Oleh : Ikhsan Alhaque
ARTIKEL ini membicarakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)—bukan makna PBB lainnya seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Partai Bulan Bintang. PBB di sini adalah salah satu instrumen utama negara untuk membiayai pembangunan. Di atas kertas, PBB bersama pajak dan retribusi resmi lainnya merupakan wujud gotong royong modern, kontribusi rakyat yang diikat rasa cinta tanah air dan tekad memajukan bangsa.
Namun, makna luhur itu dapat bergeser ketika komunikasi publik dijalankan tanpa empati dan proses perumusannya menutup pintu partisipasi warga. Pajak yang seharusnya menjadi perekat kepercayaan justru bisa berubah menjadi pemicu luka sosial. Di titik ini, jarak antara rakyat dan pemerintah melebar—bukan karena rakyat enggan berkontribusi, tetapi karena mereka merasa tidak dihargai dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidupnya.
Perasaan tak dihargai itu bukanlah hal baru. Sejak berabad-abad silam, beban pajak yang diputuskan sepihak kerap memicu perlawanan. Kabupaten Pati adalah saksi sejarah—baik peristiwa yang sedang viral belakangan ini, maupun kejadian serupa di masa lalu.
Jejak perlawanan itu mencatat kisah heroik. Pada abad ke-16, Adipati Pragola menolak kenaikan upeti ±30% dari Kesultanan Demak. Kemudian tahun 1627–1628, Pragola II memimpin pemberontakan terhadap Kesultanan Mataram akibat beban pajak ±50% yang melambung. Tak kalah heroik, di abad ke-19 Samin Surosentiko memimpin Gerakan Samin menolak pajak kolonial, menjadi duri dalam daging Pemerintah Hindia Belanda.
Kini, luka sejarah itu terasa lagi. Tahun 2025, Bupati Pati menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen. Bagi warga, ini bukan sekadar angka—ini dentuman sejarah yang mengulang pola masa lalu.
Ledakan Pati dan Daftar “Kenaikan Brutal”
Kasus Pati menjadi polemik nasional bukan semata karena tingginya kenaikan, tetapi karena ia menyentuh urat nadi identitas warganya yang memiliki sejarah panjang perlawanan. Lonjakan ini menghantam langsung kantong wajib pajak kecil-menengah di tengah ekonomi yang masih rapuh. Sosialisasi yang minim, ditambah jejaring tokoh lokal dan aktivis yang solid, membuat isu ini cepat membakar emosi publik dan viral di media sosial.
Faktanya, Pati bukan satu-satunya daerah yang mengalami “lonjakan brutal” PBB tahun ini. Data menunjukkan deretan daerah dengan kenaikan mencengangkan: Banyuwangi naik 200 persen, Jombang 400 persen, Kabupaten Semarang 400 persen, Cirebon 1000 persen, Kabupaten Bone 300 persen, Kota Malang 300 persen, Kabupaten Jeneponto 400 persen, dan Kota Solo 400 persen.
Namun respons publik berbeda-beda, tergantung sejarah, struktur sosial, dan momentum politik. Untuk ini, kasus Pati memang lebih rumit dari sekedar hanya naiknya angka tagihan. Ujungnya, Bupati Sudewo di tawur oleh rakyatnya sendiri.
Kenaikan seperti ini sering dilihat publik sebagai bukti pemerintah daerah kurang peka atau sekadar mengejar target pendapatan untuk membiayai janji-janji politik kepala daerah terpilih. Namun persoalannya tak sesederhana itu. Ada faktor struktural yang mendesak: tekanan fiskal nasional.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, pada tahun anggaran 2025, Transfer ke Daerah (TKD) mengalami penyesuaian ketat akibat kebutuhan APBN menutup defisit dan mengalokasikan dana ke prioritas nasional lainnya. Beberapa pos subsidi yang dulu menopang daerah—seperti subsidi pupuk, energi, atau bantuan infrastruktur—mengalami pengurangan signifikan.
Akibatnya, banyak kepala daerah dihadapkan pada fiscal gap yang makin lebar. Pilihan yang tersisa, memangkas belanja, mencari pendapatan alternatif, atau menaikkan pajak dan retribusi daerah. Sayangnya, langkah terakhir ini sering diambil tanpa desain komunikasi yang memadai.
Di Pati, keputusan menaikkan PBB lahir dari ruang tertutup—sunyi dari suara rakyat, sepi dari empati. Warga baru menyadari beban tagihannya ketika menerima SPPT dengan angka yang melonjak tajam. Kesan yang tertangkap: pemerintah berjalan sendiri, menjadikan rakyat sekadar objek pungutan, bukan mitra pembangunan.
Pajak dan Kontrak Sosial
Dalam prinsip good governance, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi adalah tiga pilar yang tak boleh dipisahkan. Jika satu pilar runtuh—apalagi seluruhnya ambruk—maka yang tersisa adalah bad governance yang menambah jurang ketidakpercayaan. Lonjakan tagihan PBB bukan sekadar angka di kertas; ia dapat menghujam ke jantung ekonomi rakyat. Daya beli menurun, usaha kecil terpukul, dan rasa percaya publik mengalami longsor besar.
Pemerintah sejatinya adalah kolektor pendapatan rakyat sekaligus distributor kemakmuran. Begitu ia tergelincir menjadi tukang palak atau vampir berjubah aparat, citra itu akan sulit dihapus.
Kisah Siti (nama samaran)—penjual gado-gado di Pati—menjadi cermin nyata kondisi ini. Tahun lalu ia membayar Rp.180 ribu untuk PBB sebidang tanah kecilnya. Tahun ini, tagihannya melonjak menjadi Rp.630 ribu. “Kalau buat perbaikan jalan atau sekolah, saya ikhlas. Tapi kok mendadak segini, ya sakit hati rasanya,” ujarnya dengan nada kecewa.
Siti tidak menolak pajak dan begitu juga yang lainnya; ia hanya ingin diajak bicara, diberi penjelasan yang masuk akal, dan diyakinkan ke mana uangnya akan digunakan. Aspirasi sederhana yang sebenarnya mencerminkan hak dasar warga negara.
Dalam literatur ekonomi politik, hubungan negara-warga sering dijelaskan lewat fiscal social contract. Mick Moore (2004) menyebutkan bahwa pajak sebagai perjanjian sosial tak tertulis: rakyat membayar, pemerintah mengembalikannya dalam bentuk layanan publik yang nyata. Tanpa transparansi dan partisipasi, pajak berubah menjadi beban sepihak. Di Indonesia, prinsip ini sejalan dengan sila ke-5 Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kontrak sosial ini menjadi rapuh ketika pemungutan dilakukan tanpa komunikasi dan akuntabilitas. Apalagi ketika rakyat tahu ada dana pusat yang berkurang, tetapi tak diberi penjelasan mengapa mereka yang harus menutup lubangnya. Inilah yang membuat rasa keadilan tergerus dan kepercayaan publik memudar.
Mengembalikan Esensi Pajak
Dalam Pidato Kenegaraan 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo menegaskan: pajak adalah darah pembangunan nasional, tetapi harus diambil dengan keadilan dan empati. Pemerintah, katanya, tak boleh hanya pandai memungut; ia juga harus unggul dalam menyalurkan manfaatnya secara nyata—dari desa hingga kota.
Secara ideal, visi ini tepat sasaran. Pajak seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa dan ekspresi cinta tanah air warga negara. Membayar pajak bukan karena takut dipalak atau merasa berhadapan dengan drakula ekonomi, melainkan sebagai bentuk partisipasi aktif dalam pembangunan. Esensinya adalah gotong royong modern yang menyatukan rakyat dan negara dalam menggapai tujuan bersama.
Maka, sebelum memutuskan kenaikan PBB atau pungutan lainnya, pemerintah wajib membangun ruang dialog yang bermakna, memaparkan data secara terbuka, dan memastikan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Inilah yang sering diabaikan dalam praktik pemerintahan kita.
Transparansi bukan sekadar slogan. Ia harus diwujudkan dalam bentuk sosialisasi yang komprehensif, penjelasan yang mudah dipahami, dan mekanisme pengawasan yang melibatkan publik. Ketika rakyat memahami alasan di balik kenaikan pajak dan dapat melihat hasil konkretnya, resistensi akan berkurang dan kepercayaan akan tumbuh.
Pertanyaannya kini—dan ini menjadi ujian bagi kita semua—apakah kita mau membangun sistem pajak yang lahir dari kepercayaan, atau terus mempertahankan pola lama yang menanam bibit luka sosial ?. Pilihan ini menentukan masa depan hubungan negara-warga di republik ini.
Sebab pada akhirnya, pajak hanya akan menjadi jembatan kepercayaan jika kedua ujungnya kokoh: rakyat akan rela memberi dengan kesadaran penuh, dan negara amanah mengelola dengan transparansi tinggi. Jika salah satu runtuh, apakah kita siap menanggung robohnya seluruh jembatan kepercayaan itu? Jawabannya ada di tangan kita bersama.