Oleh : AHMAD BARJIE B
Di awal gerakan reformasi (1998), nepotisme ramai dibicarakan publik bersama korupsi dan kolusi (KKN). Itu sebabnya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, nepotisme diberi rumusan khusus, yaitu setiap perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat (pasal 1 ayat 5). Dalam KBBI (1990: 613), nepotisme berarti kecenderungan mengutamakan (menguntungkan) sanak saudaranya sendiri terutama dalam jabatan dan pangkat di lingkungan pemerintahan. Sedangkan kroni, dari bahasa Inggris crony, artinya teman dan sahabat karib (Echols dan Shadily, 1984: 156).
Kini, setelah 25 tahun lebih gerakan reformasi, nepotisme (dan kolusi) jarang disoal orang, Term yang tetap hangat hanya korupsi. Jarangnya nepotisme diperdebatkan mengesankan ia tidak terjadi lagi, atau justru terjadi tetapi sudah dianggap biasa dan lumrah. Hal ini disebabkan “nepotisme” cenderung menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia dan tidak dianggap melawan hukum. Seseorang yang jadi orang berpangkat, lalu melupakan keluarga atau kenalannya akan dianggap lupa kacang akan kulit. Sebaliknya jika setelah jadi berusaha mengutamakan keluarga atau sahabatnya, itulah orang yang pandai membalas jasa.
Menarik dipertanyakan, mengapa kecenderungan itu terjadi dan apa akibatnya terhadap penyelenggaraan negara di daerah. Apakah pengangkatan semacam itu ada nuansa nepotisme-nya dan sampai di mana batas toleransinya. Dan adakah nepotisme yang dibolehkan.
Spekulasi Politik
Hampir pasti fenomena ini efek domino pemilu dan pilkada sebagai usaha besar memperebutkan posisi strategis kepemimpinan. Mengantar kesuksesan tentu banyak pihak terlibat, tidak saja partai politik dan tim sukses, juga pejabat di sekeliling calon yang memberi dorongan meskipun secara tidak langsung. Pejabat yang posisinya jauh, berada atau mendukung calon lain dan tidak sekantor/sedaerah dengan calon mungkin kurang dilihat. Ketika sang calon menang orang dekatlah yang lebih diprioritaskan duduk.
Di sini sebenarnya ada politik untung-untungan. Calon yang notabene pejabat hampir pasti menginginkan dukungan dari pejabat atau pegawai lain di instansinya. Suka atau tidak dukungan itu harus diberikan. Walau UU mengatur agar setiap PNS bersikap netral, netralitas itu amat kabur dan berisiko.
Seorang teman PNS suatu kali curhat. Katanya, sekiranya calon dukungannya menang, pasti ia akan jadi ini dan itu. Karena kalah, akhirnya ia masuk kotak, tidak jadi apa-apa kecuali pegawai biasa, padahal cukup senior. Saya bilang, bukankah PNS harus netral, dia jawab aturannya memang begitu. Tetapi kalau tidak memberi dukungan pada atasan justru dituduh tidak punya pendirian. Dengan memberi dukungan risikonya menang atau kalah. Kalau menang ada harapan dapat promosi jabatan, kalau kalah akan dibiarkan, dibuang atau dilempar ke pos yang belum tentu cocok dengan minat dan keahlian.
Risiko begini tentu naif. Perlu digarisbawahi, ketika mendukung atau tidak mendukung seseorang, bukan otomatis timbul dari hatinurani dan sikap politik. Tidak mustahil hanya karena ewuh pakewuh atau tuntutan instansi. Dalam perspektif demokrasi mestinya tidak perlu dipersoalkan.
Loyalitas dan Profesionalitas
Melihat cara pejabat mengangkat pembantunya dari kalangan keluarga atau orang dekat, unsur melawan hukum sebagaimana digariskan UU tidak begitu terlihat. Cara tersebut mungkin lebih menjamin loyalitas. Dekat dan pernah satu atap, menjamin keakraban dan kepercayaan tinggi. Dari kedekatan itu pejabat baru yang diangkat dianggap layak mengisi pos tertentu. Kenal dan dekat yang disertai kesetiaan memungkinkan sistem komando berjalan efektif. Melihat ke pusat, efektivitas pemerintahan kurang berjalan, karena masing-masing pejabat lebih loyal kepada partai daripada kepada presiden atau rakyat.
Masalahnya, apakah loyalitas lebih penting daripada profesionalitas. Kalsel misalnya, sejak 2005 telah diplot sebagai pilot project Good Government (GG). Di antara indikator GG adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih, transparan, profesional, akuntabel, percepatan pembangunan, peka dan responsif terhadap problema masyarakat, dan pelayanan publik yang efisien dan efektif. Ternyata hingga kini (2025) greget GG belum maksimal dan keberhasilannya kurang signifikan.. Sukses GG tentu sangat membutuhkan pejabat publik dengan kompetensi unggul, mencakup kompetensi personal seperti amanah dan jujur, kompetensi professional seperti ahli dan berpengalaman, serta kompetensi sosial berupa komitmen pengabdian masyarakat yang tinggi. Kepentingan publik benar-benar di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Ini tantangan bagi para pejabat tsb. Bahaya nepotisme, karena mengutamakan keluarga atau orang dekat, berakibat orang yang lebih ahli terkesampingkan.
Walau unsur kedekatan penting, rekrutmen pejabat hendaknya lebih mendahulukan profesionalitas. Sejumlah tenaga ahli yang sudah tersedia dapat lebih difungsikan. Disayangkan sekiranya ada SDM yang unggul pengalaman dan keahlian justru kurang fungsional atau menangani bidang yang bukan keahliannya. GG akan terwujud jika didukung zaken cabinet, tanpa ada stigma in group atau out group.