Oleh : AHMAD BARJIE B
Kalangan sejarawan mengatakan Musa dilahirkan sekitar tahun 1285 SM, bertepatan tahun ke-7 pemerintahan Ramses II. Saat itu tentara Firaun kalah dalam peperangan melawan tentara Het di Kadesh Banea, hal ini membuat Ramses kesal, dan kekalahan itu ia timpakan sebagai akibat kesialan bangsa Ibrani yang ada di negerinya, sehingga bangsa Ibrani (Bani Israil) semakin ditekan dan tersiksa.
Bani Israil datang ke Mesir ketika di tanah Kanaan (Palestina) terjadi paceklik besar. Nabi Yusuf putra Nabi Yakub yang menjadi menteri di Mesir, mendatangkan saudara-saudara dan keluarganya ke Mesir. Ke-12 orang saudara Yusuf ini berketurunan dan membentuk 12 suku bangsa Israil. Di masa Yusuf dan keturunannya mereka sempat hidup makmur di Mesir, mereka disebut kaum Hexos. Namun pada akhirnya keadaan berbalik, mereka diperbudak oleh bangsa Mesir, dan hal ini berlangsung selama empat abad, sampai akhirnya Allah mengutus Nabi Musa pada abad ke-13 SM untuk membebaskan mereka dari perbudakan bangsa Mesir yang saat itu dipimpin oleh para rajanya yang disebut Firaun (Kuncahyono, 2011: 74).
Di tengah kondisi hidup dalam perbudakan ini, ayah Musa yang bernama Amran, menikah dengan bibinya bernama Yokhebed, lalu melahirkan Musa dan Harun. Riwayat lain menyebut nama ibu Musa adalah Sayyidah Arkha. Seorang juru ramal mengatakan kepada Fir’aun bahwa di zamannya ini akan lahir seorang pemimpin dari bangsa Ibrani yang akan menjadi musuh dan menghancurkan kekuasaannya. Termakan ramalan itu dan takut ramalan itu menjadi kenyataan, maka Fir’aun makin sewenang-wenang kepada bangsa Ibrani. (QS al-Qasash: 4) menerangkan, Firaun menyuruh agar sejak itu seluruh bayi laki-laki dari bangsa Ibrani dibunuh saat lahir, hanya perempuan yang dibiarkan hidup.
Musa lahir tepat di tahun pertama perintah pembunuhan bayi. Sedangkan saudaranya Harun, lahir di tahun pertama penangguhan pembunuhan bayi, sehingga ia selamat dan tidak mengalami masalah menjalani masa bayi. Setelah banyak bayi yang dibunuh, para penasihat Fir’aun meminta Fir’aun untuk menghentikan kebijakannya itu, dengan alasan kalau semua bayi dibunuh, siapa nanti yang menjadi pekerja di Mesir, sementara selama ini Mesir mengandalkan pekerja dari kalangan Ibrani yang laki-lakinya dikenal berbadan besar, kokoh dan kuat bekerja. Akhirnya Fir’aun bersedia menghentikan pembunuhan, setelah ribuan bayi tak berdosa terlanjur dibunuh atau dilempar ke sungai.
Taurat menceritakan bahwa perintah itu juga ditujukan kepada para bidan beranak. Saat itu ada dua bidan beranak yang terkenal di kalangan orang-orang Ibrani yang sering menolong ibu-ibu melahirkan di Mesir, namanya Sifra dan Pua. Kedua bidan ini ternyata tidak mau melaksanakan perintah tersebut, karena mereka kasihan kepada sang bayi, juga takut kepada Allah. Lalu kedua bidan dipanggil oleh Fir’aun, dan ditanya mengapa mereka tidak membunuh bayi-bayi tersebut. Mereka katakan, perempuan Ibrani itu kuat-kuat, tabah saat bersalin, ketika didatangi, mereka sudah melahirkannya sendiri. Akhirnya Fir’aun memerintahkan kepada seluruh rakyat Ibrani agar melemparkan semua bayi laki-laki ke sungai Nil dan membiarkan bayi perempuan hidup (Keluaran 1 Perjanjian Lama: 15-21).
Ibu Musa melahirkan sendiri bayinya tanpa ditolong oleh bidan. Ia sangat khawatir dan takut kalau-kalau bayinya ketahuan. Lalu ia sembunyikan selama tiga bulan, namun tetap saja ketakutan menghantuinya. Akhirnya ia beroleh ilham untuk menghanyutkan bayi itu di sungai Nil. Ia tidak tahu lagi bagaimana nasib anaknya itu kelak. Sebab, Nil adalah sungai yang besar dan sangat panjang. Sungai Nil, sungai terpanjang di dunia (6.650 km) dan satu-satunya milik Mesir. Saking panjangnya, selain Mesir ada beberapa negara lain dilintasi sungai ini, yaitu Sudan, Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania, Rwanda dan Burundi.
Jadi, sungai itu bukan danau atau sungai kecil yang dapat diukur saat itu. Ketika melepas bayi, maka diperkirakan bayi itu akan mati atau hanyut ratusan kilometer. Oleh karena itu sebenarnya hati ibunya Musa sangat khawatir, takut, dan berbagai perasaan hati seorang ibu yang akan kehilangan bayinya. Namun Allah SWT memberinya kekuatan mental dan harapan bahwa bayinya kelak akan selamat (al-Qashash/28: 7, Thaha/20: 38-9).
Kakak Musa yang bernama Miriam atau Mariam, setelah adik bayinya dihanyutkan di sungai Nil, ia terus mengintip dari kejauhan, ke mana peti yang berisi adiknya itu hanyut atau tersangkut. Setelah terombang-ambing ombak dan rerumputan sungai, ternyata peti itu hanyut dan singgah di tempat pemandian keluarga Fir’aun. Para dayang disuruh memungut peti dan membuka isinya. Istri Fir’aun memungut anak dalam peti itu lalu memeluknya dengan rasa gembira dan penuh kasih sayang. Fir’aun yang datang kemudian berpaling dari bayi itu, dan menyuruh seorang tentara untuk membunuhnya, namun istrinya mencegahnya. Akhirnya, Fir’aun berkata: “Baiklah, bayi ini tidak jadi dibunuh jika ia mampu menyenangkan hatimu, tetapi bagiku tidak”. Dalam sebuah hadits dinyatakan, sekiranya Fir’aun mengatakan bahwa bayi Musa itu adalah penyejuk mata istrinya dan dirinya sendiri, insyaallah Fir’aun akan diberi petunjuk oleh Allah SWT.
Miriam juga mengetahui kabar dari kejauhan bahwa bayi itu tidak mau disusukan oleh perempuan yang ada di situ, sementara Musa terus menangis. Ketika dipanggilkan wanita lain, juga Musa tak mau menyusu. Akhirnya Miriam memberanikan diri mendekat dan mengatakan bahwa ia kenal seorang perempuan yang ahli menyusukan bayi. Hamman datang dan menanyakan kepada Miriam apakah ia tahu asal-usul bayi itu (al-Qashash/28: 12). Miriam mengatakan, tidak kenal, tidak tahu. Cuma ia kenal dengan sebuah keluarga yang setia pada raja dan pandai menyusukan bayi.
Ketika ibu Musa datang, Fir’aun sempat menanyakan identitasnya, ibu Musa menerangkan bahwa ia memang perempuan Ibrani yang setia kepada raja dan ia memiliki air susu yang baik. Ketika disusukan ternyata Musa langsung mau menyusu padanya. Istri Fir’aun senang dan memintanya untuk tinggal di istana saja sambil menyusukan bayi itu dengan upah yang layak. Namun perempuan itu menolak dengan halus. Ia juga tidak mau dibayar mahal oleh istri Fir’aun, ia hanya minta bayaran alakadarnya, cukup untuk makan sehari-hari saja. Ia meminta membawa Musa ke rumahnya saja, namun keluarga Fir’aun dipersilakan menjenguk atau mengambilnya kapan suka. (al-Qashash/28: 7). Selanjutnya Musa berangsur besar dan dewasa. Akhirnya ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul untuk mendakwahi Bani Israil dan bangsa Mesir, yang ditolak oleh Firaun, Hamman dan pembesar lainnya. Wallahu A’lam.