Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

BUMI YANG LUKA, DIRI YANG LELAH

×

BUMI YANG LUKA, DIRI YANG LELAH

Sebarkan artikel ini

Oleh : HAFIZHATURRAHMAH

Pernahkah kau merasa lelah tanpa sebab? Lelah yang di tubuh, leleh juga di dada. Seperti ada yang rusak, tapi tak bisa ditunjuk. Seperti ada yang hilang, tapi tak tahu apa.

Baca Koran

Barangkali jawabannya ada di luar jendela. Di hutan yang tinggal potongan. Di sungai yang tak lagi jernih. Di udara yang menggantung pekat, sekalipun langit terlihat biru. Dunia berubah cepat, dan entah sejak kapan, manusia mulai kehilangan rumahnya—di bumi, dan di dalam diri.

Kita hidup dalam ritme yang tak mengenal hening. Bangun pagi dengan notifikasi, tidur malam dengan kekosongan. Kita mencemari bumi dengan plastik, dan mencemari jiwa dengan perbandingan. Kita menguras air tanah, dan membiarkan pikiran sendiri kering tanpa istirahat.

Tak banyak yang sadar bahwa krisis iklim tak hanya menghanguskan hutan, tapi juga membakar pelan-pelan kesehatan mental manusia. Apa yang disebut para ahli sebagai eco-anxiety bukanlah istilah akademik kosong. Ia nyata—rasa cemas, takut, tak berdaya, yang muncul ketika seseorang menyadari bahwa dunia tempat ia tinggal sedang rusak, dan ia merasa terlalu kecil untuk menyelamatkannya.

Namun ironisnya, di tengah semua itu, solusi kita masih berputar pada saran yang sama: pergi ke psikolog, minum vitamin, matikan gawai. Jarang ada yang berkata: kembalilah ke tanah.

Karena mungkin penyembuhan hari selain terapi bicara, tapi juga soal menyentuh daun, menyiram tanaman, mengaduk kompos. Soal mencium bau basah tanah selepas hujan. Soal menanam sesuatu dengan sabar, dan melihat bahwa waktu yang lambat tetap bisa melahirkan kehidupan.

Ada yang menyebutnya ‘gaya hidup hijau’. Tapi bagiku, itu adalah cara bertahan. Cara untuk merasa bahwa masih ada ruang di dunia ini yang bisa disentuh, diubah, diperbaiki. Bahwa tidak semua luka harus sembuh dengan obat. Sebagian bisa pulih dengan kehadiran—pada diri sendiri, dan pada bumi.

Baca Juga :  Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Saat aku menaruh sisa nasi ke ember kompos, aku tahu itu adalah pengingat bahwa yang membusuk bisa jadi tumbuh kembali. Saat aku menanam cabai dari biji sisa masak, aku sedang memberi diri sendiri kesempatan untuk percaya pada proses.

Dan saat aku menyisir sampah di sungai kecil dekat rumah, aku tak sedang menyelamatkan dunia. Aku hanya sedang menyelamatkan sepotong kewarasan dalam diriku. Karena di tengah dunia yang serba cepat dan serba hancur, kadang satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah merawat satu hal kecil—tanpa pamrih, tanpa sorot lampu, tanpa tahu apa hasilnya nanti.

Mungkin itulah yang selama ini dilupakan: bahwa bumi bukan sekadar objek pelestarian, tapi juga ruang refleksi. Tempat kita bisa belajar tentang kehilangan dan kelahiran, tentang sabar dan harapan, tentang memberi dan menerima. Bumi tidak bicara, tapi ia mencerminkan—apa yang kita lakukan padanya, seringkali adalah cermin dari apa yang kita lakukan pada diri sendiri.

Dan barangkali, jika kita berhenti sejenak dari deru konsumsi, dari perlombaan performa, dari tuntutan menjadi produktif kita bisa mendengar sesuatu yang lama terlupakan. Suara hening dari dalam tanah. Suara yang berkata: rawat aku, dan kau akan ikut terawat.

Bumi memang sedang terluka. Tapi kita juga. Dan, penyembuhan bisa dimulai ketika keduanya saling menyentuh.

Iklan
Iklan