Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kurikulum Cinta : Deradikalisasi atau Saling Mencintai Tanpa Akidah?

×

Kurikulum Cinta : Deradikalisasi atau Saling Mencintai Tanpa Akidah?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Fatimah
Aktivis Muslimah

“Kalau cinta dijadikan tameng untuk menjauhkan umat dari agamanya sendiri, maka itu bukan cinta tapi penyesatan yang sistematis.”

Kalimantan Post

Unik! Kementerian Agama (Kemenag) kembali luncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai gagasan pendidikan Islam nasional. Dengan jargon humanis, kurikulum ini digadang sebagai solusi atas berbagai krisis dari intoleransi, kekerasan, hingga degradasi lingkungan. Nasaruddin Umar (menag) menyebutnya sebagai “langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional.”

Namun, di balik manis kata “cinta”, ada bahaya besar yang sedang mengintai generasi Muslim. Kurikulum ini bukan sekadar perubahan teknis dalam dunia pendidikan. Ia adalah proyek ideologis bernama deradikalisasi sejak dini, yang menyasar akar keyakinan umat Islam, terutama generasi mudanya.

Pelan-pelan, nyatanya kurikulum ini tidak mengajarkan generasi untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya secara sempurna, melainkan membentuk mereka agar curiga kepada saudaranya sendiri yang berusaha mengamalkan Islam secara menyeluruh. Kurikulum ini justru bisa membuat anak-anak muslim takut atau ragu terhadap ajaran Islam yang menyeluruh. Misalnya, jika ada yang ingin belajar dan mengamalkan Islam secara total, bisa saja dicap radikal, ekstrem, bahkan dianggap berbahaya. Pengajian dibubarkan, ustaz diawasi, dan dakwah dikekang.

Yang lebih mengkhawatirkan, kurikulum ini justru mendorong generasi muslim bersikap lembut berkedok toleran kepada nonmuslim, tapi keras dan curiga kepada sesama muslim yang taat. Rumah ibadah non muslim dijaga, hari raya mereka dirayakan bersama, sementara dakwah Islam justru dibatasi. Padahal Islam telah menegaskan prinsip yang seimbang: menghormati sesama manusia tanpa mencampuradukkan akidah. Ini tentu membuat umat bingung: kok terasa seperti membela yang lain, tapi menekan saudara sendiri?

Apa yang disaksikan hari ini sebenarnya bukan hal baru. Kita pernah melihat skenario yang serupa terjadi satu abad lalu, saat Khilafah Utsmaniyah di Turki diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Salah satu langkah paling awal yang ia lakukan adalah memisahkan agama dari kehidupan (sekularisasi).

Baca Juga :  80 Tahun Merdeka: Pendidikan dan Kesehatan Masih Jauh dari Asa

Ataturk menyingkirkan hukum Islam dari sistem pemerintahan, menggantinya dengan hukum barat. Bahasa Arab dilarang dalam adzan dan pendidikan. Masjid-masjid diubah jadi museum. Islam dijadikan urusan pribadi, bukan sistem kehidupan. Apa hasilnya? Runtuhnya peradaban Islam dan hilangnya identitas umat.

Islam memandang pendidikan sebagai alat strategis untuk menjaga akidah, membentuk karakter, dan membangun peradaban. Karena itu, kurikulum dalam Islam wajib berbasis aqidah Islam, bukan nilai-nilai universal yang kInilah indikasi kuat bahwa Kurikulum ini berpijak pada asas sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Sekularisme menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum, bukan wahyu. Pada dasarnya segala kebenaran diletakkan pada akal dan kebiasaan. Ini adalah paham batil yang ditolak dalam Islam, karena fitrah manusia adalah tak pernah sempurna dan akan selalu mengutamakan keuntungan pribadi. Maka sangat wajar jika kurikulum ini menjauhkan generasi dari keterikatan pada syariat, dan menggiring mereka pada pandangan liberal dan relativistik.

osong dari ruh keimanan. Negara Islam (Khilafah) memiliki tanggung jawab penuh dalam menyusun kurikulum yang mencetak generasi berkepribadian Islam, berpikir syar’i, dan terikat dengan hukum Allah dalam setiap aspek kehidupan.

Bila aqidah ditanamkan kuat sejak dini, maka generasi akan tumbuh menjadi pribadi yang taat, tangguh, dan mampu menyelesaikan persoalan hidup dengan panduan syariat, bukan dengan ide-ide asing yang tak berpijak pada kebenaran.

Sudah saatnya umat Islam menyadari cinta sejati bukan tentang menghapus identitas keislaman demi diterima dunia, tapi menumbuhkan kasih karena Allah, dan mencintai kebenaran meski harus berbeda. Kurikulum Islam sejati adalah yang membentuk hati yang tunduk pada syariat, bukan tunduk pada arus sekularisme global.

Bukan hanya omong belaka, kuatnya aqidah pernah menjadi kokohnya masa keemasan Islam terkhususnya di bidang pendidikan yang mana munculnya tokoh-tokoh luar biasa. Pendidikan berdasarkan tauhid dan Islam dijadikan pondasi utama dalam semua aspek kehidupan telah membentuk ilmuwan seperti ahli medis Ibnu Sina, matematikawan Al Khawarizmi, ahli astronomis Al-Biruni, dan masih banyak lagi. Tak hanya pendidikan, politik dijalankan berdasarkan amanah dan tanggung jawab kepada Allah, bukan pada nafsu kekuasaan. Serta ekonomi dijalankan secara adil karena haram riba, haram korupsi, dan zakat wajib, yang membuat distribusi kekayaan lebih merata. Hasilnya selama lebih dari 13 abad, umat Islam memimpin dunia bahkan menjadi acuan ilmuwan terkenal dalam peradaban, ilmu pengetahuan, stabilitas sosial, dan kemajuan teknologi, tanpa adanya masalah perbedaan agama.

Iklan
Iklan