Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Jokowi, yang Mencintai Versus yang Membenci

×

Jokowi, yang Mencintai Versus yang Membenci

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ade Hermawan
Pemerhati Pemerintahan

Joko Widodo, atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi, adalah Presiden Republik Indonesia ke-7, yang menjabat sejak 20 Oktober 2014. Ia lahir di Surakarta (Solo), Jawa Tengah, pada 21 Juni 1961. Sebelum terjun ke dunia politik nasional, Jokowi dikenal sebagai pengusaha furnitur. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, lulus pada 1985.

Kalimantan Post

Karier politiknya dimulai di tingkat daerah. Ia menjabat sebagai Wali Kota Surakarta selama dua periode (2005-2012). Selama kepemimpinannya di Solo, ia dikenal karena berbagai program inovatif dan pendekatannya yang dekat dengan rakyat dalam urusan publik. Kesuksesannya di Solo membawanya ke Jakarta, di mana ia terpilih menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 2012.

Setelah hanya sekitar dua tahun menjabat sebagai Gubernur Jakarta, popularitasnya yang meroket dan gaya kepemimpinannya yang populer membuatnya dicalonkan sebagai presiden dalam pemilihan umum 2014. Ia memenangkan pemilihan tersebut dan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Pada Pemilu 2019, ia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua.

Selama masa kepresidenannya, Jokowi dikenal karena fokusnya pada pembangunan infrastruktur besar-besaran di seluruh Indonesia, program pemerataan ekonomi, dan berbagai kebijakan populis seperti “kartu ajaib” (Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar). Ia juga dikenal karena gaya komunikasinya yang membumi dan sering melakukan kunjungan lapangan.

Sosok Jokowi selalu berhasil memancing beragam reaksi dari masyarakat. Sejak menjabat sebagai Presiden Indonesia, namanya selalu menuai kontroversi. Ada yang memujinya habis-habisan, sementara yang lain mengkritiknya dengan keras.

Siapa yang Mencintai Jokowi?

Mereka yang mendukung Jokowi umumnya merasa aspirasi mereka terwakili dan kehidupan mereka menjadi lebih baik di bawah kepemimpinannya. Mereka sering mengagumi gaya kepemimpinannya yang rendah hati dan membumi. Kebijakan seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran (jalan tol, bandara, bendungan), program bantuan sosial (Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan), dan upaya pemerataan pembangunan di luar Jawa seringkali menjadi alasan utama dukungan mereka.

Para pendukungnya memandang Jokowi sebagai sosok yang bekerja keras dan menepati janjinya. Mereka melihat hasil nyata dari program-programnya, yang dinilai berhasil meningkatkan konektivitas, mempermudah akses layanan publik, dan mengurangi kemiskinan. Keterbukaan dan pendekatannya yang spontan juga seringkali menjadi nilai tambah di mata para pendukungnya. Mereka merasa dekat dengan pemimpin mereka, seolah-olah Jokowi adalah bagian dari rakyat jelata yang benar-benar memahami kesulitan mereka.

Pendukung Jokowi juga berperan aktif dalam menyebarkan informasi positif tentang kinerja pemerintah dan proyek-proyek yang berhasil. Mereka sering bertindak sebagai “corong” informasi, membantu menjelaskan kebijakan kepada teman, keluarga, atau kenalan yang mungkin belum sepenuhnya memahami mereka. Tujuannya adalah untuk melawan berita negatif atau hoaks yang beredar.

Ketika kritik atau serangan dilontarkan terhadap Jokowi, para pendukungnya sering merasa terdorong untuk membelanya secara langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan argumen tandingan berdasarkan data atau fakta, mengoreksi kesalahpahaman, atau bahkan menepis tuduhan yang mereka anggap tidak benar. Mereka memandang kritik tersebut sebagai serangan pribadi terhadap tokoh yang mereka hormati. Meskipun tidak selalu terlihat secara langsung, banyak pendukung Jokowi juga mendukung program-program ekonomi yang diusungnya, seperti penggunaan produk dalam negeri atau dukungan terhadap UMKM. Mereka yakin bahwa dengan mendukung inisiatif-inisiatif ini, mereka berkontribusi pada kemajuan ekonomi yang dicita-citakan Jokowi.

Baca Juga :  Perempuan dan Anak Membutuhkan Jaminan Perlindungan Siber dari Negara

Singkatnya, tindakan mereka yang mengagumi Jokowi mencerminkan keyakinan mereka terhadap kepemimpinan dan visi presiden. Mereka secara aktif mendukung, membela, dan mempromosikan apa yang mereka yakini baik bagi negara di bawah kepemimpinan Jokowi.

Siapa yang Membenci Jokowi ?

Di sisi lain, ada pula kelompok masyarakat yang secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasan, bahkan kebencian, terhadap Jokowi. Kelompok-kelompok ini umumnya adalah mereka yang kecewa dengan janji-janji kampanye yang mereka anggap tidak terpenuhi, atau kebijakan yang mereka anggap merugikan. Isu-isu seperti penegakan hukum yang tumpul, utang nasional yang membengkak, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan tuduhan campur tangan politik seringkali menjadi sumber utama kritik.

Bagi para pencelanya, Jokowi mungkin dianggap tidak konsisten dengan visi dan misi awalnya, atau bahkan terlalu fokus pada pencitraan. Mereka mungkin merasa bahwa pembangunan infrastruktur yang digembar-gemborkan tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, atau bahwa perekonomian hanya menguntungkan segelintir orang. Beberapa juga mengkhawatirkan kebebasan berpendapat dan potensi kembalinya praktik-praktik yang mereka anggap tidak demokratis.

Ketika suatu isu dianggap merugikan rakyat atau kebijakannya tidak populer, para penentang Jokowi sering turun ke jalan untuk memprotes atau berdemonstrasi. Ini adalah bentuk ekspresi ketidakpuasan yang paling langsung dan nyata, dengan tujuan menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau mendengarkan aspirasi mereka.

Para penentang juga berperan aktif dalam menyebarkan informasi yang menyoroti kelemahan atau kegagalan pemerintah, atau bahkan opini yang sangat kritis terhadap Jokowi secara pribadi atau kebijakannya. Terkadang, informasi ini dapat berupa data yang dikurasi untuk mendukung argumen mereka, atau bahkan hoaks yang bertujuan mendiskreditkan mereka.

Mereka cenderung berfokus pada kelemahan, janji yang tidak terpenuhi, atau dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah atau lingkaran Jokowi. Setiap kali ada kasus korupsi, kenaikan harga, atau isu kontroversial lainnya, mereka menyorotinya dan menggunakannya sebagai bukti kegagalan kepemimpinan Jokowi.

Terus Berlanjut?

Fenomena cinta dan benci yang terus berlanjut terhadap Jokowi, meskipun ia tak lagi menjabat sebagai presiden, merupakan hal yang lumrah dalam dinamika politik modern, terutama di negara demokrasi seperti Indonesia. Berikut ini adalah jawabannya. Pertama, Jokowi telah menjabat selama dua periode penuh, dengan total 10 tahun. Selama masa jabatannya, ia meninggalkan “warisan” atau kebijakan yang signifikan, terutama dalam pembangunan infrastruktur, program bantuan sosial, dan stabilitas ekonomi (meskipun hal ini juga sering diperdebatkan).

Mereka yang mencintainya melihat warisan ini sebagai bukti nyata keberhasilan dan kemajuan. Mereka telah merasakan manfaat langsung dari jalan tol, bandara, dan program KIS/KIP. Mereka percaya bahwa fondasi yang diletakkan Jokowi akan terus membawa kebaikan di masa depan. Oleh karena itu, rasa hormat dan apresiasi mereka tetap ada.

Namun, mereka yang membencinya mungkin memandang warisan ini dari sudut pandang yang berbeda. Infrastruktur dianggap membebani utang nasional, program sosial dianggap kurang tepat sasaran, atau kebijakan ekonomi justru memperlebar ketimpangan. Mereka mungkin merasa bahwa dampak negatif dari kebijakan Jokowi akan terus terasa bahkan setelah ia meninggalkan jabatannya, yang menyebabkan kritik dan kekecewaan yang berkepanjangan.

Baca Juga :  SABAR MENAHAN PERIH

Kedua, pemilihan presiden 2014 dan 2019 menciptakan polarisasi politik yang intens di masyarakat. Pendukung dan penentang Jokowi terbagi menjadi dua kubu yang berbeda, seringkali berdasarkan isu identitas, ideologi, dan bahkan sentimen emosional. Manusia cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok yang memiliki nilai dan pandangan yang sama. Ketika seseorang telah mengasosiasikan diri secara kuat dengan “kubu Jokowi” atau “kubu oposisi Jokowi” selama bertahun-tahun, identifikasi ini tidak serta merta hilang ketika masa jabatan berakhir. Polarisasi ini menciptakan mentalitas “kita versus mereka”. Kecintaan terhadap satu pihak seringkali berujung pada ketidaksetujuan atau bahkan antipati terhadap pihak lain. Mekanisme psikologis ini mendorong persistensi loyalitas atau oposisi.

Ketiga, media sosial memainkan peran penting dalam melestarikan pandangan. Individu cenderung terpapar informasi dan opini yang memperkuat keyakinan mereka sendiri (ruang gema). Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang relevan dengan minat pengguna, sehingga pendukung akan secara konsisten melihat konten positif tentang Jokowi, dan lawan akan secara konsisten melihat kritik. Hal ini memperkuat pandangan yang sudah ada. Bahkan setelah lengser, narasi tentang Jokowi (baik positif maupun negatif) akan terus diproduksi dan disebarluaskan oleh akun-akun yang mendukung maupun menentangnya, sehingga isu ini tetap relevan di ranah publik.

Keempat, mantan presiden seringkali masih memiliki pengaruh politik. Keterlibatan Jokowi dalam dinamika politik pasca-kepresidenan, meskipun tidak langsung, dapat menjadi katalisator sentimen yang berkelanjutan. Bagi banyak orang, Jokowi bukan sekadar seorang presiden, tetapi juga simbol perubahan, harapan, atau, sebaliknya, kekecewaan. Simbolisme ini tidak hilang dengan kepergiannya. Jika ada persepsi bahwa Jokowi masih memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan pemerintahan berikutnya, baik positif maupun negatif, maka sentimen terhadapnya akan tetap relevan.

Kelima, hubungan antara warga negara dan pemimpin mereka seringkali melibatkan aspek emosional yang mendalam, bukan hanya aspek rasional. Banyak pendukung mengembangkan loyalitas emosional yang kuat. Mereka merasa bangga, berharap, atau bahkan berhutang budi atas apa yang mereka anggap telah dicapai Jokowi. Sebaliknya, bagi mereka yang sangat kecewa, perasaan frustrasi, marah, atau bahkan pengkhianatan juga dapat bertahan. Mereka mungkin merasa kritik mereka tidak didengar atau isu-isu yang mereka pedulikan belum terselesaikan.

Pada akhirnya, Jokowi merupakan cerminan kompleksitas masyarakat Indonesia itu sendiri. Latar belakang, minat, dan pengalaman yang berbeda membentuk pandangan seseorang terhadap seorang pemimpin. Tidak ada pandangan yang sepenuhnya benar atau salah, karena setiap orang melihat sesuatu dari perspektif dan pengalamannya masing-masing.

Jokowi, seperti pemimpin lainnya, adalah manusia dan rentan terhadap kesalahan. Namun, ia juga memiliki sejumlah prestasi yang diakui secara luas. Perdebatan dan perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi. Yang krusial adalah bagaimana kita, sebagai warga negara, dapat menyikapi perbedaan ini dengan bijak, berpegang teguh pada fakta, dan menghindari terjebak dalam polarisasi yang dapat memecah belah bangsa.

Iklan
Iklan