Oleh : Nida Ariyatni, ST
Pemerhati sosial politik
Iran melakukan perlawanan terhadap entitas Yahudi, walaupun jika dicermati perlawanan itu dilakukan. Setelah entitas Yahudi melancarkan operasi Rising Lion dan menargetkan lebih dari 100 target strategis Iran. Iran membalas dengan melancarkan Operation True Promise ke wilayah Yahudi pada malam yang sama dan berlanjut keesokan harinya. Hingga 20 Juni 2025, sekitar 400 rudal balistik dan drone diarahkan ke kota-kota besar Yahudi, menyebabkan 24 korban tewas dan ratusan luka-luka.
Kemampuan Membalas
Perlawanan balik yang dilakukan Iran cukup mengguncang Entitas Yahudi, memberikan secercah harapan bahwa umat Islam mampu melakukan perlawanan terhadap Entitas Yahudi sebagai penjajah. Di tengah penderitaan rakyat Palestina akibat genosida yang dilakukan Entitas Yahudi, aksi Iran muncul sebagai simbol bahwa umat Islam bisa melawan. Apa yang dilakukan Iran seharusnya menjadi dorongan bagi seluruh umat bahwa kemampuan membalas itu ada.
Perlawanan yang dilakukan Iran, seharusnya menjadi dorongan bagi penguasa Muslim lainnya untuk bersikap tegas terhadap entitas Yahudi ini. Apalagi pesawat tempur Entitas Yahudi melintasi wilayah udara negeri kaum muslim, seperti Suriah, Irak, Mesir, dan Turki, para penguasanya hanya menjadi penonton tanpa pergerakan.
Pesawat-pesawat itu melintas di wilayah udara mereka, menghancurkan dan melakukan pembunuhan di Iran, lalu kembali ke wilayah yang diduduki dalam kondisi aman dan selamat. Tidak ada satu pun tembakan dari penguasa itu yang dilepaskan ke pesawat-pesawat tersebut.
Tidak Boleh Lupa
Sejatinya, negara yang enggan masuk dalam konfrontasi melawan Entitas Yahudi demi mengamankan posisi akan membayar mahal. Yahudi yang menyerang Iran, sebelumnya sudah menyerang Gaza, Lebanon, dan melakukan penangkapan di Suriah. Ini menunjukkan bahwa Yahudi tidak akan pernah berhenti menyerang wilayah Islam kecuali jika umat dan tentara Islam bisa mengakhiri eksistensinya.
Para penguasa negeri muslim seharusnya tidak lupa ingatan bahwa mereka adalah umat yang satu. Selama ratusan tahun sejak Islam menguasai Jazirah Arab dan Mesir, wilayah itu bersatu di bawah kekuasaan Khilafah Islam hingga keruntuhannya pada 1924.
Akibat Nasionalisme
Perang Dunia I telah melepaskan Timur Tengah dari kekhalifahan, lalu berdiri negara bangsa atas dasar nasionalisme. Nasionalisme inilah yang menyebabkan kaum muslim merasa lebih terikat kepada bangsanya masing-masing daripada Islam.
Mereka rela keyakinan agamanya dikorbankan demi keutuhan bangsanya. Mereka juga merasa lebih bersaudara dengan sebangsanya daripada dengan yang seakidah. Serangan entitas Yahudi ke Palestina dan Iran akan dirasakan sebagai persoalan bangsa Palestina dan Iran saja, bukan persoalan kaum muslim. Mereka lebih peka terhadap persoalan yang akan “mengancam bangsanya” daripada mengancam umat Islam.
Nasionalisme pula yang menyebabkan Iran membatasi skala perang dengan Yahudi. Karena secara internal, ekonomi Iran sedang terpuruk karena inflasi tinggi, menurunnya nilai tukar rial, ekspor minyak turun, juga krisis energi yang menyebabkan pemadaman listrik harian dan kelangkaan bahan bakar.
Terlihat jelas bahwa nasionalisme adalah racun yang menggerogoti persatuan kaum muslim. Nasionalisme ini pula yang membuat kaum muslim senantiasa tersandung ketika hendak bangkit kembali untuk menghilangkan penjajahan dan meraih predikatnya sebagai umat terbaik. Nasionalisme juga menjadikan batas teritorial seolah-olah lebih sakral daripada ikatan akidah, padahal Islam menyerukan persatuan, bukan untuk bercerai-berai.
Menyatukan Kekuatan
Seharusnya umat Islam membangun kekuatan militer dan senjata canggihnya seperti nuklir, karena umat Islam dibebani kewajiban untuk menjadikan negaranya sebagai negara terkuat. Sebagaimana firman Allah Taala dalam Al-Qur’an surah Al-Anfal ayat 60 yang artinya, “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya.”
Syaratnya, Umat Harus Bersatu Dalam Satu Kepemimpinan Di Atas Ikatan Akidah Islam
Persatuan umat Islam sangat dibutuhkan agar bisa menyatukan kekuatan untuk menghadapi kekuatan besar Amerika Serikat yang menjadi pelindung Yahudi. Karena jika Iran, sendirian, telah mematahkan mitos superioritas militer Israel. Maka bayangkan jika bukan hanya Iran, tapi Mesir, Suriah, Turki, Pakistan, dan negara-negara Islam lainnya bertindak bersama—apakah Israel bisa bertahan?
Persatuan itu haruslah dipimpin oleh seorang pemimpin yang bisa menyatukan rakyat dengan ideologi yang benar yaitu Islam, masyarakat cinta pada pemimpin tersebut, dan pemimpin itu mengelola masyarakat dengan visi dan misi yang benar. Dialah khalifah yang akan memimpin hanya dengan Islam.
Membebaskan Palestina
Masalah Palestina tidak akan selesai jika umat Islam tidak bersatu dan bangkit mendobrak sekat-sekat geografis bernama nasionalisme yang selama ini membelenggu kaki dan tangan mereka. Umat harus menyadari bahwa mereka saat ini mereka terjajah secara pemikiran,
sehingga tidak bisa untuk menggagas solusi tuntas atas pendudukan entitas Yahudi di Palestina.
Umat harus disadarkan hal ini secara terus-menerus sehingga terbentuk kesadaran kolektif di tengah-tengah umat. Selanjutnya, umat bersama-sama berjuang untuk menegakkan institusi Khilafah yang secara nyata akan memberi solusi hakiki untuk membebaskan Palestina.
Dengan tegaknya institusi ini, khalifah akan memobilisasi pasukan militer kaum muslim, dan mengarahkan tank-tank tangguh umat Islam pada entitas Yahudi melalui seruan jihad fii sabilillah. Sungguh kebutuhan umat atas institusi Khilafah adalah perkara penting dan mendasar untuk memerdekan negeri-negeri muslim dari segala bentuk penjajahan kaum kafir.