BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Di balik semangat peningkatan mutu pendidikan oleh pemerintah, sejumlah sekolah negeri di Banjarmasin justru menghadapi tantangan serius: kekurangan murid. Fenomena bangku kosong, terutama di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), masih terjadi hampir setiap tahun ajaran baru.
Menurut Pemerhati Pendidikan Kalimantan Selatan yang juga Wakil Rektor III Universitas Islam Kalimantan (Uniska), Dr. Didi Susanto, fenomena ini bukan hal baru secara nasional.
“Bangku kosong di sekolah negeri bukan hanya terjadi di Banjarmasin, tapi sudah menjadi isu umum di banyak daerah. Kita tak bisa semata menyalahkan Dinas Pendidikan, karena mereka sudah bekerja maksimal. Namun ada banyak faktor eksternal yang memengaruhi,” ujarnya saat ditemui di acara bincang pendidikan di TVRI, Senin (8/7/2025).
Didi menyoroti perubahan pola pikir orang tua generasi milenial yang kini lebih memilih sekolah berdasarkan kemudahan akses dan efisiensi waktu. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah pasangan yang sama-sama bekerja.
“Orang tua sekarang ingin sekolah yang dekat dengan rumah atau tempat kerja, demi kemudahan antar-jemput. Mereka tak keberatan membayar mahal di sekolah swasta, asalkan praktis dan nyaman,” ungkapnya.
Tak hanya soal lokasi, sekolah swasta juga dinilai lebih agresif dalam promosi dan inovasi. Dana besar membuat mereka leluasa mempercantik citra dan meningkatkan layanan pendidikan.
“Promosi sekolah swasta sangat jor-joran. Ditambah lagi, mereka unggul dalam penggunaan teknologi digital. Itu membuat mereka lebih atraktif di mata orang tua,” tambahnya.
Selain faktor kenyamanan dan fasilitas, tren pendidikan berbasis agama kini juga naik daun di kalangan masyarakat Banjarmasin yang dikenal religius. Sekolah-sekolah Islam terpadu, misalnya, mampu memadukan pendidikan spiritual dengan pendekatan pembelajaran modern berbasis teknologi.
“Sekolah agama tak hanya fokus pada nilai keimanan, tapi juga sudah masuk ke era digital. Ini menjadi kombinasi yang kuat bagi orang tua yang ingin anaknya unggul secara moral dan intelektual,” kata Didi.
Salah satu penyebab teknis lainnya adalah tidak meratanya distribusi sekolah di tingkat kelurahan. Dalam satu wilayah, bisa terdapat dua hingga tiga sekolah negeri yang saling berdekatan. Hal ini menyebabkan kompetisi internal yang memunculkan ketimpangan jumlah siswa.
“Selain itu, stigma sekolah favorit masih sangat kuat. Orang tua berlomba-lomba mendaftarkan anak ke sekolah yang dianggap unggulan. Sekolah yang dianggap biasa saja pun ditinggalkan,” jelasnya.
Kondisi infrastruktur sekolah negeri yang tak kunjung diperbarui juga jadi alasan banyak orang tua berpaling ke swasta. Dari tampilan bangunan hingga sarana belajar, menurutnya masih perlu sentuhan pembaruan agar bisa bersaing.
Didi menambahkan, kualitas guru menjadi faktor penting dalam menarik minat masyarakat. Di banyak sekolah swasta, guru dituntut terus berinovasi dan mengikuti pelatihan berkala.
“Bukan berarti guru sekolah negeri tidak berkualitas. Tapi sistem di sekolah swasta lebih mendorong guru untuk berkembang cepat. Ini yang menjadi nilai plus bagi orang tua,” ungkapnya.
Mengakhiri pernyataannya, Didi mengingatkan bahwa pendidikan tidak bisa hanya bertumpu pada satu pihak. Ia menyebut peran pemerintah,keluarga dan masyarakat, sebagai ‘segitiga emas’ dalam menciptakan sistem pendidikan yang tangguh.
“Kalau salah satu sisi lemah entah itu pemerintah, keluarga maupun masyarakat maka sulit bagi kita mewujudkan generasi emas Indonesia. Tiga komponen itu harus saling menguatkan,” tegasnya (fin/KPO-1)