Oleh: Zahida Ar-Rosyida
Muslimah Pemerhati Generasi
Banjarmasin tengah dihadapkan pada kenyataan tragis. Data dari UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) mencatat 90 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hanya dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025. Ini setara dengan setengah jumlah total kasus sepanjang tahun 2024.Korban didominasi anak perempuan dan perempuan dewasa, sementara bentuk kekerasan paling banyak berupa kekerasan seksual dan psikis(https://kalsel.jpnn.com, 08/07/2025). Yang paling menyedihkan, banyak pelaku berasal dari kalangan terdekat: ayah, paman, tetangga, bahkan guru.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah jeritan yang tercekat, luka yang tak tampak oleh mata, tetapi nyata menyesakkan kehidupan anak-anak dan perempuan di sekitar kita. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah branding Banjarmasin sebagai “Kota Layak Anak”, serta maraknya sosialisasi dan rencana Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak. Tentu layak kita bertanya: Jika perlindungan sudah diupayakan, mengapa kekerasan terus terjadi—bahkan meningkat?
Akar Masalah
Masalah ini tidak bisa dijawab dengan menyalahkan individu semata. Akar persoalan justru terletak pada sistem yang membentuk cara pandang dan perilaku masyarakat. Sistem sekuler—yang memisahkan agama dari kehidupan—telah menghapus peran wahyu dalam mengatur urusan publik. Agama hanya menjadi pelengkap, bukan panduan hidup.
Pendidikan saat ini tak lebih dari alat pencetak tenaga kerja. Nilai-nilai agama dan moral hanya ditempatkan sebagai pelengkap, bukan pondasi utama. Anak-anak tumbuh memahami angka dan teori, namun tidak kenal rasa takut kepada Allah, tidak paham konsep halal-haram, tidak tahu bagaimana memuliakan manusia.
Di sisi lain, keluarga sebagai institusi pelindung utama kini kian rapuh. Tekanan ekonomi akibat sistem kapitalisme membuat orang tua terpaksa menghabiskan waktu demi bertahan hidup, sementara pengasuhan anak diserahkan kepada gawai, lingkungan, atau nasib. Banyak orang tua bahkan tidak sadar bahwa anaknya telah menjadi korban atau pelaku.
Situasi ini diperparah oleh media yang bebas menayangkan kekerasan, pornografi, dan budaya permisif. Tayangan-tayangan itu menjadi konsumsi harian yang membentuk pola pikir masyarakat. Konten-konten ini merusak batas moral, melemahkan kontrol diri, dan menormalisasi penyimpangan.
Sayangnya, negara belum hadir menertibkan. Kalaupun hadir, biasanya terlambat. Itupun setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak yang peduli ataupun netizen. Negara dalam sistem sekuler tidak berfungsi sebagai pelindung, melainkan sekadar regulator pasif. Alih-alih membina media, negara hanya membiarkannya berlomba mengejar rating, meski harus mengorbankan moral publik.
Mengapa Gagal Mengatasi?
Mari ditelisik mengapa upaya-upaya yang dilakukan belum membuahkan hasil? Penulis mencermati karena upaya tersebut hanya bersifat reaktif: perda disusun setelah kasus terjadi, pelatihan digelar setelah korban bertambah. Tak ada sistem nilai yang dibangun untuk mencegah kekerasan sejak akar.
Kegagalan ini dapat dijelaskan dalam empat poin: 1. Paradigma sekuler yang menyingkirkan agama dari kebijakan publik. Perlindungan hanya berupa pasal-pasal hukum, bukan bagian dari sistem nilai yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang dilakukan negara hanyalah menindak pelaku, bukan mencegah kekerasan dari akarnya dengan sistem yang membina masyarakat; 2. Solusi bersifat simbolik dan seremonial. Sosialisasi dan kampanye anti-kekerasan seringkali hanya seremoni formal yang tidak menyentuh perubahan perilaku jangka panjang; 3. Negara tidak hadir sebagai pelindung sejati: Dalam sistem sekuler, negara hanya bertindak sebagai fasilitator, bukan pengayom umat. Perlindungan diserahkan pada LSM, keluarga, atau komunitas—yang kapasitasnya terbatas; 4. Pengabaian terhadap pengaruh media: belum ada pengaturan yang tegas terhadap konten media. Tayangan destruktif tetap bebas mengalir ke ruang keluarga tanpa filter moral.
Selama sistem ini bertahan, kekerasan akan terus berulang, karena solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar masalah. Kita tidak hanya kekurangan regulasi, namun sesungguhnya kita kekurangan sistem hidup yang menyeluruh dan berbasis nilai ilahiyah.
Islam Kaffah
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam datang dengan solusi ideologis yang menyeluruh. Islam memadukan pendidikan, keluarga, masyarakat, dan negara dalam satu sistem yang menjamin perlindungan sejati bagi perempuan dan anak.
- Pendidikan Islam yang menanamkan akidah dan akhlak
Islam mewajibkan pendidikan berbasis tauhid. Anak-anak diajarkan takut kepada Allah, mencintai kebaikan, menghormati kehormatan manusia. Ini menciptakan kontrol internal yang jauh lebih kuat daripada hukuman formal.
2 Keluarga diperkuat oleh negara, bukan dibiarkan bertahan sendiri
Negara Islam memastikan kebutuhan ekonomi keluarga terpenuhi. Sistem baitul mal, zakat, dan subsidi menjamin ayah dan ibu bisa fokus menjalankan peran sebagai pendidik generasi, bukan sekadar pencari nafkah.
- Media diarahkan untuk mendidik, bukan merusak
Negara Islam mengatur konten media agar sejalan dengan syariat. Tayangan yang merusak nilai akhlak akan dicegah. Sebaliknya, media menjadi alat dakwah dan pembinaan masyarakat.
- Hukum Islam ditegakkan secara tegas
Islam memiliki sistem sanksi (uqubat) yang sesuai kadar pelanggaran: ta’zir, had, dan qisas. Hukuman tidak sekadar menghukum, tapi mendidik masyarakat dan memberi rasa keadilan.
- Negara sebagai perisai umat
Rasulullah bersabda, “Imam (khalifah) adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Negara dalam pandangan Islam adalah pelindung yang aktif menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta rakyatnya. Bahkan Allah SWT memerintahkan:“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS. Al-Ma’idah: 49)
Maka jelas, individu, masyarakat dan negara, sebagai konsekwensi keimanannya terhadap Islam, wajib berhukum dengan hukum Allah—bukan hukum buatan manusia yang rapuh dan sering berubah sesuai kepentingan pihak tertentu.
Penutup
Kekerasan yang terus meningkat adalah hasil langsung dari sistem yang rusak. Kita tidak bisa berharap perubahan hanya dengan menambah perda atau menggencarkan pelatihan. Sudah saatnya kita berpikir: apa akar persoalan dan sistem seperti apa yang bisa menyelesaikannya?
Islam kaffah bukan sekadar solusi alternatif—tapi kebutuhan mendesak dan kewajiban.
Hanya Islam yang mampu menyatukan pendidikan, keluarga, media, dan negara dalam satu sistem yang membangun manusia bertakwa dan bermartabat.
Mari jujur melihat kerusakan ini sebagai kegagalan sistem sekuler. Mari berani mencabut akar masalah, dan menanamkan kembali sistem Ilahi. Islam kaffah—dengan Khilafah sebagai institusinya—adalah satu-satunya sistem yang benar-benar sanggup menjaga perempuan dan anak dengan adil, kuat, dan perlindungan paripurna. Wallahu a’lam bi-shawwab