Oleh Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Kementerian Agama RI resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menag Nasaruddin Umar menyebut KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.
Kurikulum Berbasis Cinta dibangun di atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yaitu: Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada diri dan sesama, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa dan negeri.
Jangan sampai kita mengajarkan agama, tapi tanpa sadar menanamkan benih kebencian kepada yang berbeda. Kurikulum ini adalah upaya menghadirkan titik-titik kesadaran universal dan membangun peradaban dengan cinta sebagai fondasi,” ujar Nasaruddin dalam siaran persnya, Jumat (25/7/2025). (republika.co.id, 26/07/2025).
Dia menekankan pentingnya menjadikan cinta sebagai inti dari pendidikan. Menurut dia, spiritualitas harus kembali menjadi roh pendidikan, termasuk dalam pendekatan ekoteologi, yakni kesadaran bahwa manusia bukan penguasa atas alam, tetapi bagian dari sistem kehidupan yang saling menjaga.
Tampak jelas arah kurikulum ini merombak secara mendasar pengajaran Islam yang lama. Ada beberapa asumsi dan pemikiran mendasar yang perlu dikritisi dan diwaspadai.
Moderasi dan Sekularisasi
Kurikulum Berbasis Cinta sebagai kerangka dan konten pengajaran Islam menjadi bentuk konkret dan lengkap pengajaran Islam moderat yang sangat deras diprogramkan. Moderasi beragama dipaksakan menjadi pilihan untuk menggantikan paham Islam yang politis dan ingin mendominasi sebagai ideologi dan sistem. Asumsi atau tuduhan dibalik moderasi adalah bahwa pengajaran dan dakwah Islam kaffah yang berkembang selama ini penuh dengan paham yang radikal, ekstrem, sarat dengan kebencian dan intoleransi. Selain itu ada anggapan yang dinyatakan secara tersurat dan tersirat bahwa kandungan agama Islam dan pemahaman umat Islam adalah sumber masalah dan monster bagi tatanan sekuler hari ini. Asumsi-asumsi tersebut bisa diuji dan lebih tampak sebagai tuduhan tanpa dasar. Apakah keimanan yang kokoh dengan truth claim monopoy (monopoli klaim kebenaran) dan fanatisme kepada syariat akan memanifestasikan kebencian pada umat beragama lain dan golongan lain? Apakah umat Islam yang mayoritas tidak boleh menerapkan sistem Islam kaffah
dan harus menjadi sekuler? Apakah penerapan Islam kaffah akan menindas dan merugikan minoritas?
Padahal asumsi yang sama bisa melekat pada pihak yang menuduh. Truth claim monopoli dan fanatisme melekat pada semua agama. Justru penuduh lah yang ekstrem, radikal dan penuh kebencian pada Islam dan dakwah serta pengajaran Islam seraya menutup mata bahwa sumber masalah multi dimensi adalah kegagalan kapitalisme sekuler. Pemaksaan sistem sekuler kapitalisme adalah wujud intoleransi pada mayoritas muslim. Lebih dari itu realitas kegagalan sistem sekuler kapitalisme, mendorong umat untuk menata hidup mereka dengan Islam. Namun semangat umat yang ingin hijrah dan kembali pada Islam kaffah, yaitu penerapan seluruh hukum-hukum syariat baik untuk pribadi, keluarga, masyarakat dan negara direspon dengan sikap sinisme dan permusuhan.
Ala kulli hal, tujuan kurikulum ini adalah deradikalisasi sejak dini, dengan segala macam bentuknya. Islam ditundukkan dengan nilai-nilai cinta, sebagaimana Islam ditundukkan agar sesuai dengan nilai-nilai Barat yang sekuler. Standar atau asas sekularisme dibungkus dengan istilah cinta.
Generasi akan jauh dari aturan agama, dan menjadikan akal sebagai sumber hukum dan penentu segala sesuatu. Padahal dalam Islam sekularisme adalah ide yang salah dan batil. Ide sekulerisme melemahkan umat karena tidak punya standar yang sahih dalam berpikir, bersikap dan berbuat.
Lebih dari itu, cinta sebagai basis tidak bisa menjadi arah berpikir dan berbuat manusia. Manusia membutuhkan pemikiran dan hukum-hukum sebagai solusi nyata dalam menyikapi setiap masalah dan perkara. Manusia memerlukan sistem kehidupan. Nilai-nilai justru datang sebagai buah dari aturan-aturan yang menjadi solusi dan pemandu. Jika nilai menjadi basis maka hukum-hukum akan dipermainkan oleh akal dan rasa manusia. Tidak heran klaim cinta tanah air namun korupsi semakin menjadi-jadi. Cinta alam dan lingkungan tapi membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan alam dan membiarkan kerusakan alam oleh kerakusan dan keserakahan pemilik modal. Mengedepankan cinta tapi buta bagaimana tata pergaulan laki-laki dan perempuan akan menjerumuskan manusia pada keliaran dan kehidupan bebas yang rusak dan merendahkan. Cinta kemanusiaan, namun kosong dari aksi nyata menghentikan penjajahan dan kebiadaban entitas Zionis pada rakyat Gaza dan Palestina.
Walhasil, cinta tidak layak menjadi dasar bagi pembentukan manusia dan arah kehidupan generasi. Pendidikan sebagai bidang strategis bagi masa depan bangsa harus memiliki asas yang benar untuk mengarahkan generasi.
Islam menetapkan kurikulum harus berbasis akidah Islam, bukan yang lain. Karena akidah adalah asas kehidupan setiap muslim, termasuk asas negara Islam. Negara punya kewajiban menjaga akidah rakyatnya di antaranya dengan menjadikan akidah Islam sebagai asas. Apalagi dalam pendidikan yang merupakan bidang strategis bagi masa depan bangsa.
Akidah Islam menjadi pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Pemikiran ini akan menjadi basis bagi seluruh pemikiran cabang termasuk pemikiran tentang hukum-hukum perbuatan manusia. Keimanan pada akidah menghantarkan pada adopsi syariat kaffah.
Profil generasi dengan penanaman akidah dan syariat akan menjadi profil dan sosok hakiki yang khas. Spiritualitas dan politis akan menyatu. Menjadi hamba Allah sekaligus khalifatullah fil ardhi, wakil Allah di muka bumi.
Hukum-hukum Islam yang diterapkan akan merealisasikan dan membuahkan nilai-nilai yang dibutuhkan manusia yaitu nilai moral seperti jujur, adil, amanah, nilai kemanusiaan dan nilai spiritual atau ruhiyah.
Kemuliaan Islam tidak hanya terlihat dalam tataran konseptual, namun terwujud secara praktis dalam kehidupan. Bahkan para sejarawan non muslim mengakui kegemilangan peradaban Islam di masa Khilafah. Jacques C. Reister berkomentar, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.”
Bahkan yang menarik sekaligus mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia, termasuk dunia Barat, juga diakui oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Dalam pidatonya pada 5 Juli 2009, dia menyatakan, “Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa..” (http://jakarta.usembassy.gov.). Wallahu alam bis shawab.