Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Perang Banjar Barito 1859-1906”
Sebagai putra Pangeran Antasari, sejak ayahnya masih hidup Muhammad Seman sudah ikut berjuang bersama ayahnya dan para pendukungnya. Sepeninggal ayahnya, ia dinobatkan oleh para pengikutnya sebagai Sultan Banjar dan diberi amanah untuk meneruskan perlawanan terhadap penjajah. Sultan Muhammad Seman dibantu oleh pengikut setianya yakni Panglima Batur dan mereka terus berjuang dengan segenap kemampuan. Perjuangan yang dilakukan Panglima Batur pada hakikatnya adalah untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar dari penguasaan Belanda.
Sultan Muhammad Seman adalah Sultan Banjar dalam pemerintahan pada masa 1862-1905 (versi lain 1875-1905). Artinya di zaman Sultan Muhammad Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, Puruk Cahu, hulu sungai Barito. Nama lahirnya Gusti Matseman, putra dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai Fatimah adalah saudara perempuan Tumenggung Surapati, panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito. Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar yang berdarah Dayak dari pihak ibunya.
Muhammad Seman memiliki empat orang istri, yaitu Gusti Salmah (ibu Ratu Zaleha), Nyai Banun (ibu Pangeran Banjarmas), Nyai Mariamah (ibu Gusti Berakit) dan Nyai Koepan. Dari istri-istri tersebut beliau memiliki anak yaitu Ratu Zaleha, Pangeran Banjarmas, Gusti Berakit, Gusti Berkeh dan Poetri Intan yang kesemuanya disebut Pagustian (Kesultanan Banjar yang Baru) sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda.
Bersama Suku Dayak
Sultan Muhammad Seman sangat dekat kekerabatannya dengan suku Dayak Murung. Ini karena ibu beliau, Nyai Fatimah, berasal dari suku Dayak Murung, yang tidak lain adalah saudara dari Tumenggung Surapati. Muhammad Seman mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit pada 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong. Muhammad Seman memiliki toleransi terhadap adat dan kepercayaan masyarakat Dayak, sehingga hubungan beliau dengan masyarakat setempat harmonis dan mereka mendukung perjuangannya melawan Belanda.
Sejumlah panglima dan Tumenggung yang aktif membantu perjuangan Muhammad Seman untuk melawan Belanda adalah Panglima Umbung dari Mangkatib, Mat Narung dari Putu Sibau, Batu Putih dari Kapuas, Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado, Tumenggung Tawilen, Panglima Amit, Panglima Bahe dan lainnya.
Agustus 1883 pasukannya beroperasi di daerah Dusun Hulu, kemudian bergerak ke Telok Mayang, dan berkali-kali mengadakan serangan terhadap pos-pos Belanda di Muara Teweh. Sementara itu, Pangeran Perbatasari, menantunya mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Pahu, daerah Kutai. Kekalahan yang dideritanya menyebabkan ia tertangkap pada tahun 1885.
Pada 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan masjid di Baras Kuning yang sedianya akan menjadi tempat gerakan Beratib Beramal. Sultan beserta pejuang lainnya seperti Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lainnya terus menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan di sepanjang sungai Barito.
Perlawanan Tumenggung Gamar di Lok Tunggul tidak berhasil sehingga ia dengan pasukannya terpaksa mengundurkan diri ke Tanah Bumbu. Di tempat ini pertempuran terjadi lagi. Tumenggung Gamar gugur dalam salah satu pertempuran tahun 1886. Muhammad Seman masih terus mengadakan perlawanan di daerah Khayalan Hulu.
Muhammad Seman mendirikan benteng di daerah hilir Sungai Teweh. Usaha ini membuat Belanda kemudian memperkuat posnya di Khayalan dengan menambah pasukan baru, dan mendirikan lagi pos darurat di Tuyun. Desember 1886, pasukan Seman berusaha memutuskan hubungan antara kedua pos Belanda tersebut. Sementara itu, benteng pejuang di Taweh makin diperkuat dengan datangnya pasukan bantuan dan tambahan makanan yang diangkut melalui hutan.
Namun, di lain pihak pos Seman ini terancam bahaya. Di sebelah utara dan selatan benteng muncul kubu-kubu baru Belanda yang berusaha menghalang-halangi masuknya bahan makanan ke dalam benteng. Keadaan di sekitar benteng semakin kritis. Pada suatu ketika benteng di serang pasukan Belanda. Dalam pertempuran itu pasukan Muhammad Seman terdesak sehingga terpaksa meloloskan diri dan benteng jatuh ke tangan Belanda yang kemudian dibakar. Beliau masih terus melakukan perlawanan walaupun teman-teman seperjuangannya, yaitu Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durrakhman pada bulan 4 Janurai 1904 menyerah pada Belanda lalu diasingkan ke pulau Jawa.
Muhammad Seman meneruskan perlawanan hingga ke Kuala Kurun. Pada pertempuran di Kalangbarah, pasukan Muhammad Seman melakukan perlawanan yang sengit hingga banyak serdadu Belanda yang tewas. Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing.
Menjalin Komunikasi
Sultan Khairul Saleh yang masih menjalin komunikasi dengan para sultan/raja di Nusantara, menggutip cerita dari Dr. Tengku Mira Sinar, bahwa dalam arsip Kesultanan Serdang Sumatra Utara, pada tahun 1903, Sultan Sulaiman pernah meminta kepada Sultan Banjar, dalam hal ini Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari, untuk mengirimkan ahli pertanian ke Serdang. Selanjutnya dikirimkan 1.000 orang ahli pertanian di bawah pimpinan Haji Mas Demang untuk mengelola bendang (persawahan) yang ada di wilayah tersebut dengan sistem bagi hasil. Haji Mas Demang, karena punya ilmu agama, juga dipercaya oleh Sultan Serdang untuk menjabat sebagai Mufti di Kesultanan Serdang. Orang-orang yang melakukan migrasi dari kalangan ahli pertanian dari Kesultanan Banjar ini selanjutnya menetap dan beranak-pinak di Kabupaten Serdang Bedagai dan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatra Utara. Jadi, meskipun dalam suasana perang Banjar, Sultan Banjar Muhammad Seman sebagai kesultanan yang berdaulat di Tanah Banjar tetap menyempatkan mengirimkan ahli pertanian dan membina hubungan persahabatan dengan kesultanan lain. Dari data kependudukan yang dihimpun oleh kerabat Kesultanan Banjar tahun 2013 lalu jumlah keturunan Banjar di Sumatera Utara berkisar 400.000 orang.
Sultan Muhammad Seman juga pernah mengirim surat kepada penguasa Sarawak, yaitu James Brooke sekitar akhir abad ke-19, bukan untuk minta bantuan tapi menggambarkan peta Perang Banjar dan kekhawatirannya akan meluasnya kekuasaan Belanda. Menurut Datu Dr. Taufik Arbain, surat Sultan Muhammad Seman itu masih tersimpan di museum nasional Kesultan Brunei Darussalam di Bandar Seri Begawan.
Akhir Hayat
Ketika Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh senjata, saat itulah benteng Manawing mengalami serangan gencar Belanda. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Christopel yang berpengalaman dalam Perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Pada pertempuran di Benteng Baras Kuning, Sultan Muhammad Seman dan beberapa pengawalnya gugur sebagai syuhada, setelah mati-matian mempertahankan benteng dari serbuan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 24 Januari 1905. Pertempuran itu sangat sengit, arena pertempuran digenangi darah setinggi tumit, dan sungai Manyakao merah oleh darah pejuang dan tentara Belanda yang tewas.
Jenazah Sultan Muhammad Seman dimakamkan di sebuah perbukitan yang dinamakan Gunung Sultan di tengah kota Puruk Cahu ibukota Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah sekarang. Ia adalah sultan terakhir dari Kesultanan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekuen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, Haram manyarah waja sampai kaputing.
Gugurnya Sultan Muhammad Seman, menandai melemahnya perlawanan pejuang-pejuang Perang Banjar Barito. Perjuangan dilanjutkan oleh putri dan menantu beliau, yaitu Ratu Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad beserta sisa-sisa pasukan yang masih setia dengan perjuangan rakyat Banjar. Sejarah mencatat bahwa Perang Banjar Barito berakhir ketika gugurnya Sultan Muhammad Seman.
Sebelum tewas, Sultan Muhammad Seman sempat menyerahkan bendera perang kepada seorang pengawalnya yang bernama Patih Gangsar Mas untuk diamankan agar tidak dirampas oleh Belanda. Kalau bendera perang itu sampai dirampas seolah menandakan perang sudah usai. Hal itu menandakan bahwa Muhammad Seman masih ingin agar perjuangannya dilanjutkan. Adak, salah seorang keturunan Patih Gangsar Mas dari Dayak Taboyan Kapuas bersama beberapa pemuka Dayak Maanyan dan Lawangan beberapa tahun lalu memperlihatkan bendera perang tersebut kepada Sultan Banjar, dan ingin agar Sultan Banjar Khairul Saleh menyimpannya sebagai salah satu benda bersejarah peninggalan perang. Dikutip dari berbagai sumber. Wallahu A’lam.