Oleh : Syaiful Anwar, Wartawan Kalimantan Post *)
DI ERA tahun 1980-an, beberapa kawasan di Kota Banjarmasin seperti di Kelurahan Sungai Lulut, Basirih, Tatah Belayung Kelurahan Tanjung Pagar dan beberapa daerah lainnya masih terdapat hamparan sawah yang luas.
Bersamaan pesatnya pembangunan dan pertumbuhan penduduk di Kota Banjarmasin membuat area persawahan semakin lama makin berkurang. Mengutip rilis BPS dalam publikasi Kota Banjarmasin di tahun 2022, jumlah penduduk di tahun 2020 mencapai 657.663 jiwa.
Laju pertumbuhan penduduk di Kota Banjarmasin antara tahun 2020 – 2021 adalah 0,95 persen. Dengan pertumbuhan penduduk semakin meningkat, otomatis jumlah warga yang memerlukan rumah juga meningkat.
Para petani pun ‘tergoda’ menjual sawahnya ke warga maupun pengusaha perumahan atau developer. Sayangnya, usai menjual sawah, nasib beberapa keluarga petani bukannya tambah baik, tapi lebih memprihatinkan. Tadinya sebagai pemilik sawah, setelah dijual tanahnya, akhirnya menjadi penggarap sawah milik orang lain atau bekerja serabutan, karena tak memiliki keahlian atau skill. Uang dari penjualan tanah tidak digunakan buat pendidikan anak-anaknya dan menjadikan modal usaha lain, melainkan buat keperluan konsumtif.
Seperti dialami keluarga Ahim, warga Sungai Lulut Banjarmasin. “Di tahun 1980-an, orangtua saya memiliki persawahan yang cukup luas di daerah Sungai Lulut. Kemudian orangtua saya menjual tanah tersebut. Sekarang lahan sawah tersebut berubah fungsi menjadi tempat tinggal warga,” ujar Ahim sambil matanya menerawang melihat tanah bekas milik orangtuanya yang dulunya ditanami padi dan sekarang sebagian sudah berubah menjadi bangunan rumah warga.
Ahim bersama anaknya yang dulunya pemilik sawah akhirnya menjadi penggarap sawah milik orang lain dengan dibayar menanam dan memanen padi. Bila tidak musim tanam atau panen akan bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga.
Berapa luas beralih fungsinya persawahan menjadi perumahan seperti tanah milik keluarga Ahim hingga saat ini tidak ada angka pasti baik di Banjarmasin maupun daerah Kalimantan Selatan lainnya.
Menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKP3) Kota Banjarmasin, Yuliansyah Efendi dikutip dari laman Media Indonesia, Selasa, 11 Maret 2025, secara eksisting luas lahan pertanian di Kota Banjarmasin ada sekitar 2.500 hektare.
Namun berdasar data RTRW Kota lahan pertanian hanya 683 hektare. Sisanya sekitar 1.800-an hektare merupakan kawasan berstatus kuning atau nonpertanian. Kawasan ini sangat rawan beralih fungsi untuk berbagai kepentingan seperti pembangunan perumahan dan perkantoran.
Karena bukan lahan pertanian sangat rawan tergerus atau alih fungsi.
DKP3 Kota Banjarmasin mencatat pada tahun 2024, lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman seluas 70 hektare lebih. Di sisi lain mayoritas para petani di kawasan kuning itu bukan pemilik lahan, tetapi petani penggarap atau sewa lahan.
DKP3 Banjarmasin pun berupaya mempertahankan luasan lahan pertanian yang masih ada. Bahkan beberapa tahun lalu sudah mulai melakukan penambahan lahan pertanian. Pemko Banjarmasin pun sudah membeli tanah seluas 7,5 hektare pada tahun 2023.
Terus beralih fungsinya lahan pertanian di Kota Banjarmasin berdampak produksi padi tercatat sebanyak 11 ribu ton pada 2023 dan mengalami penurunan menjadi 10 ribu ton pada 2024. Tingkat produksi padi juga tergolong rendah berkisar 3-5 ton perhektare.
Tak hanya di Kota Banjarmasin, alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman juga terjadi di Kabupaten Banjar, walau pun belum ada laporan resmi tetapi hingga tahun 2025 mencapai 10.000 hektare.
Sebuah penelitian di Polbangtan Manokwari menunjukkan dari 130 lokasi ground check di Kabupaten Banjar, 115 lokasi terverifikasi mengalami alih fungsi lahan sawah menjadi lahan terbangun. Di Kota Banjarbaru, dari 31 lokasi, 29 lokasi terverifikasi mengalami hal serupa.
Penyebab Alih Fungsi
Ada beberapa faktor penyebab pendorong alih fungsi lahan diantaranya peningkatan jumlah penduduk dan perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi menyebabkan peningkatan kebutuhan akan perumahan, mendorong konversi lahan sawah menjadi pemukiman.
Selain itu, lahan sawah yang dikonversi menjadi perumahan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi bagi pemilik tanah, mendorong mereka untuk menjual atau mengalihfungsikan lahan mereka.
Lalu, terjadi pertumbuhan ekonomi dan industri juga dapat menjadi faktor pendorong alih fungsi lahan, karena kebutuhan akan lahan untuk kegiatan industri dan komersial meningkat.
Selain itu, diduga adanya kemudahan dalam pemberian izin pembangunan perumahan oleh pemerintah daerah juga menjadi faktor yang mempercepat alih fungsi lahan.
Dampak lahan sawah yang berfungsi sebagai daerah resapan air, ketika dialihfungsikan, juga dapat mengurangi kemampuan daerah dalam menyerap air hujan, meningkatkan risiko banjir, dan kekeringan. Itu sudah dirasakan warga Banjarmasin terjadinya banjir besar pada tahun 2021 hingga sekitar setengah bulan.
Mencetak 30.000 Hektare Sawah Baru
Terlepas terus merosotnya areal persawahan menjadi perumahan di tiga kota besar di Kalimantan Selatan yakni Banjarmasin, Banjarbaru dan Kabupaten Banjar, tak menyurutkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mensukseskan program Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk mencapai ketahanan pangan.
Menunjang program Presiden tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
melakukan berbagai terobosan agar daerah ini bisa menjadi salah satu ketahanan pangan nasional, khususnya dalam produksi beras.
Salah satu upaya yang dilakukan Gubernur Kalimantan Selatan H Muhidin dengan mencetak 30.000 hektare sawah baru untuk
mewujudkan swasembada pangan nasional dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Komitmen itu disampaikan Gubernur Kalimantan Selatan
dihadapan Menteri Pertanian saat menghadiri Workshop Percepatan Konstruksi Cetak Sawah di Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis, 31 Juli 2025.
Hingga saat ini Kalimantan Selatan sudah tercetak 14.500 hektare sawah dan tinggal sisa target 15.500 hektare akan selesai pada akhir tahun 2025.
Selain mencetak 30.000 hektare sawah baru, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Selatan juga mengembangkan lumbung pertanian di Kalimantan Selatan yang dulunya hanya tiga daerah yakni Barito Kuala, Tapin dan Tanah Laut saja, sekarang bisa berkembang di 11 Kabupaten. Hanya dua daerah yang tak punya lahan pertanian yakni Banjarmasin dan Banjarbaru.
“Tadinya masa musim tanam hanya sekali menjadi dua sampai tiga kali dalam setahun di daerah Tanah Laut dan Tapin,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Selatan, H Syamsir Rahman saat wawancara dengan Kalimantanpost.com, Selasa 11 Februari 2025.
Beberapa terobosan yang dilakukan membuat Kalimantan Selatan yang sebelumnya menempati peringkat 15 provinsi di Indonesia penyangga pangan nasional, terus naik tiap tahun ke peringkat 12 dan sekarang di posisi 11 nasional.
Ini tak lepas pada tahun 2024, produksi padi Kalimantan Selatan telah mencapai lebih dari satu juta ton dan di tahun 2025 ditargetkan 1,27 juta ton dengan strategi optimalisasi lahan dan perluasan areal tanam.
Keberhasilan Kalimantan Selatan menempati peringkat 11 juga tak lepas keterlibatan berbagai pihak ikut menanam padi.
Misalnya Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI bekerjasama Baznas Kalsel menyiapkan lahan pertanian seluas 100 hektare yang berlokasi di Desa Anjir Pasar Kota II, Kecamatan Anjir Pasar, Kabupaten Barito Kuala.
Begitu juga Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kalimantan Selatan bekerjasama dengan TNI dalam Mewujudkan Swasembada Pangan melalui program cetak sawah dan optimalisasi lahan di Banua.
Tanaman Padi Apung
Upaya lain dilakukan Pemerintah Kalimantan Selatan meraih ketahanan pangan dengan mengembangkan pembudidayaan padi apung di daerah yang rentan terendam banjir seperti di Sungai Tabuk dan beberapa daerah lainnya.
Panen padi apung telah dilaksanakan di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Barito Kuala, Balangan, Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tanah Bumbu.
Misalnya, panen perdana padi apung yang ditanam di Desa Sungai Pinang lama Kecamatan Sungai Tabuk Kabupaten Banjar, Selasa (20/8/2024) mencapai 5,3 ton dengan luas lahan 0,1 hektare. Ini membuktikan padi apung dapat menjadi alternatif pengganti lahan pertanian yang sempit dan membantu produksi pangan di daerah yang terkendala.
Pembudidayaan padi apung juga dilakukan di Desa Ampukung, Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong sejak 5 Mei 2025 ini menggunakan varietas unggul NutriZinc dan diterapkan di atas 1.700 styrofoam, dengan hasil mencapai 6 hingga 7 ton per hektar setara dengan produktivitas padi sawah konvensional di wilayah tersebut.
Program padi apung ini merupakan bantuan dari Bank Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Selatan.
Selain kedua daerah tersebut, padi apung juga bisa dikembangkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara, sehingga tak hanya terkenal Kerbau Rawanya juga bisa memanfaatkan daerah rawa sebagai daerah pertanian.
Inovasi padi apung ini menunjukkan hasil yang menggembirakan dan menjadi solusi adaptasi terhadap kondisi geografis Kalimantan Selatan, serta memberikan harapan baru dalam pemanfaatan lahan rawa dan air pasang surut menjadi sumber pangan.
Apalagi luas lahan rawa di Kalimantan Selatan mencapai 4.969.824 hektar. Di dalamnya, terdapat lahan rawa lebak seluas sekitar 119.523 hektare. Selain itu, ada juga potensi lahan rawa lainnya yang belum dioptimalkan untuk pertanian, seperti yang ditargetkan oleh pemerintah sebesar 41.829 hektare.
Menurut Kompas.id, potensi lahan rawa untuk pangan baru sekitar 200.000 hektarare. Pemerintah daerah dan pusat terus berupaya mengoptimalkan lahan rawa di Kalimantan Selatan untuk mendukung ketahanan pangan nasional, khususnya dalam produksi beras.
Kelebihan Padi Apung
Padi apung tidak hanya ditanam pada musim banjir tapi juga dapat menjadi alternatif pengganti lahan pertanian yang sempit dan membantu produksi pangan di daerah yang terkendala kekurangan lahan penanaman padi termasuk di Banjarmasin.
Padi apung merupakan inovasi budidaya padi yang memanfaatkan rakit atau media apung lainnya sebagai wadah tanam, seperti styrofoam atau bambu yang dilubangi dan dilengkapi dengan penjepit dari bambu. Teknik ini sangat cocok untuk lahan yang selalu tergenang air, seperti daerah rawa dan pasang surut, atau daerah yang berisiko banjir.
Kelebihan padi apung tidak memerlukan olah lahan. Hal ini menghemat biaya produksi, karena tidak perlu membajak lahan dan tak memerlukan alat berat seperti combine harvester.
Selain itu, tidak perlu penyiraman, karena air berdifusi dari bawah media tanam. Dapat mengubah lahan tidak produktif menjadi produktif dimana lahan yang sebelumnya tidak bisa ditanami karena terendam banjir atau genangan air dapat dimanfaatkan.
Petani juga dapat menghemat biaya dan waktu karena tidak perlu membajak lahan, melakukan penyiraman, atau membersihkan rumput liar.
Kelebihan lainnya, padi apung mampu bertahan dalam kondisi banjir dan kekeringan, sehingga menjadi solusi adaptasi terhadap perubahan iklim.
Tak kalah pentingnya, padi apung sendiri berpotensi menghasilkan produksi padi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara budidaya padi pada umumnya, memberikan peluang ekonomi baru bagi petani dan masyarakat di daerah rawa.
Padi apung pung ramah lingkungan. Beberapa praktik budidaya padi apung bersifat organik dan menggunakan pupuk organik. Beberapa varietas padi yang telah diujicobakan dalam sistem padi apung antara lain Inpari Nutri Zinc. Meskipun demikian, budidaya padi apung masih tergolong tradisional dan memerlukan pengembangan lebih lanjut, terutama dalam dosis dan teknik pemupukan.
Supaya inovasi padi apung bisa berkembang di Kalimantan Selatan, perlu
dukungan berbagai pihak termasuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan maupun pemerintahan daerah dengan Universitas Lambung Mangkurat khusus Fakultas Pertanian, Teknik Lingkungan, lembaga penelitian maupun Perbankan dalam hal penyediaan akses pembiayaan, pelatihan, dan fasilitas pendukung pertanian.
Lewat inovasi baru tersebut, kedepannya padi apung juga bisa dikembangkan, termasuk di Kota Banjarmasin dan beberapa daerah lainnya untuk memanfaatkan aliran sungai pasang surut maupun rawa agar bisa ditanami padi
Kesimpulan
Menunjang Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mensukseskan program di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk mencapai ketahanan pangan dengan mencetak 30.000 hektare sawah baru.
Upaya lain yang perlu supaya Kalimantan Selatan bisa memenuhi ketahanan pangan khusus beras bukan hanya tergantung kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pemerintah Daerah mencetak sawah baru, juga didukung partisipasi masyarakat melakukan inovasi salah satunya mengembangkan padi apung secara masif.
Sebab, padi apung adalah inovasi pertanian yang menjanjikan untuk memanfaatkan lahan rawa dan lahan pasang surut yang sebelumnya sulit ditanami. Dengan dukungan yang tepat, inovasi ini dapat memberikan kontribusi positif bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani di daerah yang memiliki potensi lahan rawa yang luas, seperti Kalimantan Selatan.
Padi apung memberikan peluang ekonomi baru bagi petani dan masyarakat di daerah rawa yang ada di Banua. Tinggal bagaimana dari berbagai pihak membantu para petani memberikan pelatihan agar bisa memanfaatkan lahan rawa dan daerah pasang surut menjadi kawasan pertanian.
*) Syaiful Anwar merupakan wartawan Kalimantan Post sekaligus Redaktur Pelaksana Online Kalimantanpost.com














