Oleh : Nor Aniyah, S.Pd.
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan penurunan angka kemiskinan kepada Presiden Prabowo Subianto. Presiden menyatakan angka kemiskinan absolut di Indonesia menurun. Pernyataan ini diungkapkan dalam Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Jawa Tengah, Minggu (20/7/2025). Namun, data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2025 masih terdapat 23,85 juta penduduk miskin. Secara persentase, jumlah tersebut mencapai 8,74%, turun 0,1 persen poin dibanding September 2024. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS menjelaskan jumlah penduduk miskin turun 0,2 juta orang dibanding periode sebelumnya (cnbcindonesia.com).
Meski dikatakan menurun, tetap saja angka kemiskinan 23,85 juta orang menunjukkan banyak masyarakat hidup dalam kondisi kekurangan. Jumlah ini sangat besar dan menggambarkan pahitnya realitas kemiskinan di negara yang cenderung memprioritaskan pencitraan. Indonesia saat ini menerapkan sistem Kapitalisme, yang secara struktural menimbulkan ketimpangan.
Kapitalisme mendorong kemiskinan ekstrem karena prinsip kebebasan kepemilikan. Dalam sistem ini, swasta maupun korporasi berhak menguasai harta milik umum, termasuk sumber daya alam. Akibatnya, kekayaan yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat justru mengalir ke kantong pribadi dan korporasi. Selain itu, pasar bebas yang melegalkan monopoli kebutuhan publik semakin memperparah kondisi masyarakat miskin. Demi menjaga citra, negara memainkan angka kemiskinan sehingga klaim kemiskinan turun sering tidak mencerminkan kenyataan.
Berbeda dengan Kapitalisme, Islam memiliki mekanisme konkret untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama, Islam mengatur kepemilikan harta secara adil agar tidak terpusat pada kelompok tertentu. Allah SWT berfirman: Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS. al-Hasyr: 7).
Shaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam Nizhamul Iqtishadi fil Islam bahwa harta dalam Islam dibagi menjadi tiga: harta milik umum, harta milik negara, dan harta milik pribadi.
Harta milik umum (al-milkiyyah ‘ammah) mencakup sumber daya alam seperti minyak, gas, tambang, dan mineral. Harta ini haram dikuasai individu atau korporasi dan harus dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Prinsip ini mencegah eksploitasi dan memastikan distribusi kekayaan lebih merata. Harta milik negara adalah hak kaum Muslim, sementara pengelolaannya berada di tangan Khalifah, misalnya fai, kharaj, dan jizyah. Harta milik pribadi meliputi tanah, ladang, dan barang bergerak yang boleh dimiliki individu. Pembagian ini tidak boleh tercampur, karena akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang mengakibatkan kemiskinan. Jika harta milik umum dikelola negara secara syari, kemiskinan dapat diatasi.
Kedua, Islam menekankan syariat zakat, infak, dan sedekah. Mekanisme ini menjamin distribusi kekayaan secara langsung. Orang kaya didorong menyalurkan hartanya kepada orang miskin, baik secara langsung maupun melalui Baitul Maal. Dana zakat didistribusikan kepada delapan asnaf sesuai ketentuan Al-Quran, termasuk fakir dan miskin. Dengan mekanisme ini, kemiskinan bisa diminimalkan.
Ketiga, Islam mewajibkan setiap laki-laki mencari nafkah, sementara negara memastikan kesempatan kerja dan penghasilan layak bagi seluruh warga. Negara Khilafah menyediakan lapangan kerja melalui sektor riil seperti perdagangan, pertanian, jasa, dan industri. Jaminan pekerjaan memastikan roda ekonomi berputar dan mengurangi kemiskinan.
Keempat, Islam mewajibkan negara menjadi pihak yang menjamin kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jika beban ini diserahkan pada individu, diskriminasi seperti di sistem Kapitalisme akan terjadi. Oleh karena itu, negara menyediakan layanan ini secara gratis agar semua warga mendapatkan kualitas yang setara. Rasulullah SAW bersabda, Imam (kepala negara) atau Khalifah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggungjawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. An-Nasa’i).
Mekanisme pengentasan kemiskinan dalam Islam hanya bisa diterapkan jika ada negara yang menjalankan syariat Islam secara kaffah, yaitu Daulah Khilafah. Kembalinya Khilafah diyakini akan menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas, bukan sekadar mengotak-atik angka.
Sementara itu, sistem Kapitalisme telah menciptakan gaya hidup yang tidak sesuai fitrah manusia dan memperparah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ini membuat masyarakat rentan tergiur jalan pintas, misalnya melalui judi online atau pinjaman online. Negara seharusnya menomorsatukan kepentingan rakyat dan mengurangi fokus pada kepentingan pribadi penguasa atau kelompok tertentu. Dalam situasi ketimpangan ekonomi yang parah, wacana alternatif seperti sistem ekonomi Islam menjadi relevan dan penting untuk diperjuangkan.
Kondisi kemiskinan saat ini bukan sekadar soal data statistik, tetapi mencerminkan kegagalan sistem dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Kapitalisme menempatkan keuntungan individu atau korporasi di atas kesejahteraan umum, sementara Islam menempatkan negara sebagai pengelola dan penjamin kesejahteraan rakyat. Implementasi prinsip-prinsip Islam, seperti kepemilikan harta yang adil, distribusi zakat, jaminan pekerjaan, dan penyediaan kebutuhan publik, dapat menghapus kemiskinan secara nyata.
Kesimpulannya, kemiskinan bukan masalah angka, melainkan masalah sistemik yang memerlukan kepemimpinan yang benar dan sistem yang adil. Negara yang berorientasi pada kepentingan rakyat, seperti yang diajarkan Islam, mampu menurunkan kemiskinan secara signifikan dan memastikan kesejahteraan merata bagi seluruh masyarakat. Daulah Khilafah menjadi solusi ideal untuk memastikan kemiskinan bukan lagi realita pahit, tetapi masalah yang teratasi secara menyeluruh.