Oleh : SITI SABARIYAH
Gaza kembali menjadi medan darah. Teriakan anak-anak, ratapan ibu, dan runtuhnya bangunan menjadi pemandangan yang terus terulang, seolah dunia sudah mati rasa. Kali ini, luka itu semakin dalam setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terang-terangan mengumumkan rencana penguasaan penuh atas Gaza. Dunia marah, PBB bersuara, negara-negara mengutuk—namun kita semua tahu, kecaman demi kecaman hanyalah gema kosong yang tak pernah menghentikan peluru dan bom Zionis.
Pada 8 Agustus 2025, CNBC Indonesia melaporkan pernyataan resmi Netanyahu tentang rencana full occupation Gaza, disambut ancaman perlawanan dari Hamas (08/08/2025). Sehari sebelumnya, Kumparan News memberitakan bahwa Pemerintah Indonesia mengecam keras rencana tersebut, menyebutnya sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional (07/08/2025). Namun, fakta pahitnya, kecaman seperti ini sudah puluhan tahun terdengar dan tak pernah membuahkan hasil.
Sementara itu, BBC Indonesia (06/08/2025) mengingatkan bahwa Gaza bahkan sebelum pengumuman ini sudah terkunci dalam blokade, kekurangan pangan, obat-obatan, dan listrik. BeritaSatu (08/08/2025) mengungkapkan kecaman PBB, meskipun sejarah membuktikan PBB tak mampu memaksa Zionis mundur. Bahkan Tirto (08/08/2025) membongkar bahwa agresi Israel sarat kepentingan ekonomi, termasuk eksploitasi sumber daya Gaza. Semua ini menunjukkan bahwa penjajahan yang mereka lakukan bukanlah sekadar urusan politik, tetapi juga kerakusan ekonomi.
Benang merahnya jelas, ini bukan krisis kemanusiaan biasa, ini adalah penjajahan yang terstruktur, terencana, dan terus-menerus diperbarui. Gaza bukan sekadar korban perang, tapi korban kezaliman sistematis yang dibiarkan dunia internasional.
Sudah lebih dari 75 tahun, Palestina berdarah. Sistem internasional yang katanya menjunjung tinggi keadilan telah terbukti gagal total. Resolusi demi resolusi hanya jadi tinta di atas kertas, sementara tanah Palestina terus dirampas. Islam memandang penjajahan sebagai dosa besar yang wajib dihentikan, dan caranya bukan dengan sekadar diplomasi, melainkan dengan kekuatan nyata yang terorganisir.
Allah SWT berfirman, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak…” (QS. An-Nisa: 75).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan bahwa pembebasan Palestina bukan tugas segelintir pejuang di Gaza, tetapi kewajiban seluruh umat Islam di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Khilafah-lah yang akan menggerakkan kekuatan militer, politik, dan ekonomi umat untuk memukul mundur penjajah, membebaskan tanah Palestina, dan menjaga agar tidak ada satu jengkal pun wilayah Islam dijajah kembali.
Gaza bukan sekadar berita—ia adalah luka di tubuh umat ini. Luka itu tidak akan sembuh dengan doa tanpa aksi, tidak akan kering dengan kecaman tanpa kekuatan. Ia hanya akan berhenti berdarah jika ada kekuatan Islam yang bersatu, dipimpin oleh Khalifah yang menggerakkan jihad fi sabilillah. Dan hari itu hanya akan datang jika kita semua bersungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya Khilafah. Karena kita tahu, tanpa itu, Gaza akan terus menangis… dan dunia akan terus berpura-pura tuli.