Oleh : Nailah, ST
Pemerhati pendidikan
Tingginya jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS)di Kabupaten Banjar yang menembus angka 12.752 anak ternyata bukan semata soal minat belajar. Badan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Kalimantan Selatan mengungkap, ada banyak faktor kompleks yang menyebabkan Banjar menjadi daerah dengan ATS terbanyak se-Kalsel.
Kepala BPMP Kalsel, Yuli Haryanto mengatakan berdasarkan hasil analisis pihaknya, persoalan utama ATS di Banjar adalah keterbatasan akses transportasi dan minimnya jumlah satuan pendidikan, terutama di jenjang lanjutan dan pendidikan khusus seperti SLB (Radar banjarmaain, 30 Juni 2025).
Kesenjangan Nyata
Untuk memberikan pelayanan pendidikan yang merata, pemerintah menjalankan program pendukung, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah, perluasan akses perguruan tinggi negeri, bantuan sosial, penguatan pendidikan vokasi, sekolah gratis, sekolah rakyat, dan sebagainya. Meski demikian, upaya tersebut belum bisa mengatasi kesenjangan dan ketimpangan pendidikan di negeri ini.
Banyak faktor yang memengaruhi munculnya kondisi tersebut, yaitu:
Pertama, keterbatasan akses pendidikan karena kondisi ekonomi. Tidak bisa dimungkiri, kemiskinan merupakan salah satu faktor penghalang bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan.
Kedua, keterbatasan akses pendidikan karena infrastruktur publik yang tidak memadai. Kondisi ini biasanya dialami sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal. Infrastruktur publik yang serba terbatas menjadikan masyarakat kesulitan mengakses fasilitas pendidikan yang jauh dari rumah mereka.
Ketiga, keterbatasan akses pendidikan karena sarana dan fasilitas pendidikan yang tidak layak. Kemendikdasmen beberapa waktu lalu berencana akan merenovasi kurang lebih 10.000 sekolah rusak di seluruh Indonesia.
Sistem Sekuler
Angka putus sekolah, erat kaitannya dengan sistem pendidikan sekuler saat ini. Dalam sistem sekuler kapitalisme, pendidikan dikapitalisasi sehingga tidak heran jika masyarakat menganggap, orang berduit saja yang bisa sekolah.
Sistem pendidikan sekuler kapitalisme ini tidak akan mungkin semua kalangan bisa mengakses pendidikan secara merata meskipun sekadar pendidikan dasar. Jika sulit mengakses pendidikan, sungguh sangat mustahil mewujudkan generasi berkualitas. Sungguh pemerintah telah gagal memenuhi hak rakyatnya.
Jika masalah anak tidak sekolah tidak kunjung terselesaikan, tentu akan memunculkan permasalahan baru, seperti meningkatnya kenakalan remaja, pengangguran, kemiskinan kriminalitas, pelacuran anak hingga perdagangan anak. “Kita bisa membayangkan bagaimana hancurnya generasi penerus jika kebutuhan dasar akan pendidikan tidak terpenuhi.
Menurut UU, pendidikan adalah hak setiap anak bangsa. Namun, faktanya pendidikan hanya menjadi hak bagi anak yang ekonominya baik-baik saja. Kurikulum pendidikan ala kapitalisme menjadikan pendidikan hanya berorientasi menciptakan tenaga kerja buruh murah.
Dahulu Malaysia mengimpor guru dari Indonesia untuk dipekerjakan di sana karena kualitasnya yang luar biasa. Kini yang terserap di Malaysia kebanyakan adalah pekerja rumah tangga. Perbedaan ini menunjukkan bahwa negeri lain bisa berkembang, tetapi Indonesia justru mengalami kemunduran. Ditambah lagi kebijakan efisiensi anggaran yang mengesampingkan pendidikan dengan tidak memasukkannya sebagai anggaran prioritas dalam APBN.
Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Negara harus memastikan bahwa hak ini benar-benar terpenuhi di seluruh penjuru negeri. Sementara itu, infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan adalah kewajiban negara sebagai penyelenggara sehingga negara juga memastikan bahwa di setiap wilayah negeri terdapat sarana dan prasarana yang memadai agar hak pendidikan setiap anak dapat terpenuhi dengan baik.
Negara di dalam Islam sangat memperhatikan sektor pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi dan dinikmati setiap anak. Ini karena pendidikan adalah gerbong utama lahirnya peradaban unggul. Sangat wajar pada masa peradaban Islam jejak pendidikan Islam sangat mentereng dan diakui sebagai pendidikan terbaik di pentas global.
Negara Khilafah memberikan pemenuhan dan pelayanan dengan fasilitas pendidikan terbaik dengan melandaskan pada prinsip-prinsip berikut:
Pertama, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk·merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang (Syekh Abu Yasin, Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah, hlm. 8).
Strategi pendidikan Islam bertujuan membentuk pola pikir dan pola sikap agar sesuai Islam. Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Dengan demikian, Islam melahirkan generasi berkualitas dari sisi kekuatan iman dan kemampuan akademik yang cerdas, yakni memadukan iman, takwa, dan ilmu pengetahuan dalam satu paket lengkap kurikulum berasas akidah Islam.
Kedua, seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fa’i dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat.
Jika harta di baitul mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan yang urgen, sedangkan sumbangan kaum muslim juga tidak mencukupi maka negara mewajibkan pajak (dharibah) yang hanya dipungut dari kaum muslim yang mampu dan sejumlah dana yang dibutuhkan saja.
Ketiga, akses pendidikan gratis dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat negara Khilafah. Islam tidak akan membiarkan peluang kebodohan berkembang hanya karena terhalang biaya pendidikan.
Oleh karena itu, negara Khilafah memberikan pendidikan bebas biaya untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi seluruh rakyat agar dapat mengenyam pendidikan sesuai bidang yang mereka minati. Tidak heran penerapan sistem pendidikan Khilafah yang berlangsung selama belasan abad mampu menghasilkan ilmuwan dan cendekiawan yang ahli dalam beragam disiplin ilmu dan berbagai bidang.
Keempat, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi rakyat yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam dalam Bab “Strategi Pendidikan” hlm 176).
Kelima, negara membangun infrastruktur publik yang merata di seluruh wilayah hingga ke pelosok negeri. Jika infrastruktur publik sudah tersedia dan memadai, tidak akan ada kisah sedih anak-anak sekolah menyeberang sungai deras dengan seutas tali panjang sebagai jembatan mereka. Sepanjang masa kepemimpinan Khilafah, para khalifah berlomba-lomba membangun sekolah tinggi .
Demikianlah, Khilafah menjalankan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan dengan melakukan apa saja yang dapat mewujudkan terpenuhinya hak pendidikan setiap anak, kenyamanan mereka selama bersekolah, dan kesejahteraan para tenaga pendidik.
Semua itu terpenuhi dan terjamin agar sistem pendidikan Islam benar-benar berjalan secara optimal dalam menciptakan generasi bertakwa, cerdas, dan bermanfaat ilmunya bagi kemaslahatan hidup manusia.