Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mendidik Anak Sejak Dini: Mencegah Radikalisme atau Membentuk Kepribadian Islam?

×

Mendidik Anak Sejak Dini: Mencegah Radikalisme atau Membentuk Kepribadian Islam?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Melly Adzkia
Pendidik/Praktisi Pendidikan Islam

Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Selatan kembali menggelar kegiatan edukatif bertajuk “Satu Cinta Seribu Cerita” di Auditorium UIN Antasari, Banjarmasin. Acara ini menyasar siswa-siswi tingkat Sekolah Dasar sebagai bagian dari program kerja Bidang Perempuan dan Anak FKPT, yang menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI.

Kalimantan Post

Dengan metode interaktif seperti mendongeng, bermain, menonton video animasi, hingga menulis cerita cita-cita, kegiatan ini bertujuan membangun karakter anak sejak dini agar tidak mudah terpapar paham radikal dan terorisme saat menginjak usia remaja.

Sekilas, inisiatif ini tampak positif. Anak-anak diberikan ruang untuk berekspresi, diajak bermain sambil belajar, dan dikenalkan pada semangat kebangsaan. Namun jika dicermati lebih dalam, pendekatan yang digunakan justru menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah anak-anak benar-benar kelompok yang rawan terhadap paham radikal? Ataukah justru ini bagian dari narasi yang secara perlahan menanamkan kecurigaan terhadap ajaran Islam yang kaffah?

Anak-Anak dan Stigmatisasi Terselubung

Mengangkat isu radikalisme dalam kegiatan pendidikan dasar tentu sangat sensitif. Sebab, usia anak-anak adalah masa pembentukan, bukan masa untuk dipenuhi dengan narasi ancaman dan ketakutan. Mereka belum memiliki kedewasaan intelektual untuk membedakan antara pemikiran kekerasan dan nilai-nilai Islam yang sejati.

Ironisnya, dalam berbagai program pencegahan radikalisme, ajaran Islam sering kali menjadi pihak yang paling disorot. Mulai dari cara berpakaian, penggunaan istilah keislaman, hingga aktivitas belajar agama di luar sekolah—semuanya sering dikaitkan dengan potensi radikalisme. Padahal, Islam bukanlah ancaman. Islam adalah agama yang membawa rahmat, kedamaian, dan keadilan bagi seluruh manusia.

Mengaitkan Islam dengan radikalisme secara sistemik akan berdampak pada dua hal: pertama, menciptakan ketakutan anak terhadap simbol dan ajaran Islam yang justru menjadi jati dirinya; dan kedua, menumbuhkan generasi yang tidak percaya diri menjadi Muslim secara kaffah karena telah dicurigai sejak kecil.

Baca Juga :  TUJUAN HIDUP

Radikalisme: Gejala atau Akar Masalah?

Pencegahan radikalisme seharusnya menyasar akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar permukaan. Faktanya, munculnya tindakan ekstrem bukan semata-mata karena pemahaman agama, tetapi lebih banyak dipicu oleh ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, dominasi budaya asing, dan krisis identitas akibat sistem pendidikan yang sekuler.

Ketika negara terus-menerus menyasar umat Islam dalam narasi deradikalisasi, namun abai terhadap ketidakadilan struktural yang terjadi di tengah masyarakat maka pendekatan ini hanya akan mempertahankan status quo. Dalam bahasa lain, deradikalisasi seringkali menjadi alat mempertahankan sistem yang gagal menyelesaikan akar masalah.

Pendidikan Islam

Dalam Islam, pendidikan anak sejak dini bukanlah proyek pencegahan, melainkan proyek pembentukan kepribadian (syakhsiyah). Seorang anak dididik untuk mengenal Rabb-nya, memahami hakikat kehidupan, dan diajak berpikir dengan logika yang sesuai usianya. Ajaran Islam memberikan keseimbangan antara akal, ruhiyah, dan akhlak.

Anak-anak dibekali bahwa hidup ini memiliki misi mulia: menjadi hamba Allah dan menyebarkan risalah-Nya. Mereka belajar tentang kebenaran dan kebatilan, bukan semata mengikuti aturan, tetapi memahami mengapa harus taat. Inilah fondasi akidah yang kuat yang akan membentengi mereka dari berbagai penyimpangan pemikiran.

Negara Islam dalam sejarahnya telah menjadi pelopor pendidikan anak yang integral. Kurikulum tidak mengandung liberalisme, pornografi, maupun sekularisme. Ilmu pengetahuan disinergikan dengan nilai-nilai Islam, bukan dipisahkan. Sekolah menjadi tempat anak mencintai ilmu dan memahami agama tanpa rasa takut dicap radikal.

Kolaborasi dengan Orang Tua

Salah satu kelebihan sistem Islam adalah memposisikan orang tua sebagai pendidik utama. Negara justru memfasilitasi peran mereka, bukan mengambil alih secara sepihak dengan intervensi ideologis. Dalam sistem sekarang, orang tua justru sering terpinggirkan oleh program-program sekolah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga Muslim.

Baca Juga :  Wisata Gunung Kayangan: Pesona Alam Terbengkalai

Padahal, sinergi antara orang tua, masyarakat, dan negara adalah kunci utama dalam membentuk generasi yang kuat secara pemikiran, akhlak, dan spiritualitas.

Generasi Rabbani

Anak-anak adalah amanah. Mereka bukan target deradikalisasi, tetapi calon pemimpin dan pejuang peradaban. Maka, jangan racuni pikiran mereka dengan narasi ketakutan, tapi bimbinglah mereka untuk menjadi generasi Rabbani—yakni generasi yang mengenal Allah, mencintai ilmu, dan siap memperjuangkan kebenaran.

Program seperti ‘Satu Cinta Seribu Cerita’ tentu dapat dimodifikasi menjadi kegiatan yang lebih mendalam dalam membentuk karakter Islami, tanpa embel-embel deradikalisasi yang justru melemahkan identitas keislaman anak-anak.

Semua hal di atas hanya akan menjadi cita-cita jika pendidikan masih berada di bawah sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Pendidikan Islam yang integral dan menyeluruh hanya bisa terwujud dalam naungan sistem Islam yang menerapkan syariat secara kaffah.

Dalam sistem ini, negara tidak hanya mencegah penyimpangan, tetapi membentuk peradaban. Pendidikan bukan sekadar transmisi ilmu, tapi proses pembentukan manusia seutuhnya. Anak-anak dibesarkan bukan hanya sebagai pelajar, tapi sebagai generasi pemikul risalah, pembawa cahaya bagi umat manusia.

Jika inilah yang kita tanamkan sejak dini, maka tidak perlu ada kekhawatiran terhadap radikalisme, sebab yang lahir adalah generasi tangguh yang siap membawa umat ini menuju izzah dan kemuliaan.

Iklan
Iklan