oleh: Noorhalis Majid
JANGAN lupa pada kecurangan Pemilu atau pun Pilkada, sebab bila lupa apalagi pikun, lantas digoda untuk melupakannnya, maka nanti kecurangan tersebut akan diulang kembali. Kecurangan yang terus diulang – berulang kali, bisa berubah wujud menjadi kebenaran. Sebab terbiasa dengan kecurangan, dan kecurangan itu dimaklumi seiring waktu yang dipaksa berlalu untuk dipahami.
Akibatnya, sedahsyat apapun bentuk kecurangan, sekalipun kecurangan itu terang benderang di depan mata penyelenggara dan pengawas, tidak pernah ada pembelajaran. Padahal kecurangan dalam Pemilu, merupakan wujud nyata penghianatan demokrasi.
Sudah menjadi permakluman, penyakit terparah manusia pada umumnya, mudah lupa pada sesuatu yang sudah terjadi. Kalau pun ingat, durasinya sangat pendek. Lupa menjadi satu keniscayaan, termasuk lupa pada peristiwa yang sangat penting seperti Pemilu dan Pilkada.
Bagaimana mungkin bisa belajar memperbaiki kecurangan, kalau peristiwanya dilupakan dan disuruh lupa? Belum lagi bila peristiwa tersebut ditindis dan dilapis oleh peristiwa lainnya yang tidak kalah penting. Tumpukan peristiwa yang berlapis-lapis, mempercepat lemahnya daya ingat akan satu peristiwa, sepenting apapun kedudukan peristiwa tersebut.
Sebab itu, agar suatu peristiwa tidak dilupakan, sejak zaman purba dibuat prasasti, monument atau tanda fisik, sebagai pengingat bagi generasi ke generasi, tentang sesuatu yang dianggap penting dan tidak boleh dilupakan. Bila sesuatu bersifat buruk, tanda pengingat tersebut tentu mengandung pesan agar menjadi pembelajaran untuk tidak terulang kembali. Setelah memasukan zaman sejarah, barulah semua peristiwa penting dituliskan, sehingga tidak mudah dilupakan.
Sebagai warga yang taat hukum, tentu saja wajib menerima proses politik dan demokrasi prosedural walau jalannya panjang, hingga penetapan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Menerima, bukan berarti harus melupakan segala bentuk kecurangan yang sudah terjadi. Menerima hasil proses hukum Pemilu atau Pilkada, adalah satu bentuk kedewasaan berpolitik, namun mengingat dan tidak melupakan kecurangan, adalah wujud kecerdasan berdemokrasi.
Kalau tujuan demokrasi menginginkan pemilihan pemimpin dilakukan secara beradab, maka sekecil apapun bentuk kecurangan, haruslah menjadi bahan evaluasi serta perbaikan. Apalagi ketika kecurangan tersebut paripurna, salah besar bila dilupakan.
Untuk dapat mengevaluasi dan memperbaiki kecurangan, maka segala bentuk dan jenis kecurangannya mesti diingat, didokumentasikan, bila perlu diberi catatan dengan huruf tebal, bahwa suatu kecurangan pernah terjadi dan merupakan peristiwa memalukan.
Bukan sebaliknya, menyembunyikan atau memusnahkan seluruh dokumen, catatan dan bukti kecurangan, lantas menyuruh melupakannya, agar tidak tercium, apalagi untuk dipelajari.
Sebab itu, kalau ada yang memilih tidak ingin melupakan kecurangan Pemilu atau Pilkada, jangan anggap hal tersebut tidak dewasa atau enggan move on. Sikap tersebut justru bagian dari kecerdasan berdemokrasi, agar segala prosesnya terus meningkat semakin beradab. Supaya tahu, bahwa warga bukan segerombolan orang ‘pikun’, yang mudah lupa pada peristiwa kecurangan, kelicikan, serta manipulasi proses dan prosedur Pemilu atau Pilkada yang memalukan.
Memulihkan Alam Pikiran Demokrasi
Bila mau jujur melihat fenomena dan dinamika Pemilu serta Pilkada, dapat disimpulkan demokrasi bukan sekedar dibajak atau dikebiri, sebagaimana banyak penelitian menyimpulkan seperti itu. Kondisinya ternyata lebih parah dari itu. Demokrasi telah diporak-porandakan menjadi amburadul, berantakkan, dengan berbagai bentuk kecurangan dan ‘main kayu’.
Okelah, kalau sekiranya situasi sudah tidak dapat dicegah, harus ada pergerakan dari kelompok masyarakat sipil dan partai politik untuk memulihkan demokrasi. Setidak memulihkan alam pikiran demokrasi dengan menghadirkan oposisi. Sehingga sekali lagi, kalau ada yang bersikap dan mengambil jarak atau ‘beroposisi’, jangan pula dianggap tidak menerima hasil. Apalagi dianggap tidak berbesar hati. Sikap ini bagian dari memulihkan demokrasi, agar ada kontrol dan penyeimbang.
Pada hakekatnya demokrasi memang oposisi. Mesti ada yang berteriak lantang, manakala kebijakan dibuat tetapi tidak mengedepankan kepentingan warga.
Memulihkan alam pikiran demokrasi, pasti bukan jalan mudah. Kemiskinan dan juga kebodohan, dua situasi yang menyebabkan demokrasi sulit diharapkan berjalan ideal. Sebaliknya justru menciptakan situasi yang sangat menyedihkan. Menurut data, sekarang ini terdapat lebih dari 19,9 juta orang miskin yang terancam kelaparan. Mereka dibuai mimpi datangnya sembako yang akan menolong hidup mereka. Pada situasi kritis seperti itu, demokrasi dianggap bukanlah sesuatu yang penting, ketimbang menyelesaikan masalah perut.
Begitu juga dengan tingkat pendidikan, kenyataannya masihlah sangat rendah. Mayoritas warga hanyalah kelas 7 atau setara kelas 1 SMP, sebagian lainnya beruntung hingga kelas 2 SMP. Belum lagi soal kesadaran literasi dan produktivitas narasi. Dengan situasi kemiskinan dan tingkat pendidikan yang dipelihara rendah seperti itu, maka demokrasi dapat dikendalikan dengan bantuan sosial, dan pemenangnya adalah yang mampu mengatur kapan bantuan sosial tersebut diberikan.
Perjuangan utama yang harus dilakukan oleh kelompok oposisi, adalah mendorong agar warga mau berpikir kritis melihat keadaan. Hanya dengan cara seperti itu, dapat memulihkan demokrasi, setidaknya pulih pada tingkat alam pikiran. Karena hanya dengan berpikir kritis demokrasi menjadi pulih.
Tentu saja demokrasi dimaksud adalah yang mengutamakan kesetaraan, keadilan, penegakan hukum, transparansi, dan berbagai bentuk partisipasi warga. Bukan proses tata kelola negara yang ditentukan dan dikendalikan oligarki, yang hanya memperkaya segelintir orang.
Sebelum terbentuk oposisi permanen, biarlah tumbuh berbagai pikiran pesimis namun rasional, agar lahir kesadaran berpikir kritis alternatif, semoga dengan itu mampu memulihkan alam pikiran demokrasi. Semoga dengan pikiran kritis, akan lahir kesadaran kolektif untuk bersama-sama memperbaiki keadaan. Bukan sebalik, berjamaah menghancurkan sistem dan cara, lalu menghalalkan segalanya untuk meraih kekuasaan.
Apa pentingnya kekuasaan, bila peradaban demokrasi rapuh dan keropos?. Apalagi bila kecurangan dilestarikan, diulang setiap Pemilu dan Pilkada. Seolah menegaskan, bahwa warga hanyalah kumpulan orang ‘pikun’ yang mudah dimanipulasi setiap kali perhelatan Pemilu dan Pilkada.