Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Banjarmasin

Banjarmasin Diminta Pusat Cetak Sawah Sekitar 1.380 Hektare, Ternyata Lahannya Berlabel Non Pertanian

×

Banjarmasin Diminta Pusat Cetak Sawah Sekitar 1.380 Hektare, Ternyata Lahannya Berlabel Non Pertanian

Sebarkan artikel ini
IMG 20250822 WA0062
Lahan pertanian di Sungai Lulut Banjarmasin yang sebagian dibangun rumah warga. (Kalimantanpost.com/ful)

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Walau pun Banjarmasin dikenal sebagai daerah perkotaan, pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian meminta cetak sawah sekitar 1.380 hektare.

“Kami minta titik mana yang 1.380 itu yang mau dicetak sawah. Setelah kami mendapatkan petanya coba kami overlay peta RTRW memang disitu tertera non pertanian,” papar kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Banjarmasin, Yulianysah Effendi, Jumat (22/8/2025).

Kalimantan Post

Jadi, lanjut dia, pihaknya penasaran, memang benarkah seluas itu yang masih bisa cetak sawah. “Kami minta titik-titk koordinat kelompok tani dari ASN khusud Pertanian. Setelah dicek, ternyata yang lahan non pertanian tadi disitulah titik-titik tempat kelompok tani berada dan beserta lokasinya,” paparnya.

Rasa penasaran, Yulianysah ingin melihat langsung ke lokasi tersebut. “Kami kelapangan. Teryata di lapangan, kami melihat petani masih bertanam padi, cuma peruntukan yang tertera di RTRW itu non pertanian. Tapi sesungguhnya dilapangan atau lahan fungsional memang masih padi.
Berarti ini masih layak dan produktif untuk pertanian,” ujarnya.

Yuliansyah juga mengungkapkan, sebenarnya Kota Banjarmasin ingin mendukung Ketahanan Pangan nasional seperti dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dengan menjalankan program cetak sawah.

Namun, keterbatasan lahan akibat pembangunan perumahan dan pertumbuhan penduduk membuat ruang bagi pertanian semakin berkurang dari tahun ke tahun. Walau di lapangan masih banyak petani yang menanam padi, status lahan dalam peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sering kali berlabel non-pertanian.

“Memang karena kita daerah perkotaan, banyak lahan yang di RTRW ditetapkan sebagai non-pertanian. Padahal di lapangan masih digunakan menanam padi. Jika status itu berubah, petani bisa kehilangan lahan produksinya,” ujarnya.

Sebenarnya, lanjut Yuliansyah, Banjarmasin memiliki kondisi geografis unik, yakni berada 0,2 meter di bawah permukaan laut. Situasi ini menjadikan tanah cocok untuk ditanami padi, namun kurang sesuai bagi komoditas lain. Artinya, jika lahan sawah terus berkurang, sulit bagi kota ini mengalihkan produksi ke tanaman alternatif.

Baca Juga :  Inovasi Pengembangan Benih, Jadi Senjata Baru Banjarmasin Atasi Keterbatasan Lahan

Selain itu, dengan kondisi pasang surut, petani di Banjarmasin hanya bisa menanam padi satu kali saja musim tanam.

Kondisi ini, kata Yuliansyah,
hasil produksi padi di Banjarmasin masih jauh dari cukup. Setiap tahun rata-rata luas tanam mencapai 1.900 hektar dengan produksi sekitar 10.000 ton beras.

“Jumlah itu hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan warga selama 40 hari, jauh dari kebutuhan tahunan masyarakat yang berjumlah 678 ribu jiwa.

“Bayangkan, 10.000 ton itu habis hanya dalam 40 hari.”, setelah itu kita harus bergantung pada pasokan dari luar daerah,” jelasnya.

Menyikapi situasi ini, pihaknya menekankan pentingnya perlindungan lahan pertanian dalam revisi RTRW. Ia menegaskan bahwa penyusunan tata ruang seharusnya melibatkan Kementerian Pertanian dan ATR/BPN agar sesuai dengan arahan pemerintah pusat yang menekankan perlindungan lahan pangan berkelanjutan.

“Proses perubahan status lahan jangan hanya didasari kebutuhan pembangunan, tapi juga mempertimbangkan ketahanan pangan, inilah yang akan kami dorong dalam koordinasi lintas instansi.” tambahnya. (nug/KPO-3)

Iklan
Iklan