Oleh : Azzahra Islamy Hapsari
Mahasiswi FISIP ULM Banjarmasin, Pengamat Kebijakan Publik
Saat ini tengah hangat diberitakan di berbagai media, sebuah gagasan program baru dari Pemerintah, yakni Koperasi Merah Putih. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, pemerintah telah menargetkan pembentukan 80.000 unit koperasi di Desa atau Kelurahan hanya dalam waktu tiga bulan, dari Maret hingga Juni 2025. Target ini terdengar sangat menjanjikan, apalagi disebutkan bahwa koperasi ini akan membantu ketahanan pangan, distribusi sembako, logistik desa, hingga pada layanan dasar seperti apotek dan klinik, namun muncul pertanyaan penting; apakah ini benar-benar upaya serius membangun ekonomi rakyat, atau sekadar proyek branding politik yang minim substansi?
Pemerintah memang telah mempersiapkan aturan pendukung Inpres Nomor 9 Tahun 2025, seperti: Peraturan Menteri Hukum Nomor 13 Tahun 2025 guna membantu percepatan proses legalitas badan hukum koperasi. Selain itu Menteri Koperasi juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2025 yang menjelaskan tahapan pembentukan koperasi mulai dari sosialisasi, musyawarah desa, pendirian lewat notaris, hingga pengesahan resmi. Selain itu juga didukung dengan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-Undang (UU) Desa, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Dari sisi regulasi sepintas memang terlihat sudah cukup kuat, tapi tanpa dibarengi dengan pelaksanaan yang baik, maka niat tersebut bisa saja gagal.
Hal yang menjadi perhatian adalah bahwa program yang direncanakan secara masif dan cepat ini sangat amat beresiko dapat mengulangi kesalahan yang sama yang sempat terjadi pada program-program lain di masa lalu. Pada masa awalnya dulu, Koperasi Unit Desa (KUD) serta Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga dibentuk dengan harapan besar, tetapi banyak yang berakhir gagal, akibat pengelolaan yang buruk, adanya keterlibatan politik, serta kurangnya pendampingan. Apabila Koperasi Merah Putih dijalankan dengan pola yang sama, tidak menutup kemungkinan program ini akan berakhir sama dengan program terdahulu. Hanya sekedar nama tanpa dampak nyata, khususnya bagi warga desa.
Sebenarnya gagasan pembentukan Koperasi Merah Putih memiliki potensi yang besar dalam membantu perekonomian masyarakat. Sebagai upaya konkret, pemerintah menetapkan sejumlah pilot project di berbagai daerah di Indonesia untuk menguji kesiapan implementasi program Koperasi Merah Putih ini. Misalnya di Provinsi Lampung, yang menargetkan paling lambat 30 Juni 2025 seluruh Koperasi Merah Putih sudah berbadan hukum. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Pemerintah Provinsi menjadi yang pertama menerapkan strategi pengembangan dan revitalisasi koperasi eksisting sebagai bagian dari program nasional. Sementara di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tiga Desa (Sinduadi, Sidomulyo, dan Tamanmartani) dipilih menjadi contoh nasional, mendapatkan pendampingan dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (LPDB-KUMKM), serta pengurusan legalitas gratis. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya berfokus pada jumlah koperasi, tapi pemerintah juga tetap memperhatikan kondisi dan kebutuhan tiap daerah sebelum program ini dijalankan secara luas.
Namun tantangannya juga besar. Pertama, adalah pembentukan yang terkesan sangat cepat dengan membangun 80.000 koperasi hanya dalam waktu tiga bulan dapat membuat koperasi berdiri tanpa persiapan yang matang. Kedua, minimnya sumber daya manusia yang paham akan manajemen koperasi, bisnis desa, dan tata kelola keuangan akan menjadi masalah yang sangat serius. Ketiga, munculnya kekhawatiran program Koperasi Merah Putih ini hanya digunakan untuk kepentingan politik saja.
Agar program ini tidak gagal, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, para pengurus koperasi harus diberi pelatihan dan pendampingan. Beberapa daerah seperti di Malang sudah mulai melibatkan notaris dan Diskopindag setempat. Kedua, tidak semua desa harus dipaksa membangun koperasi yang baru, tetapi bisa dengan merevitalisasi koperasi yang lama atau bekerja sama dengan BUMDes yang sudah ada. Ketiga, Perlu diadakan sistem pengawasan yang jelas dan transparan agar koperasi benar-benar dijalankan sesuai aturan yang sudah ditetapkan.
Di tengah tantangan ini, masyarakat pastinya berharap agar Koperasi Merah Putih tidak hanya dilabeli sebagai gimik politik, yang hanya ramai pada awal peluncuran lalu hilang tanpa hasil yang nyata. Koperasi hendaknya tumbuh menjadi lembaga ekonomi yang benar-benar bisa menjadi tumpuan bagi ekonomi desa, menjadi alat untuk pemerataan kesejahteraan, serta memperkuat daya tahan ekonomi masyarakat terhadap krisis. Melalui pengelolaan yang baik dan benar, Koperasi Merah Putih ini dapat membantu membangun ekonomi desa yang lebih kuat sebagaimana yang telah lama kita harapkan.
Jika dilihat lebih dalam, Koperasi Merah Putih sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi harapan baru bagi ekonomi negara. Lewat Koperasi Merah Putih ini, pemerintah mendorong setiap desa atau kelurahan untuk memfungsikan koperasi bukan hanya sebagai tempat simpan pinjam, tapi juga menjadi tempat usaha produktif sesuai kebutuhan daerah seperti pertanian, hasil bumi, ataupun sembako. Bagi para pelaku usaha kecil, koperasi dapat menjadi wadah bersama untuk mendapatkan modal, pelatihan, hingga membuka pasar-pasar yang lebih luas bagi produk-produk lokal. Jika dikelola dengan benar, koperasi dapat meningkatkan nilai tambah pada produk desa/kelurahan dan menjadikannya lebih kompetitif baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pemerintah juga telah menjalin kerja sama dengan 18 BUMN untuk mendukung berjalannya program Koperasi Merah Putih ini. Koperasi bisa berperan sebagai penghubung antara kebijakan pemerintah dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Program bantuan bisa lebih tepat sasaran jika menyalurkannya lewat koperasi yang dekat dengan masyarakat. Koperasi juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru serta memperkuat fondasi ekonomi nasional dari desa. Semua itu bisa terjadi jika koperasi dikelola secara transparan, dikerjakan oleh orang yang paham akan mekanisme koperasi, dan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemilik dan penggerak utama koperasi.
Sebaliknya, jika program ini dijalankan dengan tergesa-gesa, tanpa adanya pengawasan yang baik, dan lebih banyak menguntungkan politik, maka hasilnya akan sama saja dengan program-program terdahulu. Koperasi Merah Putih memang bisa menjadi harapan baru bagi ekonomi negara, tapi dengan catatan haruslah dikelola dengan terbuka dan didampingi dengan serius, serta memiliki tujuan jangka panjang. Kalau tidak, koperasi ini hanya akan menjadi simbol politik yang cepat dilupakan.