Oleh : Ummu Al Mumtaz
Pemerhati Sosial Masyarakat
Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka dari penjajahan fisik, namun seiring berjalannya waktu, sebuah ironi besar menyelimuti kemerdekaan yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sebagian besar bangsa ini, meski telah terbebas dari penjajahan kolonial, masih terjajah dalam aspek-aspek kehidupan fundamental, terutama ekonomi dan pemikiran. Pertanyaan besar pun muncul, apakah kita benar-benar sudah merdeka?
Kesejahteraan
Dalam sektor ekonomi, meskipun Indonesia telah mengukuhkan dirinya sebagai negara besar dengan potensi luar biasa, kenyataan yang dihadapi banyak rakyat jauh dari harapan. Berdasarkan data yang ada, hampir 1 (satu) juta pekerja Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari berbagai sektor, terutama tekstil dan manufaktur, yang merupakan tulang punggung ekonomi rakyat.
Tidak hanya itu, fenomena makan tabungan atau gali lubang tutup lubang menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-hari banyak keluarga, yang semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar karena melonjaknya harga barang dan biaya hidup yang terus meningkat.
Fakta ini menggambarkan ironi yang sangat dalam. Kemerdekaan seharusnya membawa kesejahteraan dan kemakmuran, namun kenyataannya, banyak rakyat yang terperangkap dalam kemiskinan struktural, bahkan warga kelas menengah pun terancam jatuh ke jurang kemiskinan akibat ketidakpastian ekonomi ini, kelas menengah di Indonesia kini tak hanya sulit kaya, tetapi juga rentan miskin.
Salah satu artikel harian digital menyebutkan, kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia memasuki tengah tahun ini masih pontang-panting. Daya beli mereka masih lesu, dan cenderung habis untuk sekadar urusan sandang dan operasional harian. Narasi pemerintah yang menyebut perekonomian Indonesia terus melejit, seolah sama dengan menyebut kelas menengah kita macam menjadi bonsai. Terus tumbuh, namun tak mampu berkembang lebih dari itu. (tirto.id,7/8/2025).
Hal ini tentu menjadi “warning” bagi kita, sebuah tanda nyata bahwa sistem yang ada justru menjadikan rakyat semakin terpuruk.
Pencurian Potensi Generasi dan Pembajakan Pemikiran
Selain masalah ekonomi, ironi lainnya terletak pada pembajakan potensi generasi bangsa ini. Alih-alih mengembangkan potensi anak bangsa secara maksimal, sistem yang berlaku lebih banyak melayani kepentingan segelintir kapitalis yang terus mendominasi sektor ekonomi dan politik. Di sisi lain, pembajakan pemikiran juga terjadi dengan masifnya penanaman ideologi sekuler, liberal, dan deradikalisasi agama yang semakin menjauhkan umat Islam dari prinsip-prinsip syariat.
Pemerintah justru memfokuskan upaya untuk menjauhkan umat Islam dari pemahaman yang sahih tentang agama, dengan memperkenalkan konsep-konsep yang membingungkan dan merusak, seperti dialog antar agama, Islam moderat, dan sekulerisme dalam ranah kehidupan umat beragama. Di sini, kita kembali melihat sebuah ironi kemerdekaan yang seharusnya membawa umat Islam untuk memahami dan menjalankan agama mereka dengan benar, malah dijajah dengan ideologi yang bukan berasal dari ajaran Islam.
Kapitalisme membelenggu
Semua persoalan ini bermuara pada penerapan sistem sekuler kapitalisme yang dipakai oleh bangsa ini. Sistem ini mengedepankan kepentingan kapitalis dan mengorbankan rakyat. Kapitalisme yang berlaku saat ini semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial, di mana kekayaan segelintir orang semakin melimpah, sementara mayoritas rakyat semakin terjepit dalam kesulitan hidup. Sistem ekonomi ini jelas tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, dan justru semakin mengekang kemerdekaan hakiki bangsa Indonesia.
Solusi hakiki
Karena itu, solusi untuk masalah mendasar ini adalah penerapan sistem Islam secara kafah, yang akan membawa Indonesia kepada kemerdekaan yang sesungguhnya. Dalam sistem Islam, negara berperan langsung dalam menjaga kesejahteraan rakyat, mengelola kepemilikan umum, dan memastikan semua kebutuhan dasar rakyat dapat dipenuhi, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Negara juga wajib membuka lapangan pekerjaan melalui industrialisasi dan mengalokasikan dana untuk santunan bagi fakir miskin melalui baitulmal. Dengan begitu, kesenjangan sosial bisa ditekan, dan kemakmuran dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, sistem Islam kafah juga akan menjaga umat Islam tetap berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, serta hidup dalam ketaatan kepada Allah. Pemikiran umat tidak akan dibajak oleh ideologi-ideologi asing yang merusak dan menyimpang, melainkan akan selaras dengan aturan-Nya, menjadikan umat Islam sebagai umat yang berdaya dan berkemajuan.
Perubahan Hakiki
Untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki, perubahan yang mendalam dan menyeluruh dibutuhkan. Kita tidak cukup hanya merayakan kemerdekaan dari penjajahan fisik tanpa memperjuangkan kemerdekaan dalam aspek-aspek lain, terutama ekonomi dan pemikiran. Meskipun ada geliat perubahan di tengah masyarakat, seperti fenomena One Piece dan bangkitnya gerakan-gerakan kesadaran, namun perubahan itu belum menyentuh akar permasalahan, yaitu sistem kapitalisme yang masih menjadi pondasi negara ini.
Untuk itu, diperlukan sebuah gerakan perubahan yang hakiki. Melalui jamaah dakwah dan persatuan ummat dengan perjuangan yang penuh komitmen dan keyakinan, Indonesia bisa meraih kemerdekaan yang sesungguhnya, di mana rakyat dapat hidup sejahtera, umat Islam dapat berpikir dan bertindak sesuai dengan syariat, serta negara mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya secara adil dan merata.
Kemerdekaan 80 tahun Indonesia adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Namun, peringatan ini harus menjadi momentum bagi kita semua untuk menggali lebih dalam makna sejati dari kemerdekaan. Merdeka bukan hanya dari penjajahan fisik, tetapi juga dari penjajahan sistemik yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Saatnya kita bergerak menuju perubahan hakiki, menuju Indonesia yang benar-benar merdeka!