(Aura Farming dari Sungai Kuantan ke sirkuit Sachsenring)
Oleh : Ikhsan Alhaque *)
SIAPA yang mengira, tarian seorang bocah di atas perahu, di sungai kecil Riau, kelak akan menari pula di panggung sirkuit MotoGP? Seolah dunia tiba-tiba terasa sempit, ketika budaya lokal melompat melintasi benua, hanya lewat satu gerak tubuh penuh sukacita.
Namanya Rayyan Arkandika. Bocah lincah dari Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, yang viral berkat goyangan tubuhnya saat berdiri di atas perahu, di tengah derasnya lomba pacu jalur tradisi balap perahu yang digelar tiap tahun, memecah riak Sungai Kuantan. Tubuh Rayyan bergerak seirama ritme dayung. Tangan memutar lincah, kaki menghentak lembut, seolah menyalakan semangat regu pendayungnya.
Video Rayyan, yang dikenal sebagai Aura Farming, hanya berdurasi belasan detik. Namun dalam dunia yang haus konten visual, detik-detik singkat itu cukup menjadi petir budaya. Sejak pertama viral di platform seperti TikTok, tarian Aura Farming telah meraih jutaan penonton. Data TikTok Indonesia mencatat, video dengan tagar #AuraFarming pernah menembus lebih dari 10 juta tayangan hanya dalam beberapa pekan sejak kemunculannya pada 2024.
Tarian di Garis Finis
Momen itu mencapai puncak monumental pada hari Minggu, 13 Juli 2025, ketika Marc Márquez, pembalap Ducati, melintasi garis finis di Sachsenring, Jerman, sebagai juara. Saya sendiri menyaksikannya melalui salah satu program TV berbayar, terpukau melihat bagaimana Márquez berdiri di atas motornya, lalu dengan penuh percaya diri menirukan gerakan lincah Aura Farming. Di tribun, decak kagum dan gelak tawa bergema, mencipta paduan rasa yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh Rayyan Arkandika saat ia pertama kali menari di atas perahu kecil di Sungai Kuantan.
Namun selebrasi Márquez bukan sekadar luapan kemenangan. Ia menjadi simbol betapa budaya lokal Indonesia, yang lahir dari riak sungai dan deru pacu jalur, kini mampu melompat ke panggung dunia balap MotoGP. Inilah bukti bahwa kekuatan budaya tak melulu dibangun dengan panggung megah atau promosi mahal. Kadang, cukup satu anak, satu tarian tulus, dan satu dunia digital yang haus akan keunikan. Dan di sanalah, Aura Farming berdiri sebagai saksi, bahwa Indonesia punya cerita yang sanggup menari di garis finis dunia.
Jejak Budaya di Lintasan Dunia
Fenomena ini bukan hanya soal viralitas. Aura Farming adalah cermin kekuatan marketing budaya. Dalam era digital, konten otentik menjadi senjata paling ampuh. Tidak perlu skenario mahal, cukup sepotong kejujuran, energi, dan keunikan. Lembaga Indonesia Trend Watcher mencatat, tren budaya lokal yang viral rata-rata mengalami peningkatan pencarian daring hingga 180 persen setelah viral di platform digital. Aura Farming menjadi bukti nyata: budaya lokal sanggup menyeberang benua, hanya dengan sekali goyangan.
Bagi Indonesia, fenomena ini adalah pintu diplomasi budaya. Dunia kini mengenal Riau bukan hanya lewat peta, tetapi lewat tarian bocah di atas perahu. Sebuah soft power yang murah, tetapi sangat bernilai. Bayangkan, jika pemerintah daerah, kementerian kebudayaan, atau pelaku industri kreatif segera menangkap peluang ini:
- Menjadikan Aura Farming sebagai ikon budaya Riau,
- Mengemasnya dalam festival budaya,
- Bahkan mempromosikannya sebagai bagian daya tarik pariwisata nasional.
Dunia digital tak mengenal batas. Hal-hal kecil dari kampung bisa mengguncang panggung dunia. Mungkin hari ini hanya Rayyan dan tarian kecilnya. Tetapi siapa tahu, esok lusa, budaya-budaya lain pun akan menari di panggung yang sama.
Karena sesungguhnya, tak ada budaya yang terlalu kecil untuk dicatat sejarah. Dan barangkali, kelak orang akan selalu ingat, bahwa di antara deru balap motor dunia, ada tarian seorang bocah Riau yang ikut berdansa di atas Ducati Desmosedici 2025.
*) Ikhsan Alhaque merupakan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banjarmasin
Ikhsan Alhaque (Kalimantanpost.com/Repro pribadi)