Oleh: Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom.
Pustakawati UIN Antasari Banjarmasin
Di usia kemerdekaan yang ke-80, Indonesia kembali mengusung tema Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju. Tema ini mengingatkan kita bahwa kemajuan bangsa tak hanya diukur dari gedung pencakar langit atau jalan tol yang membentang, melainkan dari kualitas sumber daya manusianya. Sebab, kemerdekaan sejati tak cukup diartikan sebagai bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari kemiskinan informasi, keterbatasan pengetahuan, dan ketertinggalan keterampilan.
Di sinilah literasi memegang peran kunci. Bukan sekadar kemampuan mengeja huruf atau membaca kalimat, literasi yang dimaksud adalah keterampilan komprehensif: memahami informasi, berpikir kritis, mengolah data, dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas hidup. Literasi adalah fondasi bagi kesejahteraan. Tanpanya, pembangunan hanya akan menjadi bangunan tanpa penghuni yang siap memanfaatkannya.
Literasi dan Kesejahteraan
Banyak penelitian menunjukkan keterkaitan langsung antara tingkat literasi dengan peluang ekonomi. UNESCO mencatat bahwa peningkatan literasi dewasa berbanding lurus dengan naiknya produktivitas kerja dan pendapatan masyarakat. Individu yang literat lebih adaptif menghadapi perubahan pasar kerja, lebih berpeluang mendapatkan pekerjaan layak, dan lebih mampu mengelola usaha sendiri.
Kita tak perlu jauh-jauh mencari buktinya. Lihat saja para pelaku UMKM yang mampu memanfaatkan platform digital. Mereka yang memahami cara membaca tren pasar, mengelola data penjualan, dan memasarkan produk secara daring umumnya berhasil memperluas pasar dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, pelaku usaha yang kurang literat digital seringkali tertinggal, bahkan di pasar lokalnya sendiri.
Indonesia memang telah berhasil menurunkan angka buta huruf secara signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, tingkat melek huruf nasional kini berada di atas 96 persen. Namun, tantangan terbesar ada pada literasi fungsional: kemampuan menggunakan keterampilan baca-tulis untuk memecahkan masalah nyata.
Sayangnya, indeks literasi membaca kita masih tertinggal dibanding negara lain. Survei Programme for International Student Assessment (PISA) menempatkan kemampuan membaca siswa Indonesia di peringkat bawah. Artinya, banyak warga kita yang bisa membaca teks, tetapi kesulitan memahami makna, apalagi menilai validitas informasi.
Era digital memberi peluang besar, tapi juga ancaman nyata. Kemampuan mengakses internet bukanlah jaminan literasi digital. Indeks literasi digital nasional yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika masih berada pada kategori sedang. Ini menunjukkan kesenjangan kompetensi di antara masyarakat, baik antardaerah maupun antarusia.
Dalam situasi ini, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Kita memerlukan warga yang tak hanya mampu menggunakan gawai, tetapi juga kritis terhadap informasi yang beredar, mampu memfilter hoaks, dan memahami etika berinteraksi di dunia maya. Sebab, banjir informasi tanpa kemampuan menyaringnya hanya akan menambah kebingungan dan potensi konflik.
Garda Depan Literasi
Meningkatkan literasi bukan hanya tugas sekolah. Perpustakaan umum, taman baca masyarakat, dan pusat kegiatan belajar bisa menjadi ruang aman bagi siapa saja untuk mengasah kemampuan membaca, mengakses informasi, hingga belajar teknologi dasar.
Pengalaman di banyak daerah menunjukkan bahwa ketika perpustakaan diperlengkapi dengan koleksi relevan, akses internet, dan program pelatihan, warga terutama di daerah terpencil menjadi lebih percaya diri dan produktif. Seorang petani di desa, misalnya, bisa mempelajari teknik pertanian organik dari buku dan internet, lalu mempraktikkannya untuk meningkatkan hasil panen.
Namun, semua ini butuh dukungan kebijakan dan pendanaan. Pustakawan yang terlatih, fasilitas memadai, serta sinergi dengan komunitas lokal akan membuat perpustakaan menjadi pusat literasi yang hidup.
Kesehatan dan Demokrasi
Literasi juga memengaruhi kualitas hidup dalam bidang kesehatan. Masyarakat yang mampu memahami informasi medis lebih patuh pada program imunisasi, lebih cepat mencari pertolongan ketika sakit, dan lebih bijak dalam mengonsumsi obat.
Di bidang demokrasi, literasi informasi membantu warga menilai janji politik, membedakan fakta dari opini, dan berpartisipasi secara sehat dalam diskusi publik. Tanpa literasi, ruang demokrasi bisa mudah dibanjiri ujaran kebencian dan berita palsu.
Strategi Nyata
Agar literasi benar-benar menjadi jalan menuju kesejahteraan, diperlukan strategi nasional yang terpadu. Diantaranya adalah dengan adanya integrasi literasi informasi dan digital di sekolah dmulai sejak pendidikan dasar. Kemudian melalui program literasi dewasa yang fokus pada kelompok rentan dan daerah tertinggal. Adanya penguatan perpustakaan umum sebagai pusat pembelajaran seumur hidup. Disamping membangun kolaborasi publik-swasta untuk memperluas akses internet dan perangkat, serta terus melakukan kegiatan kampanye budaya membaca yang konsisten, bukan hanya saat peringatan Hari Buku.
Program ini tidak memerlukan biaya raksasa jika melibatkan masyarakat dan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada. Justru, investasi literasi adalah investasi dengan imbal hasil sosial-ekonomi paling tinggi.
Pada peringatan HUT RI ke-80 ini, mari kita maknai kembali kemerdekaan. Kemerdekaan bukan hanya simbol kedaulatan politik, tetapi juga kebebasan warga untuk mengakses dan memanfaatkan informasi demi masa depan yang lebih baik.
Membiarkan kesenjangan literasi berarti membiarkan sebagian rakyat terbelenggu dalam ketidaksetaraan. Sebaliknya, memperkuat literasi berarti memperbesar peluang setiap warga untuk sejahtera. Mari mulai dari hal yang paling fundamental yaitu literasi. Jika kita ingin Indonesia benar-benar maju dan sejahtera, maka literasi harus menjadi program nasional yang lintas sektoral dan lintas generasi. Mari kita jaga semangat kemerdekaan dengan membangun bangsa yang literat, kritis, dan adaptif. Sebab di tangan warga yang literatlah kesejahteraan itu akan menemukan jalannya.