oleh: Noorhalis Majid
MAHKAMAH Konstitusi (MK) melalui keputusannya Nomor 3/PUU-XXII/2024, menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan dasar (SD dan SMP) tanpa memungut biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menilai bahwa frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam pasal tersebut menimbulkan multi tafsir dan perlakuan diskriminatif, terutama terkait sekolah swasta.
MK menegaskan bahwa negara harus menjamin terselenggaranya pendidikan dasar secara gratis di semua satuan pendidikan dasar, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat (swasta). Putusan ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki akses pendidikan dasar yang sama, tanpa terkendala biaya.
Putusan ini nampak sangat hebat, karena akan menghapus diskriminasi menyangkut layanan pendidikan dasar, sehingga sekolah negeri atau swasta, sama-sama tidak dipungut biaya, alias gratis.
Namun, implikasi dari putusan tersebut tentu sangat besar. Terutama bagaimana menjawab tantangan yang sangat besar, menanggung seluruh biaya pendidikan yang selama ini dipikul masyarakat melalui sekolah swasta.
Kehadiran sekolah swasta tidak sekedar disebabkan keterbatasan sekolah negeri dalam menampung siswa, namun bagian dari pilihan karena menginginkan satu bentuk pendidikan yang berbeda, berciri khas atau berkarakter, sesuai dari tujuan pendidikan dasar yang dibentuk. Sebab itu, banyak pendidikan swasta berbasis agama, atau berbasis alam dan budaya, yang materi dan muatan pengajarannya berbeda dengan sekolah negeri.
Tantangan terbesar dari implementasi putusan MK ini, tentu saja soal anggaran. Pendidikan gratis bukan hanya tentang pembiayaan terhadap siswa, namun bagaimana elemen biaya lainnya yang sangat banyak, mulai dari gaji guru, gaji tenaga kependidikan dan tenaga penunjang, operasional sekolah, biaya gedung, ekstra kurikuler, sarana prasarana, dan lain sebagainya.
Jumlah sekolah swasta yang sangat banyak, bahkan jangan-jangan lebih banyak dari sekolah negeri, menjadi satu tantangan yang sulit dibayangkan bagaimana mengakomodir semua pembiayaannya.
Sebab itu, putusan MK yang sangat gagah dan berani ini, tidak sekedar memerlukan pengawalan, namun juga curahan pemikiran cerdas lagi kreatif. Jangan sampai justru mematikan sekolah swasta, karena harus menyelenggarakan pendidikan secara gratis, namun dana mewujudkannya tidak memadai.
Idealnya pendidikan dasar memang gratis, karena tugas negara paling utama adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab itu, anggaran pendidikan 20% pada APBN dan APBD, layak dievaluasi kembali penggunaannya dan lembaga apa yang harus mengelolanya. Jangan-jangan anggaran pendidikan justru lebih banyak tercurah pada yang bukan peruntukkannya, sehingga seberapa besar pun anggaran pendidikan dialokasikan, tetap tidak mengakomodir biaya pendidikan, yang menyebabkan sekolah swasta terpaksa tetap ada dan diskriminasi pendidikan terus berlanjut.
Tentu banyak pula yang optimis pada putusan MK tini, mungkin sama optimisnya terhadap program makan bergizi gratis (MBG), yang dianggap menjadi solusi dalam menyelesaikan gizi buruk atau stunting.
Memang, kalau ingin menjadi negara hebat, dua pelayanan dasar yang harus dijamin oleh negara – bila dimungkinkan terselenggara secara gratis, adalah pendidikan dan kesehatan.
Namun apa daya, kemampuan keuangan masih lemah, sebab korupsi menggerogoti segala sendi, dan akhirnya keuangan negara lebih banyak raib dimakan para koruptor, bukan terfokus pada pendidikan dan kesehatan. Sejauh tidak ada perubahan terhadap skema keuangan, terutama pembagian alokasi anggaran atas dana pendidikan 20%, maka sulit untuk tetap optimis terhadap kebijakan MK terkait pendidikan dasar gratis.
Terutama terhadap sekolah swasta, yang juga dituntut memberikan pelayanan pendidikan dasar gratis, padahal selama ini sekolah swasta hidup dari iuran sekolah, yang dengan iuran tersebut digunakan untuk membayar gazi guru, tenaga penunjang kependidikan, membangun dan merawat gedung dan biaya proses belajar mengajar.
Untuk menyelenggarakan pendidikan yang menanggung banyak biaya tersebut, setidaknya dibutuhkan dana minimal 6 juta hingga 8 juta persiswa setiap tahun. Bahkan untuk sekolah dengan level premium, memerlukan biaya lebih dari 10 juta persiswa pertahun. Seandainya dana BOS besarannya berkisar minimal 6 sampai 8 juta atau 10 juta, tentu sangat dimungkinkan sekolah swasta turut serta menyelenggarakan pendidikasn dasar gratis.
Kalau dana BOS besarannya masih berkisar 1,3 juta, maka harus diketahui, dana tersebut hanya cukup menanggung biaya proses belajar mengajar, dan dengan demikian, seluruh guru dan tenaga kependidikan mengabdi secara suka rela, alias tidak dibayar. Dan jangan berhadap ada gedung atau ruang belajar yang refresentatif, apalagi fasilitas penunjang terkait pengembangan minat dan bakat siswa. Akhirnya, jangan berharap mutu dan kualitas pendidikan terjadi secara merata dan standar di semua sekolah.
Berbeda halnya dengan sekolah negeri. Gurunya sudah PNS, plus sertifikasi. Gedungnya dibangun PUPR, dan sarana prasaranya dibiaya APBN dan APBD. Dengan menerima dana BOS sebesar 1,3 juta, sangat leluasa menyelenggarakan pendidikan dasar gratis. Itu pun tidak jarang terdengar kabar, sekolah negeri turut memungut biaya dengan dalih sumbangan, padahal jumlahnya ditentukan, waktunya ditetapkan dan siswa yang tidak menyumbang ijasahnya ditahan, yang berarti adalah pungutan.
Kalau tidak ada perubahan skema penganggaran, terutama pembagian alokasi atas anggaran pendidikan 20%, maka pendidikan dasar gratis hanya akan menambah masalah baru, antara lain: akan banyak sekolah swasta yang tutup karena bangkrut; Akan terjadi pengangguran, sebab pengajar dan tenaga kependidikan di sekolah swasta terpaksa berhenti karena tidak ada gazi. Dan pada saat sekolah swasta krisis keuangan karena tidak ada tambahan pemasukan, saat itulah Yayasan dan Ormas yang memayunginya, terpaksa menerima tawaran untuk ikut menambang, agar hasil tambang dapat dialokasikan untuk mendukung pendidikan dasar gratis.
Mohon maaf, saya pesimis negara mampu mewujudkannya. Sebab, merubah skema anggaran dengan berbagai lembaga dan kementrian, memahami problem sekolah swasta, dan menyetarakan layanan pendidikan, harus melalui perdebatan dan bahkan pertengkaran hebat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dengan Yayasan serta Ormas yang menyelenggarakan sekolah swasta, agar ada kesamaan pandangan untuk dapat mewujudkannya.
Walau pesimis, saya memberikan saran, agar angka putus sekolah yang diakibatkan ketiadaan biaya dapat ditekan, kebijakan terkait pendidikan dasar 9 tahun, harus dibarengi dengan penggabungan jejang pendidikan SD dan SMP. Mestinya tidak perlu lagi ada kelulusan SD, tidak perlu lagi ada pendaftaran SMP atau Tsanawiyah, karena pendidikan dasar 9 tahun tersebut satu kesatuan hingga 9 tahun, Baru setelah menjalani pendidikan 9 tahun, seorang siswa diberikan ijazah. Bukan ijazah SD dan SMP, tapi ijazah pendidikan 9 tahun. Bila ini dilakukan, terjadi penghematan biaya pendidikan, karena tidak ada lagi biaya perpisahan SD, biaya cetak ijazah SD, dan biaya pendaftaran ke SMP atau Tsanawiyah. Caranya cukup didata sesuai minat siswa, dan diteruskan melajutkan ke sekolah yang menjadi minat pilihannya. (nm)