Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Menggugat Gaya Hidup yang Memisahkan Kita dari Alam

×

Menggugat Gaya Hidup yang Memisahkan Kita dari Alam

Sebarkan artikel ini

Oleh : Hafizhaturrahmah

Kita hidup dalam masyarakat yang begitu modern, begitu rapi, dan begitu jauh dari tanah. Sayur datang dalam plastik di supermarket, air keluar dari galon sekali pakai, dan makanan dipesan tanpa perlu tahu siapa yang menanam, siapa yang memasak. Anak-anak belajar tentang pohon dari layar, bukan dari menyentuh daunnya. Kita tidak lagi kenal akar—secara harfiah maupun simbolik.

Baca Koran

Dalam sistem seperti ini, keterputusan dari alam merupakan juga realitas budaya. Kita diajarkan untuk mencuci tangan setelah menyentuh tanah, tetapi tidak diajarkan bahwa menyentuh tanah bisa menyembuhkan. Kita dibesarkan dalam logika bersih dan cepat, instan dan efisien, yang tak memberi ruang bagi proses alami yang lambat, kotor, dan bermakna.

Dampaknya lebih luas dari yang kita kira. Ketika hubungan manusia dengan tanah dan alam terputus, yang rusak tidak hanya bumi—melainkan juga jiwa manusia. Bumi yang dieksploitasi tanpa jeda menghasilkan kerusakan ekologis; manusia yang hidup tanpa ritme alami mengalami kekosongan eksistensial.

Krisis ekologis dan krisis psikologis sejatinya tumbuh dari akar yang sama: keterasingan manusia dari tempatnya berpijak.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa dalam dua dekade terakhir, laju kerusakan ekosistem meningkat drastis akibat pola konsumsi yang serba cepat dan urbanisasi yang agresif. Di sisi lain, WHO melaporkan bahwa angka depresi dan gangguan kecemasan global melonjak tajam, khususnya setelah pandemi.

Ketika kita hidup jauh dari proses alami ‘menanam, menunggu, merawat’ kita kehilangan ritme hidup yang sesungguhnya. Kita dibentuk menjadi manusia yang ingin segala sesuatu instan: makan cepat, kerja cepat, sembuh cepat. Tak ada ruang untuk lambat, padahal hidup yang paling otentik seringkali berjalan pelan dan membumi.

Baca Juga :  Menolak "Pikun" Kecurangan Pemilu

Dalam konteks ini, gerakan kembali ke bumi adalah koreksi budaya terhadap cara hidup yang terlalu artifisial. Ketika seseorang mulai menanam cabai di pot halaman, atau membuat kompos dari sisa dapur, ia tidak sedang sekadar mengurangi sampah atau berhemat. Ia sedang menciptakan ulang hubungan yang telah lama hilang: hubungan dengan waktu, dengan sabar, dan dengan proses alami yang tidak bisa dipercepat.

Ia juga sedang merebut kembali otonomi yang dirampas oleh sistem konsumsi massal. Ia menolak menjadi sekadar pengguna, dan memilih menjadi perawat. Ia tidak lagi hanya membuang, tapi mengubah. Dan dalam tindakan-tindakan mikro itu, ia membangun kembali rasa kontrol, rasa memiliki, dan yang paling penting rasa cukup.

Di berbagai kota besar, mulai tumbuh komunitas urban farming, rumah kompos, bank sampah, dan pertanian mandiri. Di permukaannya, ini tampak sebagai solusi lingkungan. Tapi lebih dari itu, mereka juga ruang penyembuhan sosial. Tempat orang-orang yang lelah oleh hiruk pikuk kota bisa kembali menyentuh tanah dan mendengar dirinya sendiri.

Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, pernah mengatakan bahwa struktur sosial membentuk habitus manusia. Jika masyarakat modern membentuk kita menjadi manusia yang terputus dari siklus alam, maka membangun kembali habitus ekologis adalah tindakan politis sekaligus spiritual. Menanam bukan hanya kegiatan agrikultural, tapi juga bentuk perlawanan kultural.

Dalam budaya yang menjadikan waktu sebagai komoditas dan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran hidup yang sah, memilih untuk hidup perlahan dan sadar menjadi tindakan yang sangat radikal. Merawat tanah adalah bentuk kritik terhadap logika eksploitatif yang membuat bumi lelah dan manusia gelisah.

Tentu, tidak semua orang punya akses ke kebun atau bisa langsung berhenti menggunakan plastik. Tapi pemulihan tidak harus selalu revolusioner. Ia bisa dimulai dari hal kecil: memilah sampah, menolak kantong plastik sekali pakai, menyiram tanaman sendiri, menyisihkan sisa makanan untuk kompos.

Baca Juga :  Membangkitkan Pengambau Hilir Luar sebagai Desa Lumbung Pangan

Tindakan-tindakan mikro ini, ketika dilakukan secara sadar dan konsisten, dapat menjadi praktik sosial yang membentuk kesadaran ekologis sekaligus menyehatkan mental. Studi dari Frontiers in Psychology (2021) menemukan bahwa kegiatan berkebun dan pengelolaan limbah organik dapat menurunkan gejala depresi dan meningkatkan rasa keterhubungan sosial.

Karena pada dasarnya, manusia butuh menyentuh sesuatu untuk merasa nyata. Dan apa yang lebih nyata dari tanah?

Generasi hari ini tidak hanya menanggung beban krisis ekologis, tetapi juga krisis eksistensial. Kita dikepung oleh informasi, tuntutan performa, dan ekspektasi kesuksesan yang tidak memberi ruang untuk diam. Dalam kondisi seperti itu, merawat bumi adalah cara untuk membangun kembali koneksi dengan komunitas, dengan proses, dan dengan diri sendiri.

Karena sejauh apapun kita melangkah, manusia tetap makhluk bumi. Dan tak ada yang bisa benar-benar sembuh, jika ia terus menjauh dari tempat berpijaknya.

Bumi yang rusak adalah gejala dari gaya hidup yang memisahkan kita darinya. Maka untuk memulihkan bumi, kita juga harus memulihkan jiwa. Dimulai dari tindakan paling sederhana: menyentuh tanah. Merawatnya. Dan membiarkan ia merawat kita kembali.

Iklan
Iklan