Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Generasi Muda sebagai Aset Peradaban : Memaknai Kegiatan Santunan Anak Yatim di Bulan Muharram

×

Generasi Muda sebagai Aset Peradaban : Memaknai Kegiatan Santunan Anak Yatim di Bulan Muharram

Sebarkan artikel ini

Oleh : Lilik Ummi Kaltsum
Ustadzah

Mengapa Muharram Bulan Mulia?

Kalimantan Post

Dalam kalender Hijriah, Muharram adalah bulan pembuka dari 12 bulan dalam kalender hijriah. Muharram artinya sesuatu yang diharamkan atau yang dilarang dalam pemaknaan lainnya adalah sesuatu yang dimuliakan. Apa keterkaitan antara yang dilarang dengan yang dimuliakan? Sebagai ilustrasi, seseorang memiliki harta simpanan yaitu berlian. Dia akan menyimpannya di tempat yang sangat tersembunyi agar orang lain tidak mengetahuinya. Dia melarang siapa pun memegang berlian tersebut apalagi membawanya le lain tempat. Mengapa dia melakukan hal tersebut? Karena dia sangat menjaga, memuliakan Berlian tersebut agar tidak ternodai, tidak rusak dan sebagainya. Inilah keterkaitan mulia dengan larangan, semakin mulianya seseorang ataupun benda, semakin banyak juga larangan mendekatinya apalagi merusaknya. Maka, Masjid di Mekkah diberi nama al-Masjidil Haram yang diterjemahkan sebagai masjid yang mulia, karena ada beberapa tindakan atau sikap, ucapan yang tidak boleh dilakukan di dalam masjid tersebut. Demikian juga, Muharram adalah satu dari 4 bulan yang diistimewakan dari bulan-bulan lainnya, yaitu bulan Dzul Qa’dah, Dzul-Hijjah, Muharram dan Rajab (QS. al-Taubah [9]: 36). Demi memuliakan 4 bulan ini maka tidak diizinkan adanya peperangan.

Imam Muslim dalam kitab hadisnya menyebutkan bahwa puasa yang utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Catatan kisah para Nabi juga disebutkan bahwa di bulan Muharram pula khususnya tanggal 10 Muharram, Allah terima tobatnya Nabi Adam melalui doa tobatnya “rabbana zhalamn anfusana wa in-lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna min al-khasirin”. (QS. al-A’raf [7]: 23). Di tanggal 10 Muharram pula Allah selamatkan Nabi Musa dari kekejaman Fir’aun, melalui doanya “rabbi inni zhalamtu nafsi faghfir li…”. (QS. al-Qashash [28]: 16), ditanggal ini pula Allah keluarkan nabi Yunus dari perut al-hut (ikan besar) berkat doanya “La ilaha illa Anta subhanaka inni kunntu min al-zhalimin (QS. al-Anbiya [21]: 87).

Nilai unik dari Kisah Para Nabi tersebut adalah pengakuan diri atas kelemahan dan ketidakberdayaan diri menjadi sarana permohonan ampunan Allah. Meski, sebagai kekasih Allah, para nabi tetap memohon ampun atas perbuatan yang menzalimi diri sendiri, tidak merasa lebih baik daripada manusia lainnya. Etika kesadaran diri inilah yang mengantarkan terbukanya arah yang lebih baik sesuai bimbingan Allah.

Bagaimana dengan kita? Berkiblat dari uraian sebelumnya, ada nilai-nilai yang kita upayakan lakukan di awal tahun 1447 H yaitu:

Pertama, membangun kesadaran diri, memahami posisi bahwa manusia (setinggi apa pun jabatannya) tetap sebagai makhluk/yang diciptakan dan Allah sebagai Khaliq/yang menciptakan. Etika kesadaran ini bisa runtuh seketika dengan satu sikap yang diwariskan Iblis yaitu membangkang dan sombong (QS. al-Baqarah [2]: 34). Kesadaran diri tanpa keangkuhan dan kesombongan selayaknya diterapkan oleh semua manusia dalam semua lini.

Baca Juga :  LUKA UMAT

Kedua, gigih menjalankan Amanah. Para Utusan Allah adalah manusia biasa yang diberi amanah khusus (wahyu) untuk mendampingi umatnya menuju kehidupan yang lebih berkualitas, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang cahaya (QS. Ibrahim [14]: 1). Dari 25 utusan Allah ada 5 sosok yang diberi peringkat the best of messenger yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Al-Qur’an menyebutnya dengan ulul azmi (QS. al-Ahqaf [46]: 35). Amanah utamanya adalah membumikan tauhid (monotheisme) menghapus kemusyrikan (polytheisme). Semesta alam hanya bisa tunduk dengan satu instruksi atau satu Tuhan. Inilah aqidah yang terus dikumandangkan sampai membentuk keyakinan yang kuat. Selain aqidah, para nabi juga mengajarkan kepada umatnya ritual penghambaan atau ibadah. Allah sesuaikan ibadah ini dengan kondisi masing-masing kaum yang disampaikan oleh setiap Nabinya (QS. Yunus [10]: 47).

Ketiga, orientasi masa depan, membangun masyarakat dan peradaban. Aqidah dan ibadah sebagai misi kenabian dilakukan dalam rangka membangun individu yang berperilaku mulia, memosisikan Allah sebagai sang Kholik dan memuliakan sesama manusia. Para Nabi tidak sibuk dengan urusan pribadi tetapi orientasi utamanya adalah membangun masyarakat yang berperadaban. Upaya besar ini memerlukan banyak perangkat untuk mewujudkannya. Oleh karenanya Allah memberikan kekuatan yang berbeda-beda kepada masing-masing utusan-Nya.

Ada Apa dengan Santunan Anak yatim?

Fenomena yang selalu ada di bulan Muharram adalah menyantuni anak yatim. Momen 10 Muharram, menjadi salah satu momen nasional, khususnya Indonesia, yang biasa diistilahkan dengan kegiatan “santunan anak yatim”. Beragam model kegiatan telah dilaksanakan dengan tujuan utama membahagiakan dan lebih menyejahterakan anak yatim. Kegiatan ini merupakan manifestasi dari pesan nabi Muhammad agar setiap muslim memerhatikan anak yatim di sekitarnya, bahkan beliau mengibaratkan kedekatan posisi Nabi dengan orang yang merawat anak yatim adalah seperti jari tengah dan jari manis.

Namun, bagi penulis ada sedikit kebiasaan baik ini yang perlu ditinjau ulang. Memasang judul kegiatan dengan “santunan anak yatim” menimbulkan diskriminasi antar anak setaranya, satu sisi ada anak yang berlabel yatim dan satu sisi anak yang bebas tanpa label. Terlebih nama-nama anak yatim itu didengung-dengungkan dalam panggung dan sejenisnya.

Baca Juga :  Kemiskinan dalam Permainan Standar Ala Kapitalisme, Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki

Secara psikologis, sang yatim akan merasa bahwa ada label baru dalam dirinya sebagai dampak dari wafatnya sang ayah. Label baru tersebut adalah yatim yang digambarkan sebagai anak lemah yang perlu disantuni sana sini dan apalagi bila dipertontonkan di public. Bagi penulis, istilah yatim dalam literatur Islam adalah dalam rangka memberikan pemahaman kepada kaum dewasa bahwa di sekitar kita ada sosok anak yang telah kehilangan orang tuanya. Sebagai agama yang menjunjung kemanusiaan, istilah yatim diarahkan agar para kaum dewasa juga peduli kepada anak-anak yatim sebagaimana mereka menyayangi dan memperhatikan anak mereka sendiri. Tujuan inilah yang sebaiknya disosialisasikan. Sebutan “yatim” bukan untuk dilabelkan secara personal kepada anak yatim. Tujuan utama perintah menyantuni yatim akan terasa tereduksi bila ternyata kegiatan santunan yatim yang dilakukan justru menciptakan perbedaan dan kesenjangan. Misal, panitia akan memberikan kursi khusus untuk anak-anak yatim sehingga semua manusia memandang mereka berbeda dengan anak lainnya. Masih banyak ide kreatif untuk mengaplikasikan perintah agama terkait anak yatim. Salah satunya membentuk orang tua asuh yang terkordinir dengan baik dan amanah, sehingga masing-masing muslim dapat menghadiahkan minimal satu asset yang terdidik dengan bagus siap membangun bangsa dan dunia.

Mewujudkan peradaban besar memerlukan perangkat atau asset yang besar pula. Presiden RI pertama, Ir Soekarno pernah menyatakan, “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”, sebuah ungkapan yang menekankan potensi transformatif kaum muda dalam membentuk arah bangsa. Sejarah dunia telah mencatat bagaimana perjalanan Indonesia sampai memiliki bangsa yang kokoh dan mewujudkan Indonesia menjadi negara yang bebas dari penjajahan. Pernyataan Sang Proklamator tersebut menjadi semangat besar bahwa masa depan Negara ditentukan oleh para generasi muda saat ini.

Sebagai aset peradaban, generasi muda yang dimulai dari usia anak-anak selayaknya ditempa dan dididik menjadi generasi unggulan. Inilah tanggung-jawab bersama, semua anak atau generasi muda di negeri ini haruslah memperoleh haknya untuk dapat menjadi asset peradaban yang unggul. Perbedaan strata sosial, kelas ekonomi ataupun kesempurnaan bentuk fisik perlu dipahami sebagai variasi kehidupan agar sesama manusia saling sapa dan saling menyayangi.

Dengan demikian, baik anak yatim ataupun non yatim sama-sama menjadi asset peradaban yang harus diarahkan dengan tepat demi mewujudkan cita-cita negara Indonesia juga dunia. Bila bukan kita yang memulai, siapa lagi.

*Lilik Ummi Kaltsum (Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Iklan
Iklan