Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Sejarah Urang Banjar Tulak Haji dan Gambaran Kota Suci”
Saat ini diwacanakan untuk kembali melaksanakan perjalanan ibadah haji dan umrah dengan kapal laut. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan, sejumlah perusahaan telah datang ke Kementerian Agama RI dan mengajukan proposal atau penawaran ibadah haji dan umrah dengan kapal laut sebagai alternatif selain pesawat udara selama ini. Pihak yang menawarkan serius dengan hitungan-hitungan tertentu di segi efisiensi biaya, keamanan dan kenyamanan, namun mereka tidak memiliki kapal sendiri, melainkan akan dikerjasamakan dengan pemilik kapal laut yang memenuhi syarat.
Malaysia sudah lama melaksanakan haji dan umrah dengan kapal laut dan pesawat. Indonesia secara resmi belum, namun sudah ada warga Indonesia yang melaksanakannya secara mandiri dan tidak langsung, mereka terbang lebih dahulu ke negara terdekat, kemudian menggunakan kapal laut hingga tiba di Pelabuhan Internasional Jeddah. Menurut Menteri Agama, pihaknya masih melakukan kajian mendalam.
Wacana ini patut ditindaklanjuti, karena bisa saja punya prospek dan memungkinkan untuk dilaksanakan kembali. Pertama, biaya haji dan umrah khususnya yang sebagian besar untuk komponen penerbangan, masih dirasa mahal bagi sebagian penduduk berpenghasilan kecil. Kedua, saat ini banyak kapal laut dan kapal pesiar besar yang sudah biasa berkeliling dunia dengan muatan penumpang beberapa ribu orang, berkecepatan tinggi dan dengan segala fasilitasnya yang mewah seperti hotel. Ketiga, di kalangan sebagian calon Jemaah haji dan umrah, khususnya kalangan pensiunan dan orang-orang yang tak terlalu sibuk bekerja, mungkin banyak juga yang ingin alternatif itu, mereka mau merasakan pengalaman eksklusif dengan menempuh perjalanan yang cukup lama di laut, tanpa harus tergesa-gesa dan sangat singkat seperti pesawat udara. Keempat, permasalahan perjalanan haji dengan kapal laut di masa lalu, baik di masa penjajahan Belanda maupun sesudah merdeka, tidak semata soal teknis, tapi juga terkait dengan politik, sehingga tidak mulus dan banyak masalah.
Sekilas Histori
Di zaman Belanda, seluruh perjalanan jamaah haji menggunakan kapal laut. Di abad ke-19, jemaah diangkut dengan kapal barang bercampur penumpang. Sejak awal abad ke-20, Jemaah diangkut pergi dan pulang dengan kapal khusus. Perusahaan yang terkenal memfasilitasi Jemaah haji Nusantara saat itu adalah Kongsi Tiga milik Belanda, dibentuk atas kerjasama tiga perusahaan pelayaran Belanda, yaitu Ocean, Nedherland, dan Rotterdamshe Lloyd. Kapal-kapalnya banyak, di antaranya bernama Agung, Olinous, Tajauden, Kota Inten, Plyphemus, Tabuita, Resiander, Poelau Beras, Clytoneus, Kota Napan dan Tarakan, dengan pelabuhan pusat di Surabaya. Agen Kongsi Tiga disebar ke daerah-daerah, termasuk Banjar (Kalimantan).
Kapal-kapal Belanda yang mengangkut jemaah haji itu, cenderung kurang layak, baik di segi kesehatan, kenyamanan dan fasilitas. Jemaah diangkut seperti buruh pabrik, buruh perkebunan, dan disuruh berjejal seperti ikan sarden. Prihatin akan hal itu, dan untuk mengurangi biaya, seorang pengusaha muslim asal Hongkong pernah memberangkatkan jemaah dengan kapal yang diberi nama “Kapal Islam” berlambang Ka’bah. Tetapi Kongsi Tiga tidak mau ada pesaing, mereka banting harga perjalanan haji dari 250 gulden menjadi 95 gulden, sehingga Kapal Islam kalah bersaing dan berhenti beroperasi. Setelah saingannya lumpuh, Kongsi Tiga kembali ke harga semula 250 gulden, dan terus menaikkannya tiap tahun.
Di masa merdeka, kapal laut masih digunakan. Di tahun 1950 didirikan yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI), karena itu di beberapa kota termasuk Banjarmasin dan Jakarta ada asrama PHI. Bank Haji Indonesia dan Pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI) juga didirikan di era yang sama. Haji laut cukup lancar dan sukses, bahkan mendapat simpati masyarakat Malaysia dan pemerintah Arab Saudi. Namun 1962 MUSI dibekukan oleh pemerintah dengan alasan, pengurus MUSI banyak dari kalangan tokoh Masyumi yang dibubarkan 1960, yang beroposisi terhadap Pemerintah Orde Lama, dan (juga) tidak disenangi Orde Baru. Selanjutnya diupayakan haji dengan kapal laut yang dikelola pemerintah, sehingga muncul nama-nama seperti Kapal Gunung Jati, namun masalah tak kunjung hilang, sehingga sejak 1967 kapal laut ditiadakan.
Haji dengan pilihan (kapal laut dan pesawat udara) dimulai tahun 1953 sampai 1977, dan sejak 1978 sampai sekarang semuanya menggunakan pesawat udara, tidak ada lagi kapal laut. Jadi, jeda pemberangkatan haji tanpa kapal laut, sampai 2025 ini sudah 47 tahun atau hampir 50 tahun. Wajar ada keinginan dan kerinduan untuk menghidupkan kapal laut lagi. Lebih-lebih sekarang ini selain, Jemaah Haji, yang terbanyak juga adalah Jemaah Umrah, bahkan boleh jadi banyak juga orang-orang yang ingin berbisnis dan melakukan perjalanan wisata untuk melihat beberapa kota di dunia, khususnya yang dilalui oleh route laut Indonesia – Jeddah Arab Saudi.
Lebih Berkesan
Peneliti Belanda, Prof Dr Martin van Bruinessen, dalam penelitiannya terhadap orang-orang yang pernah berhaji dengan kapal laut, menyatakan, berhaji melalui laut jauh lebih berkesan. Mungkin karena lama di jalan, jemaah juga ingin lebih lama di tanah suci, sehingga mereka berkesempatan untuk lebih mengenal tanah suci, beribadah, belajar ilmu agama, mengenal sejarahnya, berziarah di tempat-tempat penting, bersilaturrahim, dan sebagainya. Dari aspek spiritual lebih kuat.
Dari aspek emosional juga demikian. Menurut alm KH Hasan Basri, Ketua MUI pusat periode 1985-1998, berhaji melalui laut memang penuh kesan dan kenangan, terutama bagi mereka yang membawa pasangan. Ketika kapal diterjang badai, mereka tegang, sedih, berzikir, dan berdoa, bahkan menangis. Dan ketika badai sudah reda, dan angin laut sudah bersahabat, mereka bersyukur, tersenyum bahagia, dan berurai air mata, sehingga hubungan suami istri lebih mesra.
Ketika ada jemaah meninggal dan dicemplungkan ke dasar laut dengan pemberat, mereka sedih dan menyadari betapa nisbinya hidup dan tidak berdayanya manusia. Ketika berada di laut lepas tak bertepi mereka menyadari betapa kecilnya manusia dan betapa agungnya Allah yang menciptakan lautan yang maha luas, dan seterusnya. Pengalaman seperti ini tentu tidak akan kita alami dan temui kalau melalukan perjalanan dengan pesawat udara.
Sekarang, kapal laut semakin besar dan modern, tentu tidak sama dengan zaman dulu. Namun sekiranya perjalanan haji dan umrah dengan kapal laut terwujud kembali, persoalan sebenarnya bukan hanya efisiensi biaya, tapi juga kesan, makna dan nilai yang dikandungnya. Untuk memperoleh semua itu, orang membayar lebih mahal pun tidak mengapa, sebab banyak yang dilihat, dirasa dan dialami dalam perjalanan. Wallahu A’lam.