Oleh : AHMAD BARJIE B
Banyak teman meminta saya berbicara, berkomentar atau menulis tentang habib (jamaknya habaib) yang ada di Indonesia, yang akhir-akhir banyak disoroti, dalam arti para habaib yang ada di Indonesia, yang notabene berada dalam kelompok Ba’alawi dianggap bukan keturunan Rasulullah saw. Bahkan Rhoma Irama ikut mengambil posisi berseberangan, sehingga semakin menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Saya menolak karena merasa tidak ahli dalam soal nasab, lagi pula terasa sulit menguraikan sejarah atau silsilah yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun, apalagi sampai melakukan tes DNA. Tambahan lagi apa gunanya kita menyoal masalah ini, dilihat dari segi manfaat atau mudharatnya, tampak tidak ada gunanya. Lebih baik kita husnuz-zhan saja, bahwa mereka memang keturunan Nabi Muhammad Saw dari jalur mana saja. Sikap husnuz-zhan (sangka baik) lebih aman, maslahah dan berpahala, ketimbang sangka buruk, apalagi kalau salah. Allah menyuruh kita menjauhi prasangka-prasangka, karena itu semua berdosa.
Di dalam buku-buku sejarah Islam, diantaranya karangan Ahmad Syalabi dan Ali Audah, diterangkan bahwa ketika Hussein bin Ali bin Abi Thalib dan keluarganya semakin terdesak di Madinah sesudah wafat ayahnya (Ali) dan saudaranya (Hasan), di antara para sahabat ada yang menganjurkan Hussein agar hijrah ke Yaman dan ada yang menganjurkan hijrah ke Koufah-Irak. Ibnu Abbas dkk menganjurkan Hussein hijrah ke Yaman, dengan alasan letaknya jauh dari jangkauan Bani Umaiyah (yang berkuasa) di Syam, dan keislaman serta kesetiaan orang-orang Yaman lebih kuat dan bisa dipegang. Sementara Abdullah bin Zubeir dkk menasihatinya agar pindah ke Koufah-Irak karena lebih dekat, dan pengikut ayahnya (Ali) banyak di sana. Hussein tetap memilih Irak karena orang-orang Irak sudah mengirim beberapa surat yang berisi dukungan mereka pada Hussein dan berjanji akan melindungi dan berjuang bersamanya.
Ternyata orang-orang Irak tidak benar-benar optimal melindungi dan mendukung Hussein, mereka terpecah-pecah, labil, kurang solid, dan akhirnya dapat dikalahkan Bani Umaiyah, yang puncaknya Hussein beserta keluarganya terbunuh dalam Perang Karbela. Perang ini jauh dari seimbang, 80 orang berhadapan dengan 4000 orang yang memusuhi dan kemudian membunuhnya, nyaris tanpa sisa. Sisanya inilah yang melahirkan keturunan, yang bagi Islam Syiah sebagian dari mereka dianggap sebagai 12 Imam (Istna ‘Asyriyah). Dimulai dari Imam Ali sendiri (1), Imam Hasan bin Ali (2), Imam Husein bin Ali (3), Imam Ali Zainal Abidin (4), Imam Muhammad al-Baqir (5), Imam Ja’far al-Shadiq (6), Imam Musa al-Kazim (7), Imam Ali ar-Ridha (8), Imam Muhammad al-Jawad (9), Imam Ali an-Naqi (10), Imam Hasan al-‘Askari (11), dan Imam Muhammad al-Mahdi (12) sebagai The Hidden Imam (Imam Tersembunyi) yang akan datang di akhir zaman.
Menyadari bahwa keadaan di Irak tidak menguntungkan, maka sebagian dari keturunan Ali dan Fatimah ini hijrah ke Yaman. Dan yang hijrah ke Yaman inilah kemudian menyebar ke seluruh dunia untuk menetap, nomaden (berpindah-pindah), mencari penghidupan, dan berdakwah. Beberapa di antaranya berhasil membangun kekuasaan, diantaranya kesultanan al-Qadriyah di Pontianak, atau bekerjasama dengan kesultanan-kesultanan lainnya, sehingga terjalin simbiosis-mutualis antara mereka dengan penguasa. Mereka sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di Nusantara, baik melalui perkawinan, perdagangan, kekuasaan, organisasi pergerakan dan banyak lagi. Mereka kemudian dikenal sebagai kalangan habaib.
Di masa penjajahan, Belanda sering mencurigai mereka. Beberapa peperangan yang terjadi sering mereka kaitkan dengan orang-orang keturunan Arab ini sebagai penyemangat atau pencetusnya, yang bekerjasama dengan para raja dan Sultan Nusantara. Karena itu keberadaan mereka selalu dicurigai, dan dibatasi interaksinya dengan penduduk pribumi. Itu sebabnya di beberapa kota dan daerah ada yang namanya kampung Arab.
Sebagian dari tokohnya ada juga yang berhasil dibujuk Belanda untuk mendukung kekuasaan Belanda, sehingga sepak-terjangnya menjadi pro-Belanda. Hal ini wajar saja, karena hal yang sama juga dilakukan kepada orang-orang pribumi. Sejarah sudah mencatat betapa banyaknya pribumi yang memihak Belanda. Jadi masalah ini tidak bisa digeneralisasi. Boleh jadi juga habaib yang memihak Belanda itu terpaksa atau menjadikannya sebagai strategi agar tetap eksis, karena tidak ada pilihan lain.
Orang Arab, khususnya habaib sudah menjadikan Indonesia sebagai tanah airnya, mereka kawin mawin, berjuang dan hidup mati di sini, bukan sekadar mencari penghidupan. Menjelang merdeka, kembali para habaib ini memainkan peranan penting. Banyak dari mereka yang memberikan kontribusi besar, ada yang menyumbangkan dana, harta, rumahnya, keahlian dan kepintarannya, menjalin hubungan dan berdiplomasi di luar negeri dan sebagainya yang semuanya untuk Indonesia merdeka. Karena itu Bung Karno dalam pidatonya tahun 1948 menyatakan, Indonesia tidak perlu berterimakasih lagi kepada orang Arab, sebab mereka telah menjadikan Indonesia sebagai tanah airnya sendiri, kebangsaannya sendiri, sehingga mereka berjuang maksimal di dalamnya.
Selanjutnya, dalam mengisi kemerdekaan, kalangan habaib ini banyak bergerak di bidang dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dengan gayanya yang khas dan adakalanya keras. Hal ini diperlukan karena tantangan dakwah juga berat, kehidupan berbangsa dan bernegara juga banyak diwarnai ketidakadilan, korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Dakwah keras saja belum tentu berhasil, apalagi kalau lembek dan cenderung ditoleransi.
Kalangan habaib sejauh ini tidak mengejar kekayaan, jabatan dan kekuasaan, sehingga mereka juga terjauh dari korupsi. Kalau ada penyimpangan, itu wajar, karena mereka bukan nabi, bukan ma’shum, jadi tergantung pendidikan keluarganya, kehidupannya, dan lingkungannya, sama dengan kita semua, tapi sekali tidak boleh digeneralisasi. Ada baiknya ke depan, kita lebih menjaga persatuan, jangan memilih jalan yang mengarah kepada perpecahan. Musuh kita yang sebenarnya adalah ketimpangan sosial ekonomi, ketidakadilan, korupsi, ancaman kedaulatan negara dan pendangkalan agama di berbagai aspeknya. Wallahu A’lam.