Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pemimpin “Kinclong”

×

Pemimpin “Kinclong”

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid

oleh: Noorhalis Majid

APA yang berubah setelah seorang menjadi pemimpin, baik sebagai kepala daerah wakil kepala daerah atau jabatannya lainnya?

Kalimantan Post

Setelah tidak berapa lama berkuasa menjadi pemimpin, nampak tambah ‘kinclong’. Wajah lebih glowing, sisir rambut semakin licin dan rapi. Baju dan segala aksesorisnya juga licin mengkilap.

Paling tidak perubahan itulah yang nampak oleh mata. Maklum, semua sudah terfasilitasi. Ada uang pakaian, uang vitamin dan kebugaran, uang perawatan, dan segala sarana dan fasilitas yang memungkinkan semakin “kinclong”.

Seandainya yang ‘kinclong’ itu prestasi kerjanya, atau capaian keberhasilannya, pastilah berdampak bagi warga dan membanggakan.

Iya, mestinya yang dibuat mengkilap menjadi kinclong itu adalah kinerja, bukan penampilan. Untuk apa berpenampilan kinclong kalau kinerjanya buruk. Buat apa glowing kalau integritasnya payah. Untuk apa sisir rambut licin mengkilap, kalau komitmennya pada perubahan tidak dapat dibanggakan sedikitpun.

Penting untuk diketahui, warga tidak bangga sedikitpun pada penampilan yang kinclong. Sebaliknya berpotensi memupuk kecemburuan sosial, karena warga juga tahu bahwa segala kekinclongan itu berasal dari fasilitasi uang rakyat.

Apalagi ketika kekinclongan dipamerkan melalui media sosial, semakin nampaklah bahwa pempimpin tersebut tidak peka pada situasi warga yang penghidupannya semakin merosot karena ekonomi yang terus memburuk.

Angka kemiskinan kita di tahun 2025 ini, menurut Bank Dunia sudah mencapai 60,3%, atau setidaknya 171,8 juta jiwa warga hidup dalam kemiskinan. Bahkan di antara jumlah kemiskinan yang 60,3% tersebut, tidak sedikit mengalami kemiskinan ekstrim, yaitu miskin teramat sangat, sehingga pendapatannya tidak mencukupi menutupi kebutuhan pokok.

Kemiskinanan tersebut tentu saja berdampak pada banyak hal, termasuk angka kriminitalitas. Jangan heran, dalam tahun ini banyak sekali berita menyangkut tindak kriminalitas dan kejahatan. Bahkan pembunuhan dan perkelahian yang memakan jiwa, terjadi hampir tiap bulan. belum kriminalitas lainnya, seperti pencurian, penipuan dan segala tipu muslihat berkedok investasi, bagian dari dampak kemiskinan yang menjadikan kehidupan semakin tidak nyaman.

Lantas, di tengah kemiskinan yang begitu massif ini, apa pentingnya pemimpin pamer kekinclongan? Pakai fasiltas dan mobil dinas mewah. Pamer gaya hidup di media sosial. Bukankah kemiskinan tersebut potret dari kerja pemimpin itu sendiri? Tidakkah kemiskinan itu bukti, bahwa pemimpin tidak bekerja?

Baca Juga :  Waspadai Transaksi Rumah di Luar Prosedur Resmi (SOP)

Itu baru soal kemiskinan. Belum lagi urusannya lainnya. Soal pendidikan, pelayanan dan penataan lingkungan. Soal kebersihan, ketertiban dan tata kelola pemerintahan, yang kondisinya juga tidak semakin baik. Antara ada atau tidak ada pemimpin, nampaknya tidak terlalu banyak perubahan. Memberikan makna, pemimpin tidak sungguh-sungguh berkhidmat memperjuangkan perubahan.

Untuk apa sibuk mendandani penampilan diri, sedangkan kinerja yang menjadi amanah dan harapan warga tidak pernah diperbaiki? Apa guna mengendarai mobil dinas mewah, kalau transportasi publik tidak pernah dipikirkan?

Yakinlah, penampilan itu tidak memberi legacy apapun bagi warga, kecuali kecemburuan dan memperlebar jurang kesenjangan. Lebih baik membenahi kinerja dari pada mendandani penampilan, karena kinerja akan diingat sepanjang masa dan memberi dampak bagi perubahan.

Sebaiknya, mulailah meluruskan dan menata niat awal sebelum menjadi pemimpin. Kalau benar tujuannya untuk melakukan perubahan yang lebih baik, maka segera rumuskan masalah-masalah apa yang harus dituntaskan segera. Problem dan persoalan apa yang paling mendasar dan harus segera diselesaikan. Jangan-jangan, bila sudah tahu besar dan kusutnya masalah yang dihadapi, justru tidak ada waktu untuk bersolek dan berdandan. Bila sudah mengerti bahwa tanggung jawab pemimpin tidak sesederhana, sekedar menghadiri acara serimonial, jangan-jangan justru tidak memedulikan lagi apakah penampilan kinclong atau kusut, yang penting masalah tuntas dan kehidupan warga semakin baik.

Mahatma Gandhi, ketika berjuang memerdekakan bangsanya dari penjajahan dan penindasan, yang pertama kali ia lakukan adalah merubah hidupnya menjadi sangat sederhana. Ia bahkan menekankan pentingnya instrospeksi diri, guna mencapai transformasi pribadi yang memberi pengaruh pada perubahan sosial. Kesederhanaan hidupnya tersebut, bagian dari perlawanan kemapanan yang telah menggerus kejujuran dan keadilan.

Gandhi menjalani hidup yang sederhana dan menolak kemewahan. Ia percaya, bahwa kesederhanaan adalah kunci untuk menjaga pikiran dan tubuh tetap bersih, serta menghindari keterikatan pada hal-hal yang bersifat materi. Gandhi mengutamakan kepentingan warga di atas kepentingan pribadi. Ia selalu berusaha melayani dan berjuang untuk kesejahteraan wargas, bukan untuk kesejahteraan diri dan keluarganya.

Baca Juga :  Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

Dengan segala prinsip kesederhanaan tersebut, Gandhi berhasil menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia untuk memperjuangkan keadilan, kebebasan dan perdamaian. Tentu saja kesederhanaan Gandhi sangat relevan di tengah pemimpin yang mengandalkan ‘kekinclongan’ penampilan diri. Kampanye Gandhi untuk menggunakan khadi (kain tenun tangan), sebagai simbol kemandirian ekonomi dan penolakan terhadap produk impor, sebuah isyarat tentang pentingnya seorang pemimpin menciptakan pasar dan membangun budaya bagi tumbuh dan berkembangnya produk-produk lokal.

Kesederhanaan pemimpin, adalah wujud nyata kepedulian kepada nasib warga, bahwa pemimpin adalah refresentasi dari warga itu sendiri. pemimpin, bukanlah orang asing di tengah warga. Melainkan bagian dari diri warga itu sendiri, sehingga semestinya penampilannya tidak jauh berbeda dengan warganya.

Bahkan, pemimpin dituntut untuk sederhana dan zuhud, menjauhi kemewahan, karena kemewahan sangat dekat dengan prilaku korupsi. Terhadap prilaku pemimpin yang zuhud ini, Umar Bin Khattab tentu saja menjadi contoh teladan yang dapat ditiru. Prilakunya sangat transparan dan akuntabel, sehingga tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dianggap memperkaya diri sendiri dan keluarga. Hidupnya sangat sederhana, bahkan lebih sederhana dari warganya yang paling miskin.

Tahun 1960, ketika ibu Inggit Garnasih sakit, Bung Karno menjenguk beliau. Saat bertemu itu, ibu Inggit, menyampaikan satu kalimat pendek dalam bahasa Sunda yang sangat luar biasa, kira-kira artinya begini, ‘Kus (Kusno, panggilan akrab Sukarno), baju kamu bagus, jangan lupa, baju ini dibeli dari uang rakyat’. Kalimat pendek yang lebih tepat sebagai nasehat tersebut, disampaikan oleh orang yang sangat memahami Sukarno. Tentu nasehat itu relevan bagi siapa saja yang sedang berkuasa, sedang duduk jadi pemimpin. Bahwa segala kemewahan, fasilitas, sarana prasarana jabatan yang sekarang dinikmati, jangan lupa semuanya itu berasal dari uang rakyat. (nm)

Iklan
Iklan