Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

KETERPENGARUHAN BUDAYA BANJAR

×

KETERPENGARUHAN BUDAYA BANJAR

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : AHMAD BARJIE B

Menurut pakar antropologi budaya Prof Dr Koentjaraningrat, hampir semua daerah di Indonesia memiliki tiga keterpengaruhan budaya. Pertama, budaya Hindu, masuk dan menyerap dalam kehidupan budaya masyarakat sekitar abad ke-8 hingga akhir abad 15. Wujudnya selain berupa adanya berbagai unsur kepercayaan polyteistik, candi, sastra, juga terdapat aneka kesenian, adat istiadat, mantra, persenjataan dan tata pemerintahan.

Kalimantan Post

Kedua, budaya Islam, masuk ke nusantara di sekitar abad ke-15 hingga 19. Wujudnya selain dalam bentuk kepercayaan tauhid dan ibadah yang monoteistik, juga beupa nilai-nilai, kesenian, adat istiadat, pendidikan, permainan hingga sistem kepemimpinan.

Ketiga, budaya Eropa, masuk ke nusantara melalui era penjajahan hingga Indonesia merdeka. Wujudnya, juga menyerap ke dalam sistem nilai, gaya hidup, kepercayaan, pendidikan, hingga pemerintahan.

Jika kita tengok sejarah, maka budaya Banjar terkena ketiga pengaruh tersebut. Tak hanya menyasar kalangan masyarakat awam, tetapi juga elitnya. Pengaruh Hindu tampak dari adanya era Kerajaan Banjar Hindu (Pangeran Suryanata hingga Pangeran Tumenggung), berikut situs-situs candi yang tersisa seperti Candi Agung Amuntai dan Candi Laras Margasari.

Pengaruh Islam, tampak dari adanya era Kesultanan Banjar sejak Sultan Suriansyah hingga Sultan Tamjidullah II. Sementara Pengaruh Eropa terjadi sejak era kolonialis Belanda (jelang Perang Banjar 1859-1906) hingga Indonesia merdeka dan era NICA.

Dari ketiga variabel di atas, jujur kita akui pengaruh Islamlah yang sangat dominan. Sebab Islam sangat lama diterima dan merasuk dalam berbagai elemen masyarakat. Dijadikannya Islam sebagai agama resmi negara Kesultanan Banjar sejak era Sultan Suriansyah hingga kerberadaan ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari beserta keturunannya yang sangat giat berdakwah disertai dukungan para sultan Banjar, menjadikan Islam agama sekaligus budaya mayoritas urang Banjar. Karena itu menurut Datu Mangku Adat Adjim Arijadi, di banua Banjar ini juga berlaku “adat basandi syara” dan syara basandi kitabullah seperti di ranah Minang.

Baca Juga :  SEKILAS SUNAN KALIJAGA

Budaya Eropa karena dibawa bersamaan dengan penjajahan yang eksploitatif dan konfrontatif, maka penerimaan masyarakat disertai perlawanan, sehingga tingkat pengaruhnya sangat kecil. Apabila kita lihat sikap perjuangan Pangeran Antasari, berikut jawaban terhadap surat-surat pembesar Belanda yang mengajaknya berkompromi, tampak sekali bahwa beliau sangat anti terhadap Belanda berikut budaya yang menempelnya. Itu sebabnya, prinsip kejuangan beliau adalah “haram manyarah waja sampai ka puting”.

Sultan Khairul Saleh ketika berceramah di depan Temu Alumni IAIN Antasari Banjarmasin se Kalimantan (19/11/2014) menyatakan, prinsip itu tak berarti Pangeran Antasari anti terhadap pluralitas. Mengingat Pangeran Antasari adalah pemimpin suku Banjar Bakumpai dan Dayak saat itu, beliau juga menerima keragaman. Penentangannya terhadap Belanda lebih karena motif penjajahannya. Sekiranya Belanda datang dengan semangat persahabatan, hanya berdagang dan tidak memicu konflik di banua Banjar, tentu akan diterima secara layak.

Islam menjadi variabel dominan terhadap budaya Banjar, yang berarti banyak budaya Banjar tumbuh dan berkembang dengan nuansa agama. Meskipun begitu, budaya Banjar tetap beragam, sehingga lebih variatif dan objektif sesuai setting budaya Banjar masa lalu. Kalau semua serba Islami, unsur baharinya kurang lengkap.

Mengingat ini ranah budaya, tidak mesti semuanya kita lihat dan ukur dari kacamata agama. Yang penting, tidak melanggar ajaran agama. Kalau ada tari-tarian, maka pakaian penari wanita sebaiknya menutup aurat, kalau ada mantra-mantra sebaiknya diganti dengan doa-doa, dan kalau ada sesaji sebaiknya diganti selamatan dan seterusnya.

Perjalanan zaman yang sudah lama, tentu budaya Banjar yang digelar tidak mesti semuanya copy-paste dari budaya bahari. Sultan Khairul Saleh sebagai pengemban Kesultanan Banjar saat ini berkhidmat dalam tahta budaya, banyak melakukan modifikasi dan reformasi. Sambil guyon dia menyatakan, walau dulu ada Raja dan Bangsawan Banjar pakai salawar handap atau celana tiga perempat, dia tidak akan melakukan hal yang sama. Dia akan lebih banyak menampilkan nuansa Islam yang sejalan dengan nilai-nilai kepatutan, kelayakan dan kemodernan, namun tanpa membuang unsur tradisionalnya sama sekali.

Iklan
Iklan