Penulis:
Dr. Didi Susanto, S.Sos., M.I.Kom., M.Pd
Dosen Magister Administrasi Pendidikan Fakultas Pascasarjana UNISKA MAB Banjarmasin
Wakil Rektor 3 Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin
Dr. Rico, S.Pd., M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNISKA MAB Banjarmasin
Nurmiati, S.Pd., M.Pd
Dosen Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNISKA MAB Banjarmasin
Ketahanan Mental Remaja, Isu Mendesak di Era Digital
Di tengah arus percepatan digital dan transformasi sosial yang semakin deras, remaja Indonesia kini menghadapi tantangan yang tidak hanya bersifat akademik dan ekonomi, tetapi juga psikologis dan emosional. Salah satu isu yang semakin mencuat dalam satu dekade terakhir adalah kesehatan mental remaja, yang menjadi semakin kompleks akibat kemajuan teknologi, tekanan sosial, dan keterputusan relasi antarpribadi yang mendalam. Banyak pihak sering kali menganggap persoalan mental sebagai hal yang abstrak, namun dampaknya nyata: dari turunnya produktivitas belajar, konflik keluarga, hingga meningkatnya kecenderungan menyakiti diri sendiri.
Berdasarkan laporan World Health Organization (2022), sekitar 13% remaja di dunia mengalami gangguan mental. Angka ini semakin mengkhawatirkan karena sekitar 50% dari gangguan mental yang serius mulai muncul pada usia 14 tahun dan sering kali tidak tertangani dengan tepat. Di Indonesia sendiri, Survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 juga menunjukkan bahwa 34.9% remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Masalah ini bersifat nasional, namun menjadi lebih parah ketika terjadi di wilayah pedesaan yang masih terbatas akses informasi, layanan psikososial, dan masih kuatnya stigma sosial.
Salah satu wilayah yang mencerminkan tantangan ini adalah Desa Semangat Dalam, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Desa ini menjadi lokasi kegiatan pengabdian masyarakat oleh tim dosen dari Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin. Di lapangan, kami menemukan berbagai problematika khas remaja yang tampaknya sederhana tetapi menyimpan dampak psikologis yang serius: tekanan akademik, pengaruh media sosial, ekspektasi keluarga, hingga minimnya ruang aman untuk berekspresi.
Perubahan sosial yang cepat akibat digitalisasi telah menciptakan situasi yang paradoksal. Di satu sisi, remaja memiliki akses informasi yang lebih luas, tetapi di sisi lain mereka terisolasi secara emosional. Remaja sering kali merasa harus “tampil sempurna” di media sosial, membandingkan kehidupannya dengan orang lain, dan mengalami fenomena “fear of missing out” (FOMO). Hal ini menyebabkan perasaan cemas kronis dan ketidakpuasan diri, sebagaimana ditegaskan oleh Nesi (2022) dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa tingginya paparan terhadap media sosial berkorelasi dengan rendahnya tingkat kebahagiaan dan harga diri pada remaja.
Tak kalah penting, kurangnya literasi kesehatan mental di lingkungan keluarga dan sekolah membuat permasalahan ini tidak tertangani secara dini. Dalam banyak kasus, remaja yang menunjukkan tanda-tanda stres atau depresi justru dianggap “lemah”, “manja”, atau “tidak bersyukur”, alih-alih diberi ruang untuk bicara atau mendapat pendampingan. Stigma terhadap gangguan mental masih menjadi penghalang utama dalam proses pemulihan psikologis, khususnya di masyarakat pedesaan. Hal ini sejalan dengan temuan Patel et al. (2020) yang menyebutkan bahwa di negara-negara berkembang, kurangnya dukungan sosial dan persepsi negatif terhadap gangguan mental menjadi hambatan utama bagi anak muda untuk mencari bantuan.
Dalam konteks ini, maka penting bagi kampus dan lembaga pendidikan untuk tidak hanya berpangku tangan. Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek pengabdian kepada masyarakat, harus menjadi instrumen nyata dalam merespons masalah ini. Bukan hanya untuk memenuhi kewajiban administratif, tetapi sebagai wujud tanggung jawab moral dan sosial kampus terhadap lingkungan sekitarnya. Sebagaimana yang dicita-citakan dalam visi UNISKA, bahwa universitas harus “unggul dalam penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, berlandaskan nilai-nilai keislaman serta berstandar internasional.”
Melalui pemetaan awal ini, kita bisa melihat bahwa krisis kesehatan mental remaja di pedesaan adalah nyata dan mendesak, serta membutuhkan pendekatan yang kontekstual, holistik, dan kolaboratif. Maka, kegiatan pengabdian yang kami lakukan bukan hanya menawarkan edukasi semata, melainkan membangun sistem sosial dan kultural yang mampu menjadi pelindung dan penguat remaja dalam menghadapi tantangan psikologis mereka.
Solusi Kontekstual – Edukasi Mental Berbasis Budaya Lokal Lewat Program PKM UNISKA
Menghadapi kompleksitas masalah kesehatan mental remaja di era digital, pendekatan generik tentu tidak cukup. Dibutuhkan solusi yang bersifat kontekstual dan membumi, yang mampu menjawab tantangan secara relevan dengan realitas lokal masyarakat. Hal inilah yang menjadi landasan kami dalam menyusun dan melaksanakan program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari di Desa Semangat Dalam, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala. Kami memutuskan untuk mengangkat nilai budaya lokal “Waja Sampai Kaputing” sebagai fondasi sosioedukasi kesehatan mental yang adaptif dan aplikatif bagi remaja.
Dalam khasanah masyarakat Banjar, “Waja Sampai Kaputing” bukan sekadar semboyan, melainkan cerminan karakter hidup yang kuat dan teguh dalam menghadapi tantangan. Nilai ini sangat relevan dalam membangun resiliensi psikologis remaja yang sedang berhadapan dengan tekanan sosial, akademik, dan digital. Pendekatan berbasis budaya semacam ini juga terbukti efektif dalam konteks global. Penelitian Ungar (2021) menegaskan bahwa intervensi berbasis nilai lokal mampu meningkatkan daya lenting mental karena masyarakat merasa terhubung secara emosional dan identitas terhadap pesan yang disampaikan.
Program ini dilaksanakan dalam tiga tahap utama: persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pada tahap persiapan, kami melakukan pemetaan persoalan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terfokus dengan remaja, orang tua, guru, dan tokoh masyarakat. Kami mendapati bahwa tekanan akibat tuntutan akademik, pengaruh media sosial, hingga ekspektasi keluarga menjadi pemicu utama kecemasan dan stres pada remaja. Namun, pemahaman mereka tentang kesehatan mental masih sangat rendah, dan minim ruang untuk mengekspresikan emosi secara sehat.
Berangkat dari temuan tersebut, pelaksanaan program kami fokus pada tiga pendekatan utama:
- Pelatihan Literasi Kesehatan Mental bagi remaja dan orang tua, untuk memperkenalkan konsep dasar gangguan mental, cara mengenali gejalanya, dan strategi pengelolaan stres. Sesi ini dirancang interaktif melalui simulasi kasus dan diskusi reflektif.
- Pembentukan Komunitas Dukungan Remaja, yakni ruang aman dan informal di mana remaja dapat berbagi cerita, saling menguatkan, serta mendapatkan bimbingan dari fasilitator yang terdiri dari dosen, guru, dan tokoh masyarakat.
- Integrasi Nilai Waja Sampai Kaputing dalam materi dan metode pelatihan, termasuk melalui penggunaan narasi-narasi lokal, kisah-kisah inspiratif dari masyarakat setempat, serta pembiasaan dialog reflektif yang menanamkan nilai ketangguhan.
Program ini juga melibatkan guru dan tokoh masyarakat sebagai fasilitator transformatif. Mereka diberi pelatihan dasar mengenai komunikasi empatik, pengenalan masalah psikososial remaja, serta cara menjadi rujukan yang aman dan suportif. Sekolah pun tidak lagi hanya menjadi tempat belajar akademik, tetapi ditumbuhkan menjadi ruang kolaboratif yang mendukung kesejahteraan psikologis siswa.
Yang menjadikan program ini berbeda adalah sinergi antara kampus, masyarakat, dan kearifan lokal. Kampus tidak datang sebagai “pemberi solusi dari luar,” tetapi hadir sebagai mitra masyarakat. Kami tidak memaksakan pendekatan modern yang asing, melainkan menyelaraskan edukasi ilmiah dengan bahasa dan nilai yang hidup dalam komunitas. Inilah esensi dari pengabdian yang berdampak: menyatu dengan realitas, memberi makna, dan membangun daya tahan dari dalam.
Dengan pendekatan ini, PKM UNISKA tidak hanya menghasilkan luaran administratif, tetapi menghadirkan proses transformatif yang nyata. Ketika edukasi disampaikan dalam bahasa budaya, maka dampaknya lebih dari sekadar pemahaman—ia menjadi bagian dari cara hidup yang baru, lebih sehat, dan lebih kuat.
Dampak Nyata di Lapangan – Bukan Sekadar Program, Ini Gerakan Sosial
Program pengabdian kepada masyarakat yang kami laksanakan di Desa Semangat Dalam bukan hanya tentang menyelenggarakan pelatihan atau membagikan modul edukatif. Ia adalah bagian dari gerakan sosial yang lebih besar—gerakan yang berangkat dari kegelisahan masyarakat terhadap kondisi mental remaja yang semakin mengkhawatirkan, lalu berkembang menjadi ruang belajar bersama yang penuh empati, refleksi, dan transformasi.
Dalam pelaksanaan program, kami menyaksikan perubahan-perubahan kecil namun sangat berarti. Di awal kegiatan, banyak remaja yang bersikap tertutup dan menunjukkan ekspresi enggan berbagi pengalaman pribadi. Mereka datang karena diarahkan oleh guru atau orang tua. Namun seiring berjalannya waktu, terutama setelah sesi-sesi diskusi kelompok dan mentoring berlangsung, remaja mulai menunjukkan keterbukaan dan rasa percaya diri untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
Salah satu momen paling berkesan terjadi ketika seorang peserta mengungkapkan bahwa selama ini ia merasa cemas dan sering menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tuanya. Setelah sesi pelatihan literasi kesehatan mental dan kegiatan reflektif berbasis nilai Waja Sampai Kaputing, remaja tersebut menyadari bahwa perasaan cemas bukan kelemahan, melainkan sinyal yang perlu dikenali dan dikelola. Ia bahkan menyampaikan terima kasih karena untuk pertama kalinya merasa didengarkan tanpa dihakimi.
Perubahan juga terjadi di kalangan orang tua. Beberapa ibu mengakui bahwa mereka baru memahami bahwa anak-anak mereka juga mengalami tekanan emosional yang tidak selalu tampak di permukaan. Mereka mulai mengubah cara berkomunikasi di rumah, dari semula hanya menekankan prestasi, menjadi lebih terbuka untuk mendengarkan cerita harian anak-anak mereka. Salah satu peserta pelatihan menyatakan, “Ternyata anak saya cuma ingin didengar, bukan hanya disuruh belajar.” Kalimat sederhana, tetapi mencerminkan perubahan paradigma yang luar biasa.
Di tingkat komunitas, tokoh masyarakat dan guru mulai aktif mempromosikan pentingnya lingkungan sosial yang suportif terhadap remaja. Sekolah-sekolah yang terlibat dalam kegiatan ini mulai membuka ruang-ruang diskusi terbuka yang aman, termasuk membuat program “curhat sehat” dan menyisipkan topik kesehatan mental dalam kegiatan keagamaan dan keorganisasian remaja.
Efek dari program ini juga memperlihatkan prinsip yang ditegaskan oleh Eccles & Roeser (2021) bahwa remaja yang tumbuh dalam lingkungan yang responsif dan penuh dukungan cenderung memiliki ketahanan psikologis yang lebih baik dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih tenang. Dampak seperti inilah yang kami sebut sebagai dampak sosial berkelanjutan, yang tidak berhenti pada selesainya kegiatan, tetapi terus tumbuh di dalam masyarakat.
Bagi kami di UNISKA, kegiatan ini bukan sekadar memenuhi kewajiban Tri Dharma. Ia menjadi bentuk nyata dari visi universitas untuk menjadi kampus yang unggul dan berdampak, berlandaskan nilai keislaman dan berstandar internasional. Kami hadir untuk membuka ruang kesadaran bahwa penguatan mental remaja adalah tanggung jawab bersama, dan budaya lokal adalah kekuatan besar yang dapat diangkat untuk menjawab persoalan modern.
Yang paling membahagiakan dari program ini bukan hanya output administratif, tetapi ketika masyarakat berkata, “Terima kasih karena sudah datang dan benar-benar peduli.” Ungkapan itu menjadi pengingat bahwa pengabdian bukan soal proyek jangka pendek, melainkan gerakan hati yang menyentuh dan menyala di tengah masyarakat.
UNISKA dan Jargon Kampus Berdampak – Ilmu yang Menyapa Masyarakat
Di tengah dorongan nasional yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan jargon “Kampus Berdampak”, setiap perguruan tinggi ditantang untuk membuktikan bahwa aktivitas akademiknya tidak hanya berhenti di ruang kelas dan jurnal ilmiah, tetapi harus menyentuh kehidupan nyata masyarakat. Bagi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin, pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar pelengkap Tri Dharma, tetapi merupakan manifestasi langsung dari visi kampus: menjadi perguruan tinggi yang unggul dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, berlandaskan nilai-nilai keislaman, serta berstandar internasional.
Program PKM kami di Desa Semangat Dalam adalah salah satu bentuk konkret dari pengejawantahan visi tersebut. Melalui pendekatan sosioedukasi berbasis nilai lokal, UNISKA hadir dengan format pengabdian yang kontekstual, membumi, dan berakar kuat pada budaya masyarakat. Kehadiran kami bukan untuk “mengajari” masyarakat dari posisi menara gading, melainkan untuk berdialog, mendengarkan, dan membangun solusi bersama. Cara kerja seperti ini sejalan dengan pendekatan transformatif yang menjadi semangat dari konsep kampus berdampak.
Sebagai kampus Islam yang mengedepankan nilai rahmatan lil ‘alamin, pengabdian kami juga menanamkan prinsip kasih sayang, empati, dan keadilan sosial. Dalam setiap sesi diskusi bersama remaja dan orang tua, kami tidak hanya menyampaikan materi, tetapi membangun kesadaran bahwa setiap individu layak didengar dan dihargai emosinya. Ini adalah pelaksanaan nilai-nilai keislaman yang subtantif—bukan hanya ritualistik, tetapi hadir dalam wujud kepedulian terhadap sesama dan upaya membangun masyarakat yang lebih sehat secara mental dan sosial.
Melalui program ini, UNISKA memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan dan budaya lokal tidak perlu dipertentangkan. Justru dalam kolaborasi antara keduanya lahirlah model pengabdian yang kontekstual dan berkelanjutan. Nilai Waja Sampai Kaputing yang kami angkat dalam edukasi kesehatan mental bukan sekadar ornamen budaya, tetapi kami transformasikan menjadi fondasi konseptual dan metodologis dalam pelatihan, mentoring, dan pembentukan komunitas remaja. Dalam konteks ini, UNISKA tidak hanya membangun kampus unggul secara akademik, tetapi juga menghidupkan kembali makna dan fungsi pendidikan tinggi sebagai agen perubahan sosial.
Lebih jauh, kegiatan ini juga menjadi media promosi akademik yang elegan dan berbasis nilai. Ketika kampus hadir dengan solusi yang nyata, masyarakat akan melihat universitas bukan lagi sebagai institusi elitis, melainkan sebagai teman tumbuh dan mitra strategis dalam menghadapi persoalan sehari-hari. Ini penting dalam era di mana kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan tinggi semakin dipertaruhkan. UNISKA ingin menegaskan bahwa pendidikan tinggi tidak harus rumit atau jauh dari rakyat, justru ia harus mampu menyapa masyarakat dengan bahasa yang mereka pahami dan nilai-nilai yang mereka hayati.
Sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, “Education must begin with the solution of the teacher-student contradiction, by reconciling the poles of the contradiction so that both are simultaneously teachers and students.” Dalam semangat itu, kami tidak datang untuk menggurui, melainkan untuk tumbuh bersama masyarakat—belajar, berbagi, dan berdaya.
Program ini mungkin hanya satu bagian kecil dari upaya panjang membangun masyarakat Kalimantan Selatan yang tangguh secara mental. Namun kami yakin, dampaknya tidak kecil, sebab ia lahir dari hati, berjalan dalam kolaborasi, dan ditopang oleh nilai budaya serta nilai keislaman. Inilah wajah UNISKA sebagai kampus berdampak—kampus yang hadir, bukan sekadar ada.
Dari Budaya, Kita Pulihkan Masa Depan
Dalam berbagai diskusi dan kegiatan lapangan yang kami lakukan bersama remaja dan masyarakat Desa Semangat Dalam, satu pelajaran besar yang kami dapatkan adalah bahwa pemulihan kesehatan mental bukanlah proses instan. Ia memerlukan ruang yang aman, pendekatan yang sesuai dengan konteks hidup, dan—yang tak kalah penting—pengakuan terhadap nilai-nilai lokal sebagai bagian dari solusi. Di sinilah filosofi Waja Sampai Kaputing menjadi sangat berarti. Bukan sebagai slogan kosong, tetapi sebagai sumber kekuatan yang hidup, yang menuntun remaja untuk bertahan dan tumbuh di tengah tekanan zaman.
Dalam masyarakat kita, sering kali terjadi kesenjangan antara pendekatan ilmiah modern dan kearifan lokal. Padahal, keduanya tidak saling bertentangan, bahkan bisa saling memperkuat. Program PKM yang kami laksanakan membuktikan hal tersebut. Ketika literasi kesehatan mental dikemas dalam bahasa yang familiar, dengan nilai-nilai yang mereka kenal sejak kecil, maka remaja dan orang tua tidak lagi merasa terasing dari konsep “psikologi”. Mereka merasa diajak, bukan diceramahi; diberdayakan, bukan dinasihati. Dan dari sanalah muncul proses pemulihan sosial dan emosional yang otentik.
Kami juga belajar bahwa menyentuh satu remaja secara emosional, bisa berarti menyentuh satu keluarga, satu komunitas, bahkan satu ekosistem nilai sosial. Ketika satu remaja mulai berani mengungkapkan perasaannya, ia menjadi inspirasi bagi teman-temannya. Ketika satu orang tua mulai mendengarkan anaknya dengan lebih empatik, ia sedang mengubah pola komunikasi dalam rumah tangga. Dan ketika satu tokoh masyarakat ikut mendukung gerakan ini, ia menjadi pemicu bagi perubahan sikap kolektif terhadap isu yang selama ini dianggap tabu.
Pengabdian yang kami lakukan ini memang sederhana dalam skala, tetapi besar dalam makna. Ia menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan jika disampaikan dengan bahasa budaya dan kasih sayang, akan lebih mudah diterima dan ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, bahwa “Development is not only about increasing income, but also about expanding the freedoms and capabilities of people to lead the lives they value.” Dalam konteks ini, kesehatan mental adalah bagian dari kebebasan hidup yang bernilai—bebas dari ketakutan, stigma, dan tekanan yang tidak perlu.
UNISKA sebagai kampus Islam di Kalimantan Selatan memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk menjadikan pengabdian kepada masyarakat sebagai ruang transformasi. Kami tidak hanya mengajarkan teori, tetapi turut hadir dalam denyut nadi masyarakat, memahami kegelisahannya, dan bersama-sama mencari jalan keluarnya. Kampus berdampak bukan hanya tentang indikator kuantitatif, tetapi tentang kehadiran yang berarti dan mengubah.
Dan pada akhirnya, ketika kita berbicara tentang masa depan, kita harus mulai dari akar terdalam masyarakat—budaya. Dari budaya, kita membangun identitas. Dari identitas, kita menemukan daya tahan. Dan dari daya tahan itulah, kita bisa memulihkan generasi, membangun ketahanan sosial, dan merancang masa depan yang lebih utuh. Sebab generasi muda yang sehat mentalnya, adalah fondasi dari bangsa yang kuat secara menyeluruh.
Semoga semangat Waja Sampai Kaputing tidak berhenti sebagai frasa lokal, tetapi terus menginspirasi gerakan besar—gerakan untuk memulihkan masa depan dari desa-desa kecil, oleh kampus-kampus besar, untuk Indonesia yang lebih kuat jiwa dan pikirannya.
“Masa depan tidak bisa kita wariskan, tetapi ketangguhan bisa kita tanamkan. Dengan akar budaya yang kuat, seperti semangat Waja Sampai Kaputing, kita membentuk generasi muda yang mampu berdiri ketika dunia berguncang.”
(Susanto, Rico, & Nurmiati, 2025)