oleh: Noorhalis Majid
SEMUA yang hadir sore itu duduk melantai lesehan di ruang Gramedia Veteran. Ini merupakan bulan kedua giat literasi mendiskusikan buku-buku lokal yang ditulis oleh orang lokal, kerja bersama sejumlah lembaga, antara lain Ambin Demokrasi, Dispersib Kota Banjarmasin, Rumah Alam Sungai Andai, Kampung Buku, LK3 Banjarmasin, PSMTI dan tentu saja Gramedia Veteran.
Kali ini buku Tionghoa Banjar yang dikupas, tema spesifiknya tentang kepahlawanan Tionghoa Banjar. Dalam buku setebal 500 halaman tersebut, memang sebagian mengulas tentang peran dan kiprah warga Tionghoa dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan. Apa itu perjuangan mempertahankan kemerdekaan? Yaitu masa perjuangan fisik setelah 1945 hingga 1950, dimana Belanda, dibantu Sekutu, ingin mengambil kembali kawasan Hindia Belanda sebagai daerah jajahannya dan kita semua berjuang menolaknya dengan berperang mempertahankan kemerdekaan yang sudah dicanangkan.
Kenapa tema ini diangkat? karena banyak stigma bahwa warga Tionghoa tahunya hanya berbisnis dan menggeluti ekonomi. Sedikit sekali perannya dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan ada yang mengatakan, hanya menikmati perjuangan tanpa ikut serta memperjuangkannya.
Hadir sebagai pemantik Harun Al Rasyid, seorang alumni FKIP Jurusan Sejarah ULM yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Harun secara khusus mengangkat tema skripsinya tentang kepahlawanan Tionghoa Banjar.
“Saya ingin menguji hipotesa, bahkan warga Tionghoa tidak hanya berdagang, menggeluti bisnis atau membangun berbagai usaha di bidang ekonomi. Berdasarkan penelitian saya, ternyata banyak juga warga Tionghoa Banjar yang terlibat dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan”, kata Harun menyampaikan penelitiannya.
“Penelitian ini mempertegas bahwa warga Tionghoa Banjar juga turut berjuang. Jadi kalau ada yang mengatakan perannya sangat kecil, maka tentu saja salah. Peran mereka bukan hanya berada di garis depan bersama perjuang pribumi, namun juga ada yang mendukung logistik, informasi atau membantu mencetak surat kabar, selebaran dan berita untuk didistribusikan secara luas, sehingga dengan itu informasi terkait politik dan upaya perjuangan mempertahankan kemerdekaan dapat diketahui secara luas”, kata Harun.
Diskusi sore itu juga mengundang 3 narsumber yang sangat berkompeten, yaitu Wajidi Amberi, seorang arkeolog; Sugiharto Hendrata, pengamat sejarah Tionghoa; dan Mansyur, sejarawan dan pengajar ilmu sejarah di FKIP ULM.
Wajidi mengakui, tidak banyak buku mengupas sejarah Tionghoa, apalagi tentang Tionghoa Banjar, sehingga kiprah dan perannya juga kurang diketahui secara luas. Padahal, hubungan orang Banjar dengan Tionghoa sudah berlangsung beratus-ratus tahun. Berdasarkan catatan sejarah, awal abad 18 sudah banyak warga Tionghoa yang bermukim di Banjarmasin. Buku Tionghoa Banjar, setidaknya memulai untuk mengisahkan secara lebih lengkap, dan diharapkan akan ada buku-buku berikutnya, agar peran Tionghoa Banjar diketahui secara luas.
Apalagi perannya terhadap perjuangan kemerdekaan, sedikit sekali yang mengetahuinya. Padahal, banyak cerita bahwa warga Tionghoa juga turut berjuang. Ada sejumlah nama besar yang tidak mungkin dilupakan, antara lain Lie Kie Ming, yang dengan keahliannya dalam perbengkelan, telah melakukan perakitan senjata untuk kebutuhan para pejuang di wilayah hulu sungai. Kang Ban Yen, yang perannya dalam perjuangan di garis depan juga sangat penting. Dan puncaknya ada pada sosok Liem Koen Hian, tokoh media yang merintis berbagai surat kabar, menggagas partai Tionghoa Indonesia, mendirikan apotik Kalimantan untuk melawan dimonisasi pemerintah kolonial dalam distribusi obat, dan beliau menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Tokoh lainnya yang juga sangat penting dan kurang banyak diulas dalam buku Tionghoa Banjar, adalah Kho Sek Beng. Bahkan begitu kuat dan besarnya peran tokoh ini, sampai membangun persaudaraan sedarah dengan Hasan Basry, dalam bentuk menyatukan darah mereka sebagai simbol persaudaraan yang tidak mungkin terpisahkan. Dan benar saja, ketika Kho Sek Beng dikriminalisasi, Hasan Basri melakukan pembelaan dan akhirnya bisa dibebaskan.
Sugiharto Hendrata, mengumpulkan data tentang siapa saja warga Tionghoa yang terlibat dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan, dan atas perjuangan tersebut akhirnya memperoleh surat tanda jasa pahlawan dari Presiden atau Panglima. Temuan Sugi, setidaknya sudah terkumpul 43 orang warga Tionghoa yang terdata memperolah gelar pahlawan, karena peran dan kiprahnya dalam perjuangan. Di luar dari apa yang sudah dihimpun, tentu masih banyak yang terlibat dalam perjuangan, baik secara langsung atau pun tidak langsung. Salah satu kendala dalam upaya menghimpun data para pejuang Tionghoa ini, banyak yang sudah mengubah namanya menjadi nama Indonesia, sehingga tidak teridentifikasi lagi sebagai warga Tionghoa.
Apakah mungkin buku sejarah ditulis ulang, kemudian memasukkan sejumlah nama besar warga Tionghoa untuk juga tercatat dalam tinta sejarah? Kata Mansyur melemparkan pertanyaan kepada semua peserta yang hadir.
Bukankah sekarang ini sedang ada upaya untuk menuliskan ulang sejarah, tujuannya agar pemahaman kita lebih lengkap dan komprehensif. Kalau demikian, kenapa tidak diusulkan sejumlah nama warga Tionghoa untuk juga ada dalam deretan nama-nama pejuang kemerdekaan? Misalnya Liem Koen Hian, salah satu nama yang tidak mungkin dilupakan, karena kiprah dan perannya yang sangat aktif, turut merumuskan dan membentuk bangsa dan negara Indonesia, kata Mansyur.
Mansyur bahkan mengusulkan, agar dibuat buku Tionghoa Banjar jilid 2, khusus mengisahkan tentang kepahlawanan warga Tionghoa Banjar dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Agar semua mengetahui, bahwa para pejuang dan pahlawan Banjar, bukan hanya dari kalangan pribumi, namun juga warga lainnya, termasuk warga Tionghoa Banjar.
Sekalipun warga Tionghoa Banjar banyak yang turut berjuang, namun ketika tidak dikisahkan dari generasi ke generasi, tidak dituliskan dalam buku-buku sejarah atau pun dokumen-dokumen penting, maka peran dan perjuangannya mudah sekali dilupakan dan bahkan dianggap tidak ada. Apalagi berbagai kebijakan kemudian lahir mendiskriminasi, memarjinalkan dan meniadakan peran dan perjuangannya, semakin tenggelamlah fakta tentang peran dan kiprah warga Tionghoa Banjar dalam perjuangan.
Sejumlah pertanyaan yang diajukan, seolah memberikan gambaran bahwa sangat banyak informasi menyangkut Tionghoa Banjar yang kurang diketahui dan mesti disebarkan secara luas. Buku Tionghoa Banjar setidaknya sudah membantu membangun literasi dan menyebarkan narasi positif, agar sejarah lebih obyektif dan menginformasikan serta memberi pengetahuan secara jujur kepada warga, bahwa sejak dulu orang Banjar dan warga Tionghoa, sudah bahu membahu membangun banua Banjar, termasuk dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.