Oleh : AHMAD BARJIE B
Sebelum Islam, Mus’ab bin Umair adalah remaja yang kaya. Orangtuanya membelikan pakaian seharga 200 dirham, yang jarang dipakai orang saat itu. Ketika Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam, ia diam-diam masuk Islam. Setelah keluarganya yang masih kafir mengetahuinya, mereka mengurungnya, supaya tidak lagi mendatangi Rasulullah untuk memperkuat keislamannya.
Ketika ada kesempatan melarikan diri, ia pun lari dan ikut beberapa sahabat yang hijrah ke Habsyah-Ethiopia. Kebetulan Negus Najasi, raja Habsyah, bersimpati kepada Islam dan bersedia melindungi dan memberikan suaka politik kepada kaum muslimin. (Belakangan Negus Najasi juga masuk Islam, sehingga Rasulullah mengajak para sahabat shalat ghaib ketika raja itu mangkat). Kemudian ketika kaum muslimin Makkah Hijrah ke Madinah, ia langsung ikut hijrah ke Madinah, tanpa pernah kembali lagi ke Makkah. Ia lebih memilih Islam daripada keluarga, kekayaan dan hartanya di Makkah.
Suatu kali, di Kota Makkah, Rasulullah melihat Mus’ab bin Umair lewat di depannya. Baginda Rasul melihat tampilan Musab yang jauh berbeda. Kini, ia memakai pakaian lusuh dan penuh tambalan, dan salah satu tambalannya dari kulit. Jauh berbeda, berbanding terbalik dengan keadaannya sebelum masuk Islam. Rasulullah mencucurkan air mata melihat pemandangan itu.
Ketika Perang Uhud meletus, Mus’ab bin Umair kebagian tugas memegang bendera perang kaum muslimin, yang bertuliskan kalimat tauhid. Pasukan Islam mulanya meraih kemenangan, tapi kemudian terdesak karena kurang disiplin. Banyak yang meninggakan posisi yang strategis di Gunung Uhud, karena mengira sudah menang. Pasukan Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid yang ahli dalam strategi perang, berbalik menguasai Uhud sehingga mereka mudah memanah pasukan muslimin di bawahnya yang panik dan lari kucar kacir.
Mus’ab bertahan memegang bendera itu agar jangan sampai jatuh. Tentara musuh dari kaum Quraisy Makkah memotong tangan kanannya, ia kemudian memegang bendera itu dengan tangan kirinya. Kemudian tangan kiri terputus lagi. Setelah itu musuh memotong tangannya lagi, sehingga Musa’b mendekapnya. Seterusnya, musuh memanahnya, sehingga ia pun terjatuh dan tewas sebagai salah satu syuhada di antara puluhan syuhada Uhud. Seorang temannya mengambil dan mengibarkan bendera itu lagi, sampai kaum muslimin di akhir perang dapat mengkonsolidasikan pasukan lagi, dan kaum Quraisy merasa puas karena mengira mereka sudah menang sepenuhnya dan mengira Rasulullah juga ikut tewas.
Mus’ab bin Umair dimakamkan di lapangan Uhud bersama Hamzah bin Abdul Muthalib dan sejumlah syuhada lainnya. Ketika dimakamkan, kain kafannya tidak mencukupi. Jika ditutupkan ke atas, bagian bawah badannya kelihatan, dan jika dikebawahkan, bagian atas kelihatan. Akhirnya Rasulullah menyuruh menutup bagian atasnya, dan bagian bawah ditutupi dengan dedaunan.
Itulah sekilas gambaran perjuangan Mus’ab bin Umair, demi Islam ia mengorbankan segalanya, kenyamanan hidup, hartanya, keluarganya hingga nyawanya sendiri. Dan orang seperti Musab sangat banyak di kalangan sahabat Rasululah saat itu. Jadi wajar kalau Islam memperoleh kemenangan dan kejayaan, dan Allah memuji mereka sebagai umat terbaik, khaira ummah.
Kita yang hidup sekarang, tidak ada apa-apanya dibanding para sahabat Rasulullah. Perjuangan dan kepedulian kita untuk Islam dan muslimin kecil sekali. Kalimat tauhid kadang ada yang melecehkan, Rasulullah dan sahabat kurang diteladani, bahkan ada yang mengeritik dan merendahkan, Alquran kadang diragukan, kurang dihayati dan diamalkan, dan masih banyak lagi.
Begitu juga dengan penderitaan saudara kita di Palestina, kepedulian kita sudah semakin berkurang. Kita seolah membiarkan mereka dizalimi Israel tanpa pembelaan berarti. Hanya Hamas di Gaza Palestina, Hezbollah Lebanan, Khouti Yaman dan Iran yang berani melawan Israel. Akibatnya 50-an ribu sudah yang tewas, ratusan ribu luka, jutaan bangunan hancur. Sebuah angka yang sangat besar, padahal dalam Islam satu nyawa pun sangat berharga, dan satu nyawa orang Islam yang terbunuh tanpa hak sama artinya membunuh semuanya. Menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan satu nyawa lainnya.
Kita memang tidak bisa menyamai kualitas keimanan, keislaman dan pengorbanan para sahabat Nabi. Tapi paling tidak kita mengagumi dan menaruh hormat pada mereka, dan berusaha meneruskan dan mendakwahkan agama Islam sesuai kemampuan kita, yang dulu mereka perjuangan dengan segala pengorbanan tenaga, waktu, pikiran, harta, darah dan jiwa raga. Bagi yang memiliki kemampuan hendaknya juga menyumbangkan hartanya untuk Islam. Harta tidak akan dibawa mati, kecuali harta yang disumbangkan untuk agama. Wallahu A’lam.