal. Saat ini faktor eksternal inilah yang lebih besar pengaruhnya. Diantara faktor tersebut seperti keterbatasan akses pendidikan karena kondisi ekonomi, kurangnya akses Pendidikan karena infrastruktur publik yang tidak memadai, sarana dan fasilitas pendidikan yang tidak layak, lingkungan yang tidak mendukung, serta masalah sosial dan budaya.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen Tatang Muttaqin menyampaikan faktor ekonomi dan bekerja menjadi penyumbang terbesar dari anak-anak kita yang tidak sekolah, yakni tidak ada biaya (25,55 persen) dan mencari nafkah atau bekerja (21,64 persen). (Tempo.co/ 19 Mei 2025)
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah di antaranya adalah melalui program beasiswa, bantuan operasional sekolah, pembangunan infrastruktur Pendidikan. Namun selama ini intervensi pemerintah di bidang pendidikan bagi keluarga miskin hanya menjadi bantalan ekonomi keluarga yang tidak menghilangkan akar masalah kemiskinan dan ketimpangan Pendidikan.
Program-program kebijakan pemeritah yang dinarasikan rezim sebagai upaya untuk pemerataan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia sejatinya hanyalah program populis yang tidak menyelesaikan akar masalah, sekedar tambal sulam dalam sistem kapitalisme. Nyatanya kemiskinan tetap menghantui masyarakat walaupun program-program tersebut telah lama digelontorkan.
Selama sistem kapitalisme yang diterapkan, maka permasalahan ekonomi seperti kemiskinan tidak akan pernah selesai. Ketimpangan ekonomi semakin menganga lebar dan yang ada dalam pikiran masyarakat kelas bawah hanyalah bagaimana agar punya uang untuk bisa bertahan hidup. Mau bersekolah atau tidak bukanlah menjadi pertimbangan utama. Kalaupun tetap bersekolah hingga perguruan tinggi maka tujuannya juga untuk memperbaiki kondisi ekonomi.
Seperti inilah hidup dalam sistem sekuler yang berasaskan materialisme. Materi menjadi pertimbangan utama masyarakat mengenyam pendidikan. Begitu juga dengan pemerintah, pendidikan disediakan agar bisa menyediakan SDM yang nantinya akan diserap dunia kerja dan kebijakan yang dikeluarkan sering atas dasar pertimbangan untung rugi secara materi.
Berbeda halnya dalam pandangan islam. Menuntut ilmu dipandang sebagai kemuliaan. Orang-orang yang berilmu akan Allah angkat derajatnya di bandingkan yang tidak berilmu beberapa derajat. Sekolah merupakan sarana dalam menuntut ilmu, sehingga penguasa dalam islam akan sangat memperhatikan sistem pendidikan.
Sarana dan prasarana pendidikan akan dibangun agar dapat dinikmati seluruh generasi penerus. Dengan ditopang sistem ekonomi islam yang mumpuni, tidak akan ada lagi yang kesulitan mengakses pendidikan karena tidak adanya sekolah, jauhnya jarak maupun infrastruktur yang rusak dan tidak layak. Semua jenjang sekolah akan dibangun secara merata dan gratis, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Dengan sistem ekonomi islam pula tidak akan ada anak yang tidak sekolah karena harus bekerja, sebab orang tua atau walinya lah yang berkewajiban memenuhi semua kebutuhannya. Dan negara juga memastikan agar seluruh kebutuhan rakyatnya terpenuhi serta menyediakan lapangan pekerjaan agar tidak ada pencari nafkah yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya karena alasan tidak ada pekerjaan.
Itulah di antara fungsi pokok penguasa dalam Islam sebagai penyelenggara dan penanggung jawab atas pendidikan bagi seluruh rakyat. Dengan penerapan sistem pendidikan berbasis Islam ditunjang politik ekonomi Islam kafah, hak mendapat pendidikan bisa dirasakan semua anak di seluruh negeri. Tidak hanya siswa dan guru, masyarakat dan orang tua juga akan memetik hasil yang baik dari penerapan sistem pendidikan Islam yang utuh dan menyeluruh. Secara integratif, Islam jauh lebih unggul dan matang dalam mempersiapkan generasi terbaik. Wallahu A’lam bi ashshowab