Oleh : Fatimah
Aktivis Muslimah
“Infrastruktur megah tak selalu berarti kemajuan. Terkadang, ia hanyalah jalan tol bagi kepentingan segelintir, sementara rakyat tetap berjalan kaki di pinggir jalan.”
Pembangunan jembatan penghubung antara Dermaga Batulicin (Pulau Kalimantan) dan Dermaga Tanjung Serdang (Pulau Laut) sedang menjadi sorotan. Proyek senilai triliunan rupiah ini dikerjakan oleh PT Hutama Karya sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mendukung kelancaran konektivitas menuju Ibu Kota Negara (IKN) dan memperkuat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batulicin. Dengan jembatan ini, perjalanan yang sebelumnya memakan waktu 2–3 jam dengan kapal ferry bisa dipangkas menjadi hanya 10–15 menit.
Sekilas terdengar seperti langkah cerdas dan penuh visi. Tapi benarkah demikian? Mari kita ulas di balik narasi percepatan logistik dan investasi, kita perlu bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek ini? Pemerintah menyebut jembatan ini sebagai “jalur emas investasi”, bukan sebagai pemenuhan hak dasar rakyat atas infrastruktur. Padahal, jalan, jembatan, dan sarana konektivitas seharusnya dibangun untuk menjamin kemudahan dan kesejahteraan masyarakat luas, bukan sekadar mengundang pemodal asing atau memperlancar aktivitas korporasi besar.
Lebih ironis lagi, proyek ini dikerjakan oleh BUMN dan subkontraktor besar. Rakyat sekitar? Hanya menjadi penonton di tengah gegap gempita alat berat dan desain canggih. Dimana pemberdayaan ekonomi lokal? Di mana lapangan kerja berkelanjutan untuk warga sekitar?
Belum lagi soal pembiayaan. Proyek ini dibiayai oleh APBN dan APBD, yang bersumber dari pajak rakyat dan utang negara. Artinya, beban proyek ini ditanggung oleh seluruh warga, namun hasilnya bisa jadi hanya dinikmati segelintir elite dan investor. Dalam sistem seperti ini, pembangunan tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada arus modal dan kapital.
Dalam sistem kapitalisme, pembangunan infrastruktur cenderung menjadi jalan pintas untuk memikat investasi. Ia dibangun bukan untuk keadilan akses, tapi untuk efisiensi distribusi keuntungan. Tak heran, rakyat kerap menjadi korban dari pembangunan yang katanya “untuk kita semua.”
Sebaliknya, Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda. Dalam sistem Khilafah, pembangunan infrastruktur wajib memenuhi tiga syarat ideologis : 1. Dibangun dan dikelola oleh negara sebagai pelayan rakyat, bukan pelayan investor; 2. Dibiayai dari kekayaan milik umum, seperti tambang, energi, dan hutan yang dikelola negara, bukan melalui utang berbunga atau pajak yang menindas; 3. Diarahkan untuk kemajuan peradaban dan kemaslahatan umat, bukan demi mempercepat arus komoditas korporasi.
Dalam sistem Islam, rakyat bukan hanya objek yang menonton dari kejauhan, bukan juga korban proyek, tetapi subjek utama yang dilibatkan, didengar, dan dilayani. Pembangunan bukan proyek elit, tapi bagian dari tanggung jawab negara terhadap umat. Jalan dibangun bukan untuk modal asing, tapi untuk menghubungkan kebutuhan rakyat dan membuka akses kesejahteraan bagi semua. Konektivitas dibangun untuk memudahkan mobilitas masyarakat, mempercepat distribusi kebutuhan pokok, dan membuka akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi secara merata.
Islam mengajarkan bahwa membangun fisik tanpa membenahi sistem hanya akan meninggalkan luka sosial yang lebih dalam. Yang dibutuhkan bukan hanya struktur fisik, tetapi pemulihan struktur kenegaraan yang adil dan distribusi kekayaan yang merata. Pembangunan sejati bukan sekadar menumpuk beton atau membentangkan jembatan raksasa. Namun kita memerlukan struktur kepemimpinan dan sistem ekonomi yang adil dan berpihak pada umat.
Semua ini bukan ilusi. Ini nyata, jika kehidupan diatur oleh Islam secara menyeluruh. Hanya di bawah naungan Khilafah, kepemimpinan akan sungguh-sungguh hadir sebagai pelayan umat, bukan penjaga kepentingan korporasi. Maka pembangunan pun bukan sekadar infrastruktur, tapi jalan menuju peradaban yang adil, bermartabat, dan berpihak pada seluruh rakyat.
Karena sejatinya, jembatan yang paling kuat adalah yang menghubungkan kepentingan negara dengan kebutuhan rakyat. Bukan sekadar jalur emas, tapi jalur keadilan dan kesejahteraan sejati.