Oleh : Dhiya
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Persoalan kemiskinan kembali menjadi perbincangan setelah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, sempat mengumumkan penurunan angka kemiskinan dalam pidatonya. Menurut beliau infomasi tersebut didapatkan langsung dari Bos BPS. Namun, banyak yang meragukan data tersebut dan meganggap perlunya melakukan perbaikan data. Meski pada akhirnya diungkapkan bahwa BPS sempat menunda pengumaman data tersebut (BBCNews, 25/07/25).
Sangat wajar jika banyak pihak yang mempertanyakan keakuratan data tersebut. Sebab, fakta yang terjadi di masyarakat justru kemiskinan semakin nyata melanda. Misalnya, daya beli masyarakat saat ini terasa semakin menurun dan angka PHK tahun ini naik 32,19%. Direktur Eksekutif INDEF, Esher Sri Astuti mengatakan bahwa metode pengukuran kemiskinan perlu diperbaharui karena garis kemiskinan yang dipakai adalah garis kemiskinan lama sehingga dinilai terlalu rendah, terlalu jauh dengan upah minimum di tiap provinsi (UMP). Di sisi lain masih ada bantuan sosial dari pemerintah, mulai dari bantuan subsidi upah (BSU) dan program harapan Keluarga (PKH), bahkan sempat ada diskon tarif listrik (BBCNews, 25/07/25), hal tersebutlah yang memungkinkan data belum akurat dan belum menggambarkan peningkatan kesejahteraan.
Memang, persoalan kemiskinan merupakan hal yang sangat krusial bagi negara. Para ekonom seperti Esher, Faisal, Eko, sepakat bahwa kemiskinan sebagai komoditas yang seksi bagi para aktor politik. Kesuksesan kepemimpinan dan pembangunan sering merujuk pada angka kemiskinan. Dan saat ini garis kemiskinan Indonesia sudah semakin mendekati batas Ekstrem yang ditetapkan Bank Dunia (BBCNews, 25/07/25).
Pada dasarnya, kapitalisme memang menciptakan jurang kemiskinan. Sebab sumber kemiskinan itu sendiri berasal dari kebebasan berekonomi yang meniscayakan para pemilik modal memiliki hak untuk menguasai hajat hidup orang banyak seperti sumber daya alam, sarana dan prasarana yang sebagian harusnya dimiliki negara dan rakyat bisa mengaksesnya secara cuma-cuma. Akibatnya beban rakyat menjadi semakin berat, mereka harus selalu merogoh saku untuk memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan paling mendasar hingga tersier. Uang yang berjumlah fantastis hanya berputar di kalangan elit, sedangkankan rakyat biasa hanya mendapatkan remah-remahnya. Akhirnya, yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.
Belum lagi beban pajak yang semakin masif menjalar ke berbagai sektor. Sebab kapitalisme menjadikan pajak dari rakyat sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara. Adam Smith, Bapak Ekonomi Modern, dalam bukunya menyatakan bahwa negara sebaiknya tidak terlalu ikut campur dalam ekonomi, tapi harus memastikan keberlangsungan sistem melalui penerimaan pajak dari individu dan korporasi.
Berbeda dengan Islam yang dalam sistem ekonominya memastikan bahwa harta harus terdistribusi kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal ini sudah dengan tegas disebutkan didalam firman Allah Azza wa Jalla, Harta rampasan fai yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dan penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orang-orang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya berbeda di antara orang-orang kaya saja diantara kamu…. (QS. Al-Hasyr: 7).
Termasuk di dalam Islam adalah larangan menimbun harta, kewajiban membayar zakat, pembagian kepemilikan menjadi tiga bagian yakni kepemilikan umum, individu dan kepemilikan negara yang tidak boleh diganggu gugat, sebab itu bagian dari ketetapan hukum syara. Akibatnya, terjadi pemerataan dan distribusi harta yang baik.
Negara juga wajib menyediakan lapangan perkejaan bagi kepala keluarga agar nafkah keluarganya bisa terpenuhi. Sebagaimana dulu ada salah seorang kaum Anshar datang kepada Rasulullah, lalu Rasulullah bertanya, Apa kamu punya sesuatu di rumah?. Ia menjawab, Ada, hanya kain kecil yang sebagian kami pakai dan sebagian kami jadikan alas dan ada mangkuk untuk minum. Lalu Rasulullah meminta lelaki itu membawa keduanya kepada Rasulullah dan menjualnya dengan harga dua dirham, satu dirhamnya untuk membeli makan keluarga, sedangkan satu dirhamnya lagi untuk untuk membeli kapak. Rasulullah memerintahkan laki-laki tersebut mencari kayu dengan kapak tersebut. Setelah 15 hari lelaki itu datang kembali kepada Rasulullah membawa hasil kerjanya sebanyak 10 dirham.
Begitulah Rasulullah sebagai kepala negara meri’ayah ummat, beliaulah yang seharusnya menjadi contoh bagi setiap pemimpin masa kini. Sebab bicara kemiskinan bukan sekedar citra dan deretan angka yang dibuat-buat standarnya sekehendak manusia. Beliau memimpin ummat dalam seluruh aspek kehidupan berdasarkan wahyu bukan hawa nafsu. Maka dari itu penting bagi kaum muslim untuk mengembalikan kepemimpinan Islam yang telah beliau bangun agar diterapkan Islam sebagai aturan hidup secara menyeluruh.