Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Melibatkan Anak dalam Persaingan Narasi, Layakkah?

×

Melibatkan Anak dalam Persaingan Narasi, Layakkah?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Agenda anti radikalisme terus digencarkan, termasuk dengan penyuluhan pada anak-anak. Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Selatan (Kalsel) menggelar kegiatan edukasi bertajuk Cerita dan Inspirasi Anak Bangsa (Cinta) dengan tema “Satu Cinta Seribu Cerita”. Acara yang bertajuk ‘satu cinta, seribu cerita’ bermaksud membekali anak dengan nilai-nilai kebangsaan, toleransi dan anti radikalisme dan terorisme (klikkalsel.com, 25/06/2025).
Di tengah persoalan generasi seperti bullying (perundungan), narkoba, pergaulan bebas dan pengaruh budaya yang merusak, sebagian pihak memandang deradikalisasi penting. Bagaimana seharusnya menyikapi pergulatan narasi radikalisme dan anti radikalisme? Bagaimana posisi anak-anak?

Kalimantan Post

Perang Narasi

Narasi radikalisme dan anti radikalisme harus dikritisi oleh rakyat di negeri ini. Jauh sebelum berbagai program anti radikalisme, barat telah menghembuskannya bersamaan dengan istilah-istilah negatif sejenis seperti ekstrimisme, fundamentalisme dan terorisme. Jika kita dalami, istilah-istilah tersebut tidak diaplikasikan secara netral, dan obyektif realitas menunjukkan bahwa penggunaan istilah-istilah ini berorientasi politis, bukan demi hukum. Artinya semata memenuhi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Sebagai contoh secara tendensius terorisme dan radikalisme dilekatkan pada Islam dan organisasi Islam politik yang dianggap ancaman oleh penguasa dan sistemnya. Di sisi lain, KKB (Kelompok Kekerasan Bersenjata) Papua bukan dikategorikan kelompok teroris, kecuali belakangan ini, setelah mendapat kritik. Begitu pula pada krisis Palestina-Israel. Istilah terorisme tidak ditujukan pada Israel, padahal terorisme dan kebiadaban Israel yang menjajah begitu nyata disaksikan mata dunia.

Selain itu, jika aksi radikalisme atau terorisme dilakukan oleh oknum, maka Israel atau KKB Papua bukan lagi oknum, tapi lebih parah lagi karena mereka merupakan kelompok dan negara yang terang-terangan melakukan terorisme. Namun hampir tidak ada tindakan dan sikap sepadan terhadap terorisme Israel dan KKB. Faktanya, opini radikalisme dan terorisme membangun ketakutan dan generalisasi pada Islam dan organisasi Islam khususnya yang berhaluan politik.

Baca Juga :  MENJADI HAMBA YANG BERUNTUNG

Islam politik dituduh paham radikal yang menginspirasi terorisme. Masyarakat digiring pada opini negatif dengan semua pihak yang dilabeli radikal. Sedari awal radikalisme tidak memiliki dasar pemikiran yang jelas, namun penuh subyektivitas, politis dan standar ganda.

Negara harusnya berpatokan pada hukum, bukan wacana dan labelisasi radikal atau teroris. Ini akan memecah belah dan menimbulkan saling curiga. Ataukah pecah belah ini memang diinginkan?

Lalu, mampukah anak-anak bergelut dalam perang narasi radikalisme dan anti radikalisme? Anak-anak tidak cukup mampu untuk memahami narasi-narasi. Mereka haruslah ditanamkan nilai-nilai kebaikan dengan mengafirmasi pembiasaan perbuatan-perbuatan baik. Mereka dipahamkan konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Seiring pembiasaan, mereka paham amal wajib adalah kebaikan dan yang dilarang adalah buruk. Mereka dipahamkan dengan ketaatan pada hukum-hukum syari’at.

Nilai-nilai seperti baik, kasih sayang, adil, cinta tidak pernah bisa berdiri sendiri dan menjadi pemandu berpikir dan berbuat manusia. Manusia akan menafsirkan sendiri nilai-nilai dalam setiap perbuatannya. Dia akan menjustifikasi perbuatan dengan melekatkan baik, buruk semaunya. Korupsi, misalnya, menerima komisi atau gratifikasi akan dinilai baik karena korupsi dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarga serta saling menguntungkan. Padahal korupsi dalam syariat adalah perbuatan yang dilarang. Jadi, nilai baik buruk harus datang dari keimanan dan syariat. Dari keimanan kita paham bahwa syariat itu penentu baik-buruk yang kemudian melekat pada setiap perbuatan.

Karenanya yang harus ditanamkan pada anak-anak adalah ketaatan dan pembiasan pada hukum-hukum dengan dasar keimanan. Muatan kurikulum sejak dini mencakup pemahaman akidah Islam yang lurus dan ditanamkan melalui nalar sederhana sesuai usia mereka.

Dalam Islam, pembekalan kepada anak sejak dini bukan sekadar bentuk pencegahan dari pemikiran menyimpang, tetapi merupakan proses pembentukan kepribadian Islam yang kuat dan menyeluruh.

Baca Juga :  Ulama Sebagai Mitra Pemerintah

Negara Islam tidak akan menanamkan rasa takut, tetapi justru mengajak anak berpikir tentang keberadaan Allah, keindahan ciptaan-Nya. Anak-anak diajak berdiskusi ringan tentang kebenaran dan kebatilan, dan Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta, manusia dan kehidupan.

Negara akan menjamin kebutuhan pendidikan yang berkualitas. Selain ini media yang diakses anak akan bersih dari konten liberal, pornografi, dan pemikiran sekuler.

Negara tidak mengambil alih peran orang tua, tetapi justru memfasilitasi bimbingan orang tua, agar mereka menjadi pendidik pertama dan utama.

Anak akan dibekali sejak dini bahwa hidup ini punya misi besar yaitu menjadi hamba Allah SWT dan penyebar risalah Islam. Mereka bukan hanya pelajar, tetapi calon pejuang peradaban.

Ini adalah fondasi bagi generasi tangguh yang akan membawa umat menuju izzah dan kemuliaan Islam.

Kebangkitan dan kemuliaan bisa terwujud dengan penerapan Islam kaffah dalam institusi pemerintahan Islam, yaitu Khilafah. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan