Oleh : Siti Sabariyah
Aktivis Muslimah
Kekerasan terhadap perempuan dan anak kembali menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan di Banjarmasin. Meski kota ini telah mengusung gelar “Kota Layak Anak” dan memiliki regulasi seperti Peraturan Daerah (Perda) perlindungan anak, realitas di lapangan berkata lain. Jumlah kasus kekerasan justru terus bertambah, seolah semua upaya selama ini hanya bersifat formalitas belaka. Lonjakan kasus ini mempertegas kegagalan sistem yang selama ini hanya mengandalkan pendekatan reaktif, bukan pencegahan sistemik.
Fakta pertama menunjukkan peningkatan signifikan angka kekerasan yang menimpa anak dan perempuan sepanjang 2025.
Dikutip dari Detik.com (26/06/2025), selama Januari hingga Juni 2025, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Banjarmasin telah menangani 90 kasus kekerasan, yang berarti hampir setengah dari total kasus sepanjang tahun 2024. Lonjakan ini menunjukkan bahwa kekerasan semakin meluas, bahkan di tengah upaya pencegahan yang selama ini dikampanyekan pemerintah.
Fakta kedua menguatkan bahwa sistem perlindungan hari ini hanya berjalan secara reaktif dan sporadis.
Dalam laporannya, JPNN Kalsel (27/06/2025) menyebutkan meskipun sudah ada sosialisasi anti-bullying dan pembahasan Raperda perlindungan anak, faktanya sistem perlindungan saat ini belum menyentuh akar persoalan. Pemerintah lebih sibuk menyiapkan regulasi baru, namun gagal membangun ekosistem perlindungan yang menyentuh ruang lingkup kehidupan keluarga, pendidikan, hingga sosial masyarakat secara utuh.
Fakta ketiga menunjukkan bahwa masalah kekerasan ini bukan semata angka statistik, melainkan cermin dari krisis yang lebih dalam.
Lonjakan kasus ini tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat yang rapuh, baik secara moral, ekonomi, maupun agama. Pendidikan sekuler yang menempatkan agama hanya sebatas ritual telah gagal menanamkan akhlak mulia dan tanggung jawab sosial kepada generasi muda. Kerapuhan keluarga akibat tekanan ekonomi dan minimnya pendidikan, ditambah lemahnya peran negara, membuat kekerasan ini seolah menjadi hal lumrah yang sulit diberantas.
Tiga fakta di atas menegaskan bahwa peningkatan kekerasan terhadap anak dan perempuan bukan sekadar insiden, melainkan cermin kegagalan sistemik. Sistem sekuler hari ini cenderung reaktif, hanya bergerak setelah kejadian muncul ke permukaan dan viral. Perda, sosialisasi, hingga pelatihan pendampingan hanyalah solusi tambal sulam, bukan pencegah dari akar masalah.
Krisis moral dan agama menjadi salah satu penyebab utama. Pendidikan yang sekuler menjadikan agama sebatas hafalan atau ritual simbolis, tanpa menanamkan nilai akidah sebagai landasan sikap hidup. Akibatnya, kekerasan dianggap wajar selama ada peluang.
Di sisi lain, keluarga sebagai benteng pertama juga rapuh. Tekanan ekonomi, rendahnya pendidikan, hingga hilangnya nilai-nilai keluarga dalam budaya hari ini memudahkan kekerasan berkembang, bahkan di lingkungan terdekat.
Negara pun gagal memberikan perlindungan yang layak. Alih-alih menyelesaikan akar masalah, negara sekuler hanya bergerak berdasarkan kebutuhan citra, bukan ideologi yang melindungi secara menyeluruh. Gelar “Kota Layak Anak” tidak sebanding dengan realitas di lapangan yang terus memakan korban.
Islam sebagai sistem hidup menempatkan keamanan anak dan perempuan bukan sekadar urusan individu atau komunitas, melainkan kewajiban negara. Negara wajib menjamin keamanan warganya, dari sejak lahir hingga dewasa, dalam lingkungan yang aman, bermartabat, dan sesuai syariat.
Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(QS. An-Nisa: 34)
Ayat ini memberikan tanggung jawab besar kepada laki-laki, keluarga, dan negara agar melindungi perempuan. Perlindungan ini bukan sekadar fisik, tapi juga menciptakan sistem sosial yang aman dari kekerasan.
Pendidikan dalam Islam bertujuan melahirkan individu yang bersyakhsiyah Islamiyah, bukan sekadar cerdas intelektual, tetapi kokoh akidah, mulia akhlak, dan paham hak-hak orang lain. Pendidikan ini dimulai dari keluarga, didukung masyarakat, dan diwajibkan negara.
Sejak kecil, anak-anak dididik bukan hanya untuk cerdas, tapi untuk takut kepada Allah, memahami halal-haram, hak-hak sesama, serta tanggung jawab sosial.
Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Negara dalam Islam tidak boleh abai. Ia bertanggung jawab penuh atas perlindungan, pendidikan, dan penjagaan hak anak dan perempuan. Rasulullah juga memberi peringatan keras tentang perlakuan buruk kepada anak dan perempuan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap keluarganya (istrinya dan anak-anaknya)”. (HR. Tirmidzi, Ahmad)
Penegakan hukum yang tegas menjadi pilar penting lainnya. Islam menerapkan hukum yang jelas, adil, dan efektif mencegah kezaliman. Tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan untuk bersembunyi di balik status anak atau alasan ekonomi. Negara bertindak sejak awal, mencegah kerusakan dengan penegakan hukum dan sistem sosial yang kuat.
Dalam Islam, perlindungan hak anak dan perempuan tidak menunggu viral atau laporan LSM. Negara memiliki tanggung jawab syar’i, bukan hanya administratif. Negara Khilafah bukan sekadar memberi layanan formal, tapi menjamin : Hak hidup (tidak dizalimi); Hak pendidikan (berbasis akidah); Hak perlindungan fisik dan mental; Hak atas kehormatan diri.
“Tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara Islam menciptakan lingkungan aman bagi perempuan, anak, dan keluarga, agar tumbuh dalam suasana yang sehat, terhormat, dan terlindungi. Sistem sosial, hukum, ekonomi, dan pendidikan semuanya bergerak seirama menjaga hak dan martabat mereka, sesuai tuntunan syariat.
Lonjakan kekerasan terhadap anak dan perempuan di Banjarmasin adalah sinyal kuat kegagalan sistem sekuler dalam melindungi mereka. Sosialisasi, perda, bahkan gelar “kota layak anak” hanyalah formalitas tanpa kekuatan sistemik yang kokoh.
Islam telah membuktikan sepanjang sejarahnya bagaimana generasi dan perempuan dilindungi dengan sempurna oleh negara. Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan masyarakat yang aman, kuat, dan beradab, bukan sekadar karena aturan, tapi karena iman, akhlak, dan peran negara yang bertanggung jawab secara ideologis. Wallahu A’lam Bishawab.