Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Guru Besar Mikologi Pertanian Mengelola Penyakit Tanaman di Lahan Rawa

×

Guru Besar Mikologi Pertanian Mengelola Penyakit Tanaman di Lahan Rawa

Sebarkan artikel ini
1 utaa 3 klm 8 cm ma

Banjarbaru, KP – Prof. Dr. Ir. Hj. Mariana, MP, salah satu Guru Besar, yang dikukuhkan melalui sidang senat terbuka, oleh Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof. Dr. Ahmad Alim Bachri, SE, M.Si, hari ini Selasa (19/8) berlangsung di Auditorium ULM di Banjarbaru.

Prof. Dr. Ir. Hj. Mariana, MP, Guru Besar Mikologi Pertanian Mengelola Penyakit Tanaman di Lahan Rawa.

Kalimantan Post

Pada pengukuhan, Prof. Dr. Ir. Hj. Mariana, MP menyampaikan pidato dengan judul “Peranan Jamur dalam Pengelolaan Penyakit Tanaman di Lahan Rawa”.

Tema ini sesuai dengan kompetensi keahlian dan tentunya juga sangat mendukung visi dan misi Universitas Lambung Mangkurat unggul dalam pengelolaan lahan basah.

Penelitian terkait keberadaan penyakit tanaman di lahan basah sudah dilakukan saat menempuh Pendidikan Sarjana (S1), Pasca Sarjana (S2) dan Program Dokter (S3).

Penelitian S1 pada Program Studi Hama dan Penyakit Tubuhan ULM pada tahun 1998 mempelajari tentang Pengaruh Agrimycin terhadap penyakit pustul pada benih kedelai.

Penelitian saat S2 di Program Magister Fitopatologi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1994 mempelajari tentang Ketahanan Kedelai terhadap Penyakit Karat.

Dan Penelitian S3 Program Doktor Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2003 mempelajari tentang Kajian Ketahanan Tanaman Padi terhadap penyakit blas di sawah pasang surut Kalimantan Selatan.

Ada beberapa buku yang sudah diterbitkan. Pada tahun 2024 buku berjudul Mikologi Pertanian Lahan Basah (jumlah halaman 328, ISBN 9786238631421).

Pada tahun 2023 menulis buku berjudul Penyakit Antraknosa pada Cabai Rawit Banjar Di Lahan Rawa dan Pengembangan Teknik Pengendaliannya.

Buku 65 Karya Inovatif Universitas Lambung Mangkurat.

Pada tahun 2022 menulis buku berjudul Pengendalian Hayati Penyakit Padi Beras Merah Keramat di Lahan Basah (jumlah halaman 159, ISBN 9786235832692).

Pada tahun 2022 menulis buku berjudul Penyakit Tanaman Mengancam Kedaulatan Pangan (jumlah halaman 97, ISBN : 9786238048427).

Pada tahun 2021 menulis buku berjudul Cinta pertanian Demi Kehidupan Berkualitas (jumlah halaman 150, ISBN : 9786239846688).

Ketertarikan Prof. Mariana mengkaji keberadaan penyakit tanaman di lahan pasang surut rawa, mengingat lahan rawa sebagai salah satu tipe lahan basah yang banyak terdapat di Indonesia, tersebar luas di wilayah Kalimantan, Sumatera hingga Papua.

Lahan rawa tentu menyimpan potensi sangat besar sebagai lumbung pangan alternatif.

Pada kondisi pertambahan populasi manusia yang semakin besar dengan luas lahan pertanian yang mulai terbatas akibat alih fungsi lahan, maka akan menjadi faktor utama munculnya kerawanan pangan di semua negara bila tidak ada uvaya menggali potensi lahan alternatif.

Inilah yang menjadi pemicu utama pemanfaatan lahan rawa menjadi alternatif peningkatan produksi pangan masa depan.

Potensi lahan rawa yang besar ini tentu perlu perjuangan hebat untuk pemanfaatannya agar mendukung peningkatan produktivitas tanaman.

Karakteristik unik dari lahan rawa yang perlu atasi adalah keasaman tanah yang tinggi, kejenuhan air yang ekstrem, dan dinamika redoks yang fluktuatif, juga adanya gangguan penyakit tanaman akibat kelembaban yang tinggi mendukung perkembangan patogen.

“Berkembangnya penyakit di lahan rawa perlu kita waspadai.

Penggunaan pestisida fungisida di lahan rawa sudah cukup intensif, beberapa fungisida yang dipakai petani sudah mulai tahan terhadap penyakit yang ada,” ujar ibu tiga anak yakni Dini Rahmatika S.Farm dan dr shofia yang tengah melanjutkan studinya di luar negeri serta M Aditya S.H., M.Kn.

Sehingga sudah tidak effektif lagi dan memicu timbulnya ras baru patogen yang lebih berbahaya dan sulit dikendalikan.

Hal yang juga perlu diwaspadai adalah introduksi varietas tanaman yang hanya memiliki satu atau beberapa gen tahan untuk melawan gen virulensi patogen dan ditanam secara monokultur serta terus menerus.

Disamping akan terjadinya tekanan seleksi dalam ekosistem hal ini juga akan memicu timbulnya ras baru patogen.

“Kondisi ini menciptakan tantangan besar bagi pertumbuhan optimal tanaman dalam menyediakan kebutuhan pangan secara berkelanjutan masa depan,” jelasnya.

Permintaan pangan, pakan, bahan bakar, bahan baku industri dan serat pasti akan terus meningkat.

Baca Juga :  Ketua DPRD Kalsel H Supian HK Apresiasi Penyerahan SK PPPK Paruh Waktu Provinsi Kalsel Oleh Gubernur

Diperkirakan dunia akan membutuhkan 50 persen lebih banyak pangan pada tahun 2050.

Tuntutan pangan yang semakin besar ini selalu terkendala keterbatasan sumber daya alam, polusi lingkungan, degradasi ekologi, perubahan iklim, keterbatasan sumber daya manusia yang terampil, dan adanya gangguan hama penyakit tanaman.

“Ini berarti solusinya kita harus menghasilkan lebih banyak, dengan sumber daya yang lebih sedikit.

Yaitu dengan meningkatkan produktivitas dan mengurangi kehilangan hasil panen, menghemat sumber daya alam, meminimalkan penggunaan bahan kimia pertanian, dan memitigasi dampak perubahan iklim,” sampainya.

Permasalahan penyakit tanaman di lahan rawa semakin meningkat seiring dengan pemanfaatan lahan rawa yang semakin intensif untuk menyediakan kebutuhan pangan Masyarakat.

Lahan rawa bukan lagi hanya menyediakan tempat untuk menanam tanaman pangan tapi juga Tanaman Perkebunan.

Penanaman yang intensif dengan menggunakan pestisida sebagai upaya mengatasi masalah hama penyakit tanaman tentu berdampak terhadap ancaman keamanan pangan, kehidupan dan kesehatan manusia serta gangguan planet Bumi yang kita huni bersama.

Data akurat sudah dinyatakan FAO bahwa organisme pengganggu tanaman (OPT) mengakibatkan penurunan hingga 40 persen hasil panen pertanian dunia setiap tahunnya.

Akibat ancaman OPT itu juga yang memicu penggunaan pestisida 4.000 ton per tahun akan terus meningkat.

Kerugian ekonomi global akibat gangguan penyakit tanaman diperkirakan mencapai lebih dari 3,6 Triliun rupiah, karena gangguannya terhadap kuantitas dan kualitas hasil pertanian.

Petani sering memilih menggunakan pestisida sintetik untuk pengendalian penyakit tanaman, karena praktis dan ekonomis.

“Penggunaan pestisida dan pupuk sintetis yang semakin marak justru mengganggu kesehatan manusia sementara produktivitas yang diharapkan meningkat juga tidak jelas.

Sudah banyak bukti, penanganan penyakit tanaman secara konvensional dengan pestisida kimia sintetik sering kali tidak bisa bertahan lama, dan yang jelas tidak berkelanjutan untuk nilai keamanan terhadap manusia dan lingkungan, serta membutuhkan biaya tinggi,” jelasnya lagi.

Degradasi ekologis sudah semakin tampak terjadi.

Ketergantungan berlebih pada satu jenis pestisida kimia tidak hanya berisiko merusak lingkungan, tetapi juga dapat memicu lahirnya generasi patogen yang lebih kuat dan kebal.

Upaya penanggulangan penyakit tanaman dengan berbasis hayati salah satu yang menjanjikan untuk pangan sehat dan menyehatkan masa depan.

Pendekatan ini tidak hanya menjanjikan efisiensi dan keberlanjutan, tetapi juga memiliki keunikan dalam menyatukan dengan dinamika ekologis lahan rawa, karena potensi lahan rawa yang banyak mengandung mikroba bermanfaat tapi belum dimanfaatkan.

Di antara berbagai agen hayati yang berpotensi, kelompok mikroorganisme jamur memegang posisi strategis.

Jamur tidak hanya mampu beradaptasi dalam kondisi ekstrim rawa, tetapi juga memiliki peran multifungsi, baik sebagai agensia pengendali hayati (biopestisida) tapi juga berperan sebagai mitra tanaman untuk membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih subur (biofertilizer).

Keberadaan jamur di alam, terbukti jamur bukan hanya menimbulkan masalah pada pertumbuhan tanaman sebagai penyebab terjadinya penyakit (patogen), tapi juga menjadi solusi mengatasi masalah, karena tidak sedikit jamur bermanfaat berasosiasi dalam kehidupan tanaman.

Jamur dapat mengendalikan patogen penyebab penyakit tanaman, baik penyakit dari golongan jamur sendiri, maupun dari golongan bakteri, nematoda, virus, tanaman tinggi parasit, bahkan dapat mengendalikan hama sebagai entomopatogen.

Jamur juga punya kemampuan mendegradasi bahan organik menjadi sumber nutrisi pertumbuhan tanaman, dan menghasilkan enzim yang dapat menyediakan unsur hara yang siap diserap oleh tanaman.

Keberadaan jamur juga memperpanjang zone perakaran yang membuat tanaman mampu menyerap air dan unsur hara lebih jauh.

Di alam juga tidak sedikit jenis jamur makroskopis yang dapat dimakan manusia. Hasil eksplorasi ditemukan beberapa isolat dari Trichoderma viride, Fusarium non patogen, Pseudomonas flourescens, Bacillus sp.

“Hasil penelitian sudah membuktikan bahwa kombinasi Fusarium Non Patogen mampu mengurangi intensitas penyakit hawar pelepah padi yang disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani sampai 87 persen.

Hasil eksplorasi agens antagonis dari lahan pasang surut (Sirang Laut, Puntik) dan lahan lebak (Gudang Hirang, Tajau Landung) ditemukan 16 isolat yang potensial sebagai agens antagonis dengan persentase daya hambat di atas 50 persen terhadap Colletotrichum sp,” tuturnya.

Baca Juga :  Kerugian Publik 66,9 Miliar Diselamatkan

Aplikasi jamur dalam bentuk biofertilizer atau biofungisida juga telah terbukti meningkatkan produktivitas tanaman padi di lahan rawa secara signifikan tanpa merusak lingkungan seperti akibat efek penggunaan pestisida sintetik.

Jadi peranan jamur dapat dipandang sebagai “arsitek biologis” yang membantu membentuk ekosistem pertanaman rawa menjadi lebih tangguh.

Jamur antagonis juga terbukti memainkan peran penting dalam kompetisi sumber daya dengan patogen.

Antagonis yang mampu tumbuhan cepat, mengkolonisasi cepat di zona perakaran seperti jamur Trichoderma sp dan Penicillium sp dengan membentuk penghalang biologis yang menghambat penetrasi patogen ke jaringan akar.

Jamur juga mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap garam melalui berbagai mekanisme biokimia dan fisiologis dengan meningkatkan penyerapan nutrisi dan menjaga homeostasis ionik pada tanaman, mampu meningkatkan penyerapan air dan menjaga keseimbangan osmotik serta meningkatkan efisiensi fotosintesis.

Jamur memiliki jaringan hifa yang tumbuh menjangkau jauh melebihi zona akar tanaman.

Ini salah satu bukti ada peranan nyata jamur bagi kehidupan tanaman. Jaringan ini juga mampu membuka ruang pori mikro tanah lebih besar, meningkatkan sirkulasi udara, serta menyalurkan air dan nutrisi dari tempat yang tidak terjangkau akar.

Beberapa jamur, baik yang hidup di rhizosfer dan filosfer ada yang mampu berperan lebih sebagai jamur yang hidup dalam tanaman tanpa merugikan pertumbuhan tanaman yang dikenal dengan mikroba endofit.

Endofit berada dimana-mana dan mereprentasikan keajaiban dunia di dalam tanaman.

Hasil penelitian telah memberikan bukti yang kuat tentang efek endofit terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman, mitigasi stres, dan resistensi penyakit pada tanaman inang.

Mekanisme untuk pencegahan penyakit meliputi kompetisi dengan patogen untuk relung dan nutrisi, sekresi metabolit bioaktif yang secara langsung berpengaruh terhadap patogennya serta induksi ketahanan tanaman yang secara tidak langsung dalam mengendalikan penyakit, dan peningkatan pertumbuhan tanaman.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur endofit mampu menurunkan intensitas penyakit, mengatasi kendala pertumbuhan tanaman di lapang.

Kombinasi jamur dan bakteri endofit dapat menurunkan intensitas penyakit hawar pelepah pada tanaman padi. Pemanfaatan antagonis mikroba endofit Fusarium Non-Patogen (FNP), dan Trichoderma sp sudah terbukti mampu menghambat pertumbuhan patogen Rhizoctonia solani pada padi.

Salah satu kontribusi paling signifikan dari jamur adalah berperan sebagai inducer atau aktivasi mekanisme pertahanan tanaman atau yang dikenal sebagai Induced Resistance.

Terbukti pada aplikasi benih jagung dengan isolat jamur antagonis Trichoderma sp dapat meningkatkan ketahanan terhadap penyakit bulai. Penggunaan Trichoderma TR11 yang efektif untuk biopriming benih menghasilkan penurunan indeks penyakit bulai hingga 32,92 persen% dan terjadi penin.

Pada komoditas hortikultura seperti bawang merah, aplikasi Trichoderma spp,  juga menunjukkan hasil menggembirakan, terbukti aplikasinya dalam bentuk media padat satu minggu sebelum tanam, maka insidensi penyakit moler akibat Fusarium berhasil ditekan secara signifikan dan diikuti dengan peningkatan produktivitas tanaman.

Hasil kajian terkait jamur sebagai biofertilizer sudah terbukti pada isolat Trichoderma sp asal lahan basah yang sudah menjadi koleksi unggulan tim peneliti Proteksi Tanaman ULM.

Pada jamur Trichoderma tidak hanya sebagai agensia pengendali penyakit tapi juga dekomposer yang tangguh.

Trichoderma sp memiliki kemampuan untuk membentuk asosiasi simbiotik dengan sistem perakaran tanaman padi dan cabai di lahan basah.

Kombinasinya dengan bahan organik sisa tanaman sudah dikenal dapat mempercepat proses pengomposan dan terbukti juga mampu sebagai penyuplai biopestisida dari enzim yang dihasilkannya.

Pengelolaan penyakit tanaman dengan pendekatan berbasis mikroorganisme lokal.

“Kita tidak hanya menjaga kesehatan tanaman, tetapi juga memelihara integritas ekosistem rawa secara menyeluruh untuk pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan dan menyehatkan bagi manusia sebagai konsumen utama hasil pertanian.

Kajian teknologi pengembangan agensia hayati yang adaftif bagi petani perlu segera dikaji agar pengembangan agensi hayati di lahan secara mandiri,” tutup Prof. Dr. Ir. Hj. Mariana, MP. (K-2)

Iklan
Iklan