Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sistem Kapitalisme Setengah Hati Mensejahterakan Guru?

×

Sistem Kapitalisme Setengah Hati Mensejahterakan Guru?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Kondisi pendidikan di negeri ini kembali disorot. Pencoretan tunjangan tugas tambahan (Tuta) guru dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Banten 2025 mendorong protes keras dari para guru. Penghapusan diketahui setelah tuta yang ditunggu-tunggu guru tidak kunjung cair. Guru di Banten melayangkan surat ke dewan dan melaksanakan aksi demo (media banten. com, 03/07/2025). Terungkap bahwa penghapusan dilakukan karena efisiensi anggaran.

Kalimantan Post

Protes guru sangat bisa dimaklumi. Guru juga bagian dari rakyat yang terimbas dengan kondisi ekonomi hari ini. Dengan besaran penghasilan yang ada, mereka juga jauh dari sejahtera, apatah lagi jika penghasilan dipotong. Tidak jarang guru harus mencari penghasilan tambahan untuk menutupi kebutuhan keluarga. Belum lagi dengan nasib guru yang bukan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kondisi ini tentu tidak layak. Mestinya guru bisa fokus dengan amanah dan tuntutan profesinya. Mengapa sistem kapitalisme sekuler seolah setengah hati terhadap pendidikan dan kesejahteraan guru?

Sekularisme Yang Materialistik

Peran guru sangat penting. Guru tidak tergantikan dalam proses pendidikan. Guru adalah sumber pembelajaran dan mengarahkan belajar. Seorang guru bisa menjadi guru karena dia mumpuni dalam penguasaan ilmu dan metode mempelajarinya. Selain itu guru juga dituntut memiliki kompetensi, kemampuan mentransfer ilmu pada siswa-siswanya. Guru harus memiliki keterampilan komunikasi, interpersonal dan mampu memanajemen kelas dengan baik. Sarana atau media belajar akan berdaya guna dengan peran dan kreativitas guru. Guru tidak hanya fasilitator tapi jadi sumber belajar, ilmu dan teladan bagi peserta didik.

Namun dalam sistem kapitalisme, guru dianggap pekerja biasa yang diremehkan. Guru hanya dihibur dengan ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa. Penghargaan materi terhadap guru begitu rendah dengan gaji yang tidak mensejahterakan. Gaji guru juga ditentukan oleh status, apakah ASN, PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) atau guru honorer. Padahal beban dan tugas guru saat mengajar tidak mengenal status. Pada guru yang bukan ASN muncul ungkapan: pekerjaan guru sangat serius, tapi gajinya bercanda.

Baca Juga :  Indonesia Merdeka, Sudahkah Dirasakan Rakyat?

Lebih parah lagi, pemerintah juga mengalihkan sebagian besar penyelenggaraan pendidikan pada swasta. Gaji guru di sekolah-sekolah swasta dibayar oleh murid, dan nominalnya tergantung derajat sekolah, apakah sekolah swasta kaya atau sekolah swasta miskin.

Sistem kapitalisme sekuler memang tidak menghargai ilmu dan pendidikan. Sekulerisme hanya mengakui nilai materi. Ilmupun dinilai dari sisi apakah dia menghantarkan pada nilai materi atau tidak. Pendidikan pun dikendalikan oleh tuntutan ekonomi, seberapa besar lulusan yang bisa diserap pasar kerja. Padahal sebagian besar ilmu tidak mewujudkan nilai materi, karena hanya mengisi akal manusia dengan pemahaman dan kesadaran serta menuntun perilakunya.

Sehingga tidak aneh, penyelenggaraan pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar dan dianggap investasi masing-masing orang. Negara setengah hati dalam investasi pendidikan dan mengalihkan tanggungjawab pendidikan pada swasta. Pendidikan berkualitas menjadi kebutuhan yang semakin mahal. Guru menjadi korban kapitalisasi dan orientasi untung rugi.

Sangat berbeda dengan Islam sebagai agama sekaligus sistem kehidupan. Islam sangat menghargai ilmu. Berulang-ulang ayat Al Qur’an menunjukkan kemuliaan manusia karena mendayagunakan akalnya. Ilmu juga menjadi pembeda manusia, yaitu mewujudkan setiap insan abdullah, hamba Allah sekaligus khalifatullah fil ardhi, wakil Allah di muka bumi. Dengan ilmu baik Tsaqofah, ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu kehidupan, manusia mampu memakmurkan bumi, mendayagunakan nikmat Allah dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi.

Karenanya proses pendidikan untuk memperoleh ilmu menjadi kewajiban individual sekaligus kebutuhan asasi per orangan. Lebih dari itu, pendidikan juga adalah salah satu sarana publik (marafiq jamaah) yang harus dipenuhi negara.

Negara sebagai pengurus rakyat harus menyelenggarakan pendidikan. Negara tidak boleh mengalihkan tanggungjawab kepada swasta, meskipun tidak menutup pintu dari bantuan rakyat seperti berupa infaq dan waqaf. Penyelenggaraan pendidikan didanai dari baitul mal dari pos kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Baca Juga :  Tim Percepatan Penurunan Stunting Direvisi

Guru sebagai bagian dari rakyat yang sudah sejahtera tetap digaji layak oleh negara. Sistem ekonomi Islam menjamin terjadinya distribusi harta secara merata di tengah-tengah rakyat. Ini untuk memastikan agar tiap individu rakyat bisa hidup sejahtera karena sudah terpenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandang, pangan, dan papan.

Guru dihargai baik secara non materi, yaitu dengan penghormatan dan pemuliaan sekaligus dengan gaji dan tunjangan yang layak. Sebagai gambaran pada masa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas). Bila saat ini harga per gram emas Rp1,5 juta, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp95.625.000. Begitu pun masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya, yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru berkisar antara 11—40 dinar. Artinya, apabila dikurs dengan nilai saat ini, gaji guru adalah Rp70- 255 juta. Pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid, guru diberikan gaji tahunan mencapai 2.000 dinar. Jika dihitung, dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, maka gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun.

Demikian gambaran kesejahteraan guru pada masa peradaban Islam. Para guru dan ulama benar-benar dimuliakan dan dihargai jasa-jasanya, bahkan diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa seutuhnya. Sungguh, Islam kaffah dalam naungan Khilafah akan menyejahterakan guru dan mencetak generasi yang unggul dan mulia. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan