Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Belajar Toleransi Di Kota Singkawang

×

Belajar Toleransi Di Kota Singkawang

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid

Oleh : Noorhalis Majid
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Datanglah ke Kota Singkawang, di tengah kotanya ada pasar tradisional, terdiri dari jejeran toko-toko menjual segala macam kebutuhan warga. Di antara jejeran toko-toko tersebut terdapat 3 tempat ibadah yang letaknya berdekatan, namun rukun damai sejak beratus tahun yang lalu. Tidak pernah ada konflik, apalagi saling meniadakan satu sama lainnya.

Kalimantan Post

Ada Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya, berdiri megah dan kokoh sejak 1878. Ada Gereja Katolik St Fransiskus Assisi, bangunan dan menaranya berdiri tinggi sejak 1874 oleh Pastor Pater De Vries SY. Katolik sendiri sudah ada di Singkawang sejak 1847. Dan ada Masjid Raya Singkawang, berdiri 1885 oleh Bawasahib Marican dan putranya Haji B. Achamd Marican dari India, yang datang ke Singkawang untuk berdagang permata. Bahkan terdapat pula pusat Misi dari Kristen yang berdiri sejak 1906. Pusat Misi tersebut oleh orang-orang Hakka diberi nama Tiong Hua Kie Tok Kauw Hwee, dan kemudin pada 1967 berganti nama menjadi Gereja Kristen Kalimantan Barat (GKKB).

Awalnya kota ini merupakan desa perbatasan Kesultanan Sambas, tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari negeri Tiongkok, sebelum mereka berangkat menuju Monterado, dan sebaliknya dari Monterado beristirahat di Singkawang, sebelum pulang ke Tiongkok. Monterado sendiri, berdasarkan catatan pejabat kolonial, merupakan kota tambang yang berada di Borneo Barat, sekarang bernama Kabupaten Bengkayang.

Awalnya daerah ini oleh para pendatang dinamai San Keuw Jong dari bahasa Hakka, yang berarti gunung, muara, sungai dan laut yang menjadi satu. Memang daerah ini berbatasan langsung dengan laut Natuna, di daratnya terdapat pegunungan, yang terdiri dari beberapa gunung yaitu Gunung Jempol, Roban, Sari, Raya, serta Gunung pasi, Poteng dan Sakong. Juga terdapat beberapa sungai yang mengalir ke muara, antara lain Sungai Naram, Semelagi Kecil, Setapuk Besar, Setapuk Kecil, Bulan, Garam Hilir, Rasau, Hang Moy, Semelagi, Sedau, dan Sungai Wie. Selanjutnya kota ini berkembang menjadi kota administratif dan akhirnya menjadi kota otonom, memisahkan diri dari kabupaten induknya Sambas.

Baca Juga :  Huma Betang Sebagai Simbol Budaya: Titik Temu Kearifan Lokal Dan Identitas Generasi Z

Kota ini berhasil merawat tradisi tolersansi yang telah diwariskan oleh nenek moyang dari generasi ke generasi. Walau terdiri dari tiga etnis besar, yaitu Tionghoa, Melayu dan Dayak, tapi mereka hidup dengan sangat toleran. Tidak ada peraturan khusus yang mengatur kehidupan bersama. Tidak ada pula kesepakan atau pun perjanjian yang mengikat semua warga untuk hidup rukun damai. Kerukunan dan toleransi, dijalani dengan apa adanya, sebagaimana nenek moyang mewariskan untuk hidup bersama dan selalu bekerjasama.

Sekali pun di kota-kota sekitarnya, mengalami konflik bahkan kekerasan hingga perang yang memakan korban. Singkawang tetap damai, seperti tidak terusik, apalagi sampai terganggu. Kota ini tetap bersahaja dan toleran. Bahkan sering kali menjadi zona damai bagi daerah-daerah yang bersengketa. Kota-kota lain boleh saja bersengketa dan berkonflik, namun saat berada di Singakawang, mereka mesti berdamai, mesti saling memahami satu sama lainnya.

Atmosfir kota ini seperti membawa damai. Rumah Tionghoa, Dayak dan Melayu saling berdampingan, membaur sebagai warga kota, bekerjasama dalam kehidupan. Menciptakan kota untuk terbuka dihuni secara bersama.

Pendirian rumah ibadah juga tidak memerlukan syarat apapun. Apalagi harus memenuhi 90/60 persetujuan warga pemeluk dan warga sekitar. Asal meminta izin dan restu warga yang keberadaannya sudah begitu majemuk, maka pendirian rumah ibadah boleh dilakukan. Tidak heran, kelenteng juga ada dimana-mana dan jadilah kota ini dijuluki kota seribu kelenteng, walau jumlahnya tentu tidak sampai ribuan. Tapi memberi gambaran, bahwa sebanyak apapun tempat ibadah dibangun, tidak mengganggu toleransi.

Bahkan perayaan Festival Cap Go Meh, yang merupakan festival berskala internasional, karena dihadiri oleh warga Tionghoa dan warga lainnya dari berbagai negara, dirayakan dan diselenggarakan dengan melibatkan semua agama. Tidak jarang Festival Cap Go Meh tepat pada hari Jumat. Tanpa diminta, apalagi dipersyaratkan, saat azan Jumat berkumandang, Festival Cap Go Meh yang begitu meriah dan riuh dengan suara tetabuhan, dihentikan, diistirahatkan, sampai saudaranya yang muslim selesai menunaikan ibadah Jumat.

Baca Juga :  Kohabitasi Berujung Tragedi, Liberalisasi Merusak Generasi

Pun saat perayaan imlek, warga dari suku Melayu dan Dayak, sekali pun seorang muslim atau Kristen, juga ikut mengenakan baju Cheongsam atau Qipao, untuk menghormati saudaranya Tionghao yang berbahagia merayakan imlek.

Toleransi yang begitu terjaga dengan baik, menyebabkan kota ini berkembang dengan pesat, bahkan melebihi kota-kota lain di sekitarnya. Akhirnya menjadi tujuan wisata religi dari semua agama. Menjadi tempat belajar tentang hidup toleransi. Tahun ini saja, mulai Januari hingga Agustus, tidak kurang dari 80 daerah di Indonesia, datang berkunjung untuk belajar tentang toleransi.

Dengan demikian, toleransi turut mendorong pertumbuhan ekonomi, karena kedatangan banyak tamu ke kota Singkawang, telah memutar perkembangan ekonomi begitu siknifikan. Hotel penuh, transportasi bertumbuh, dan pasar-pasar dengan jajanan tradisional serta berbagai cinderamata, laris manis diborong para pendatang.

Apalagi ketika Festival Cap Go Meh, kalau tidak memesan tempat jauh-jauh hari, jangan berharap mendapatkan hotel atau penginapan. Jangan berkhayal bisa mengendarai kendaraan di tengah kota. Semua ruang hingga sudut kota, tumpah ruah oleh para pendatang, dan seisi kota ramai dipenuhi pendatang yang ingin menyaksikan langsung perayaan Cap Go Meh.

Belajar dari Kota Singkawan, ternyata cukup dengan tolerans, sudah dapat menumbuhkan kota menjadi sangat maju dan bahkan dikenal hingga ke berbagai negara. Ekonominya bertumbuh, investasinya berkembang pesat. Walikota Singkawang sering kali diundang dalam berbagai forum internasional, untuk menceritakan tentang bagaimana menata kota hingga warganya hidup toleran. Tentu tidak ada yang bisa ia ceritakan, kecuali dengan jujur mengatakan bahwa toleransi di kota Singkawang, merupakan warisan leluhur sejak beratus tahun, dimana warga hidup saling menghormati, menghargai, bahkan mencintai anugerak keragaman yang sudah diberikan. Generasi berikutnya tinggal melestarikan yang sudah diwariskan, bukan merusaknya.

Iklan
Iklan